Jumat, 1 Pebruari 2008

TAJUK : Pak Harto dan Pertanian Padi

Mengenang orang yang meninggal, sepatutnya yang direnungkan adalah hikmah  kebaikan almarhum atau almarhumah semasa hidupnya. Apalagi mengenang orang besar seperti Pak Harto yang wafat Ahad 20 Januari lalu. Satu dari legacy dari mendiang presiden itu adalah di bidang pertanian. Pada Juli 1986, Dirjen FAO, Edouard Saouma, datang ke Jakarta untuk menyerahkan penghargaan berupa medali emas FAO. Di medali itu terukir gambar Soeharto dengan tulisan ”President Soeharto Indonesia” dan sisi lain bergambar seorang petani sedang menanam padi, bertuliskan “From Rice Importer to Self-Sufficiency”.

Di masa kepresidenannya, terutama pada periode Pelita I hingga IV (1968—1988), Jenderal Soeharto menggencarkan revolusi peningkatan produksi padi. Dia mempertaruhkan ketahanan pangan kepada swasembada beras. Di bawah komando dan kontrolnya langsung, dijalankan program intensifikasi massal (Inmas) dan bimbingan massal (Bimas) dengan penyaluran saprodi (benih unggul, pupuk dan obat-obatan), pengenalan teknologi tanam, pembangunan bendungan dan jaringan irigasi. Dibangun kelembagaan kooperasi desa, dijalin koordinasi antarinstansi, baik departemen maupun nondepartemen, hingga Pemda, BUMN, dan perbankan.

Pada masa Soeharto, terasa sekali bahwa petani dan rakyat desa punya banyak teman. Bukan hanya para penyuluh pertanian yang selalu siap mendampingi di lapangan, tapi juga para pejabat, mulai dari lurah sampai presiden. Komunikasi dan interaksi berlangsung akrab lewat Klompencapir (kelompok pendengar, pembaca, pemirsa), yakni program Menpen Harmoko yang cukup “heboh” itu, serta temu wicara langsung dengan menteri atau presiden. Dan guna mengawal hasil panen padi, dibentuk Bulog untuk menyeimbangkan fluktuasi produksi dan harga. Kesemuanya itu digandengkan dengan program keluarga berencana, yang berhasil menjaga angka kelahiran 2,34%.

Puncak keberhasilan revolusi pertanian Soeharto adalah ketika pada 1984, untuk pertama kalinya dalam sejarah, Indonesia mencapai swasembada beras. Obsesi Multatuli 150 tahun, “berbahagialah mereka yang bisa makan nasi dari padi yang ditanam sendiri” terpenuhi. Beras dari padi yang ditanam sendiri bisa memenuhi  kebutuhan 160 juta penduduk (saat itu). Bahkan secara gotong-royong petani Indonesia mengumpulkan gabah secara sukarela sebesar 100.000 ton untuk disumbangkan kepada petani dunia lain yang kekurangan pangan.

Ketika ketahanan pangan terancam dan produksi padi menurun, dengan sigap pula Pak Harto melancarkan reintensifikasi, antara lain mengambil alih pembiayaan untuk pembangunan dan pemeliharaan irigasi tertier dan desa dengan mengucurkan dana Inpres (instruksi presiden) langsung ke camat dan lurah. Dana APBN proyek-proyek lain yang belum dicairkan atau tertunda juga dialihkan ke pertanian.

Revolusi pertanian Soeharto digerakkan dengan sistem komando dan menerapkan diskriminasi dan intimidasi. Diskriminasi meminggirkan padi tradisional dan menggantinya dengan jenis yang kurang gurih pulen, tapi bulirnya lebih berlimpah dan waktu tanam lebih pendek (maka dalam setahun bisa panen dua hingga tiga kali). Mereka yang menolak ikut Inmas dan Bimas (juga program KB) bisa kena intimidasi aparat dengan tuduhan “tidak bersih lingkungan”. Kebijakan diskriminatifnya yang sengaja mengabaikan diversifikasi juga menjadi andil keterpurukan ketahanan pangan kita. Soeharto mengonstruksikan beras sebagai budaya kelas satu, dan menempatkan bahan pangan lainnya seperti jagung, ubi, ketela, sagu, sebagai inferior.

Bagaimana pun, tidak bisa lekang dari potret ingatan kita betapa riang dan berseri-serinya wajah Pak Harto manakala berada di tengah-tengah petani dan masyarakat desa. Di situ ia begitu manusiawi, jauh dari gambaran seorang diktator, penjahat kemanusiaan. Kesan yang juga masih melekat adalah kepemimpinannya yang tidak bimbang dan ragu. Sekali diberi wewenang memimpin, ia menjalankannya dengan lugas dan tuntas. Dengan kekecualian dominasi berasnya dan KKN anak-anaknya di sektor pertanian, kita pantas mengagumi Pak Harto sebagai jenderal yang berhasil membangun ketahanan pangan, yang menjalankan kepemimpinannya di sektor itu sama efektifnya seperti ia memulihkan kestabilan politik dan keamanan.

Daud Sinjal

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain