Sejumlah pelaku usaha pendederan benur udang windu skala kecil di Lampung Selatan masih menekuni usahanya walaupun tak seramai pada era 1990-an. Efisiensi menjadi kata kunci dalam menghadapi merosotnya harga jual benur.
Bisnis pendederan udang windu mulai ramai sejak Balai Budidaya Air Payau (BBAP), Jepara, Jateng, berhasil menemukan metode reproduksi udang windu (Penaeus monodon) secara buatan, yaitu teknik ablasi. Teknik ini membutakan salah satu mata induk udang agar telurnya matang dan bisa dikawinkan. Saat itu, industri pembenihan udang tersebut tumbuh pesat, baik yang mencakup pemijahan hingga menghasilkan benih udang siap tebar, juga pembenihan skala kecil yang menghasilkan benur dari fase nauplii (benih udang baru menetas).
Seiring beralihnya minat petambak membudidayakan udang windu ke udang Vanname, kebutuhan benur udang bernama dagang tiger shrimp ini merosot hingga tinggal 30%. Jumlah panti pembenihan (hatchery), baik skala besar maupun kecil, pun ikut menyusut. Termasuk pembenih rakyat yang berada di sekitar Jepara, Situbondo, dan Lampung.
Keuntungan Berkurang
Hj. Sri Andi adalah seorang pendeder benih windu di Desa Way Muli, Kec. Rajabasa, Kab. Lampung Selatan, yang telah membuka usahanya sejak 1992. Dari hasil usahanya selama duapuluh tahun, wanita Bugis ini berhasil membangun rumah, membeli mobil, dan menyekolahkan anak-anaknya. Menurut Sri, zaman keemasan bisnis benur windu mencapai puncaknya pada 1999, saat harga benih udang melejit hingga Rp25 per ekor.
Namun, sejak 2002 usaha pendederan benih windu memasuki masa suram karena harga benur jatuh hingga Rp11—Rp12 per ekor. “Sejak itulah sebagian besar pendederan benur windu meninggalkan usahanya,” kenang Sri kepada AGRINA di lokasi pembenihannya. Akibat jebloknya harga benur, keuntungan pendeder benih menurun drastis. Dari 12 bak yang ia kelola, keuntungan tertinggi hanya Rp5 juta per silkus yang berlangsung selama 30 hari. Padahal ketika harga benur bagus, ia mampu meraup untung Rp10 juta—Rp 12 juta.
Hingga kini harga benur windu tak kunjung pulih. Kendati begitu Sri tidak berputus asa dan tetap melanjutkan usahanya. Ia menjadi tulang punggung keluarga setelah sang suami meninggal dunia dua tahun silam. Untuk bisa bertahan, ia mengurangi tenaga kerja yang tadinya empat orang menjadi dua orang. Jika sebelumnya ia menggaji seorang pengawas, kini posisi tersebut digantikannya. “Alhamdulillah, setelah lima bulan berjalan saya mulai bisa melakukannya,” ungkapnya.
Masih dalam upaya efisiensi, Sri membayar sopir mobil pengangkut pisang jalur Jakarta – Lampung untuk membawa nauplii windu dari Pangandaran, Jabar, ke tempat usahanya. Caranya, penjual nauplii udang windu mengutus anak buahnya mengantar barang hingga ke Pelabuhan Penyeberangan Merak untuk selanjutnya diserahkan kepada anak buah Sri yang sudah menunggu di pelabuhan tersebut. “Upahnya Rp200 ribu, jauh lebih murah dibanding harus menjemput sendiri di hatchery,” ujarnya. Pendeder windu di wilayah Lampung Selatan kebanyakan membeli telur atau nauplii dari hatchery besar di Pangandaran (Ciamis), Labuan (Pandeglang), dan Cilacap.
Ingin Pasarkan Langsung
Meskipun sudah melakukan berbagai upaya untuk efiensi, namun kendala utama yang dihadapi para pendeder windu di Lampung Selatan adalah pemasaran. Hingga kini, penjualan benur masih dikuasai pedagang perantara yang membeli dengan harga murah dan tidak membayar tunai alias utang. Padahal, jika penjualan benur bisa langsung ke petambak, harganya jauh lebih tinggi dan dibayar tunai sehingga membantu perputaran modal pembenih windu.
Untuk mengatasi berbagai kesulitan tersebut, pernah dibentuk kelompok pembenih benur tapi tidak berjalan baik. Penyebabnya, kelompok tidak mampu mengatasi kesulitan anggota sehingga banyak yang tidak tertarik lagi bergabung. Padahal Sri yakin, jika kelompok benar-benar serius memasarkan benur bersama dan langsung kepada petambak, harga benur tidak dipermainkan pedagang.
Hal senada diungkap Suwarno, pendeder benih udang windu di Desa Canti, Kec. Rajabasa, Kab. Lampung Selatan. Dengan pemasaran bersama, “Posisi tawar pembudidaya lebih kuat dalam menentukan harga,” ungkap Warno, sapaan akrabnya. Namun pendeder yang bernaung di bawah bendera usaha “Arjuna Windu” ini mengakui sulitnya mewujudkan hal tersebut.
Pasalnya, lanjut Warno, “Kebanyakan pengusahanya tinggal di Bandarlampung dan Kalianda. Jadi yang di sini cuma anak buahnya saja,” jelasnya. Pada saat harga benur tinggi, mereka melakukan budidaya, sebaliknya ketika harga jatuh usaha ini ditinggalkan begitu saja. Tak heran jika puluhan lokasi usaha pendederan benur sepanjang pesisir barat Kec. Rajabasa dan Kalianda kini menjadi semak belukar.
Warno mengungkapkan, sebetulnya benur dari Kalianda ini sudah begitu terkenal sehingga pemasarannya selain di Lampung, seperti di Rawajitu, Lampung Timur juga sudah merambah Sumsel. Persoalannya, harga benur rendah, sementara harga pakan serta kebutuhan benur lainnya terus melonjak sehingga keuntungan makin tipis.
Enny Purbani T., Syafnijal D. Sinaro (Kontributor Lampung).