Dalam dua tahun terakhir, bisnis perunggasan di Sumut jalan di tempat. Salah satu indikatornya, produksi pakan ayam yang stagnan, hanya 50 ribu—60 ribu ton setiap bulan.
Demikian diungkapkan Zulfandiari Zaidir, Ketua Komisariat Daerah (Komda) Gabungan Perusahaan Pakan Ternak (GPMT) Sumut, di Tanjung Morawa, Kab. Deli Serdang, Sumut (8/2). Menurutnya, jumlah peternak memang menyusut karena sebagian mengalami kebangkrutan. Namun dari segi jumlah populasi ayam masih stabil lantaran banyak peternak mandiri beralih menjadi peternak plasma (kemitraan).
Tetap Optimistis
“Berdasarkan pengamatan, saat ini di Sumut jumlah peternak kemitraan sudah mencapai 70—80%, sebelumnya hanya sekitar 60% saja,” ungkap Ifan, demikian sapaan Presdir PT Berlian Unggas Sakti (BUS), salah satu produsen pakan dan anak ayam di Sumut
Hamdan, SH, Sekretaris Komda GMPT Sumut menambahkan, stagnannya bisnis perunggasan di Sumut tak terlepas dari naiknya ongkos produksi yang menimpa seluruh matarantai pelaku usaha perunggasan. Mulai dari pabrik pakan, perusahaan pembibitan, sampai ke peternak (pembudidaya). “Karena ini merupakan matarantai di produksi perunggasan, maka akan sangat terkait erat dampak yang dirasakan,” katanya.
Hal senada dikatakan IGK Sastrawan, Presdir PT Sastra Breeding Indonesia, perusahaan pembibitan ayam di Medan. “Memang saat ini pelaku sedang mengalami kenaikan ongkos produksi per periode produksi dikarenakan naiknya harga pakan, anak ayam (DOC), BBM, dan listrik. “Diperparah lagi, masih banyaknya pungutan yang memberatkan pelaku usaha, serta pola pemasaran dan daya beli yang belum ada perbaikan,” ungkapnya saat diwawancarai AGRINA (8/2).
Lebih jauh Sastrawan menjelaskan, dengan harga pakan ayam pedaging yang telah mencapai Rp4.000—Rp4.500 per kg dan anak ayam umur sehari (DOC) Rp3.000 per ekor, maka ongkos produksi ayam per kg sekitar Rp10.000—Rp11.000. “Harga ayam di kandang sekitar Rp11.000—Rp12.000 per kg, sementara harga ayam di pasaran sudah mencapai Rp18.000—Rp20.000 per kg,” tambah pria yang pernah menjadi Ketua Gabungan Asosiasi Perunggasan Sumut (GAPSU). Jadi, bisa dibilang, peternak cuma balik modal saja.
Walaupun demikian, Ifan masih optimistis, perkembangan perunggasan Sumut ke depan akan lebih baik. Berbagai kenaikan harga, khususnya pakan dan DOC, dianalisis pada April mendatang akan menemukan keseimbangan harga sehingga akan membuat usaha perunggasan lebih bergairah. “Saya kira, sekitar periode kedua tahun ini akan lebih baik lagi,” ucap Ifan.
Perbaikan Pasar dan Promosi
Sastrawan menganalisis, persoalan sesungguhnya adalah kurangnya pembinaan pemerintah terhadap subsektor peternakan itu sendiri dengan tidak berorientasi produktivitas dan efisiensi usaha sehingga masih bertahan pada pembinaan usaha skala rumah tangga dan usaha komersial. Pemerintah juga kurang memberikan informasi terhadap masyarakat umum dan dunia usaha tentang pentingnya gizi, khususnya dari protein hewani. “Akibatnya, tidak ada gambaran yang jelas bagi masyarakat tentang tingkat konsumsi per kapita untuk tumbuh, sehat, dan cerdas,” paparnya.
Dengan demikian, lanjut Sastrawan, tidak ada alat ukur yang jelas tentang kebutuhan produksi perunggasan berupa telur dan daging ayam, serta tidak ada target besaran produksi yang harus dicapai dan bagaimana mencapainya. “Hal ini yang membuat dunia perunggasan seperti mengambang, tidak ada tujuan yang jelas, yang akhirnya dimanfaatkan oleh beberapa kelompok yang bisa mengatur tataniaga,” kata pengurus Kadin Sumut, Kompartemen Peternakan.
Selama ini, masih menurut Sastrawan, tataniaga produk perunggasan masih dikendalikan pedagang. Harga pasar ditentukan oleh pasar yang dibuat pedagang, bukan pasar berdasarkan kebutuhan riil konsumsi masyarakat. Karena persediaan selalu kurang sehingga harga rata-rata relatif lebih tinggi, sementara di tingkat peternak harga jual selalu tertekan.
Melihat persoalan bisnis perunggasan, Sastrawan menilai, pemasaran adalah hal paling strategis yang harus digarap agar tercipta pasar bersih. Contoh saja di Thailand yang telah mengubah budaya pasar ayamnya, dari yang becek seperti kita saat ini pada 1992 menjadi pasar bersih. “Dulu di Thailand, pasar ayamnya masih merupakan pasar becek yang mencapai 70—80%, tapi sekarang ini hanya sekitar 20%,” tuturnya.
Menyadari kondisi yang berkembang dan dengan semangat mewujudkan hidup sehat serta meningkatkan kualitas sumber daya manusia di masa depan, tiga empat tahun lalu pelaku usaha perunggasan di Sumut pernah menggalang kekuatan. Mereka membentuk tim kampanye gizi dengan melibatkan ahli gizi, dinas kesehatan, dan lembaga konsumen untuk mempromosikan produk ayam dan telur.
Promosi itu untuk meningkatkan pemahaman arti gizi kepada masyarakat yang akhirnya memacu perkembangan usaha peternakan sehingga menjadi andalan sektor riil dalam menyerap tenaga kerja. “Melalui konsolidasi dan dukungan Depperin, Depdag, Deptan, Depkeu, Depkes, Kemnegpora, dan Depnaker, kita dapat menjadikan produk peternakan dijadikan unggulan usaha masa depan bangsa,” harap Sastrawan yang menjabat Ketua Tim Kampanye Gizi– Asosiasi Perunggasan, Sumut ketika itu.
Yan Suhendar, Krus Haryanto