Secara historis, petani kapas di Kab. Bantaeng, Sulsel, telah bertanam kapas sejak era 1970-an. Potensi areal kapas di wilayah tersebut mencapai 6.000 ha dan 1.116 ha di antaranya sudah ditanami.
Realisasi tersebut di bawah target Ditjen Perkebunan, Deptan, yang mencapai 2.000 ha. Menurut Asaduddin Rahman, Kepala Dinas Perkebunan, Kehutanan, dan Lingkungan Hidup Kab. Bantaeng, hal itu tak lepas dari pola tanam yang dijalankan petani kapas di wilayahnya. Jagung misalnya, merupakan tanaman “pesaing” yang harga jualnya mendekati harga kapas. Wajar jika petani menginginkan varietas kapas unggul agar memperoleh keuntungan lebih dibandingkan komoditas lain.
Hibrida dan Lokal
Sejauh ini, terdapat tiga varietas kapas yang ditanam petani di wilayah tersebut, yaitu Kanesia 8, hibrida asal China, dan varietas lokal. Menurut Rahman, petani kapas di wilayahnya pernah mencoba kapas transgenik dan berhasil cukup baik. Sayangnya, kehadiran kapas tersebut menuai protes sehingga tidak ditanam kembali.
Dari hasil ujicoba, kapas hibrida asal China produktivitasnya cukup baik, 2,5 ton per ha. Walaupun produktivitasnya tidak terlalu tinggi, kapas lokal sebenarnya banyak digemari petani karena relatif tahan terhadap serangan hama. “Persoalan kapas itu memang di hama,” tandas Rahman.
Untuk itulah Rahman mengharapkan pemerintah pusat memberikan keringanan kepada petani kapas dalam bentuk subsidi benih. Bukan saja benih kapas hibrida asal China yang baru-baru ini dirilis Mentan tapi juga seluruh varietas kapas yang ditanam. Selain itu, ia mengharapkan pula harga kapas meningkat pada tahun ini dari Rp2.500 per kg menjadi Rp3.000 per agar petani mendapat keuntungan yang cukup dari kapas.
Rencananya, tahun ini benih kapas hibrida asal China akan dilepas ke petani tapi pemerintah tetap memberi ruang bagi petani untuk mengembangkan varietas lokal yang sudah teruji keunggulannya. Pengembangan kapas ini menggandeng perusahaan pengolah kapas, seperti PT Seko Fajar Cotton dan PTPN XIV, sementara pemerintah memfasilitasi pengembangan kelompok dan penyiapan benih.
Mitra Petani Kapas
Menurut Andi Hamzah Pangki, Manajer Produksi PT Seko Fajar Cotton (SFC), kapasitas pabrik pengolahan kapasnya mencapai 20.000 ton/tahun. Namun, “Angka 20.000 ton itu belum pernah tercapai selama pabrik itu didirikan, paling banyak 9.000 ton,” jelasnya. Untuk memenuhi kebutuhan pabrik, SFC bermitra dengan petani kapas mengelola 2.500 ha di Kab. Bulukumba, Bantaeng, dan Sinjai.
SFC memberikan kredit kepada petani kapas dalam bentuk sarana produksi, yakni pupuk, insektisida, dan herbisida. Kapas produksi petani dibayar usai panen setelah terlebih dahulu dikurangi jumlah kredit yang diberikan. “Hari ini timbang, besok kami bayar, jadi tidak menyusahkan petani,” ujar Andi. Cara ini sudah dijalankan secara lancar selama tiga tahun.
Harga kapas petani ditentukan berdasarkan musyawarah yang melibatkan pemda, pengusaha, asosiasi, dan petani. “Tahun 2006 harga kapas Rp2.300 per kg, 2007 naik menjadi Rp2.500 per kg. Mudah-mudahan tahun ini juga ada kenaikan,” ujar Andi. Sayangnya, tidak seluruh petani bisa mendapatkan harga tersebut karena terganjal mutu kapas yang dihasilkan.
Menurut Andi, kualitas kapas bukan didasarkan pada varietasnya karena seluruh jenis kapas ditampung oleh SFC. Untuk itu, pihaknya terus membina petani agar dapat menghasilkan kapas yang baik. “Petani kapas harus betul-betul menjaga kebersihan pada saat panen,” jelasnya. Kapas langsung dikarungkan sehingga bersih dari daun, bulu, dan plastik.
Enny Purbani T., Marwan Azis (Kontributor Makassar)