“Sekarang lebih mudah membahas prospek agribisnis dibanding waktu-waktu yang lalu karena terjadi perubahan drastis yang dengan mudah bisa dilihat,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000—2004, saat diwawancarai AGRINA.
Apa yang menyebabkan terjadinya perubahan drastis tersebut?
Ada beberapa hal yang menyebabkan perubahan-perubahan drastis tersebut. Pertama, bangunnya sleeping giant, China dan India, lima tahun terakhir. Penduduk kedua negara itu sangat besar dan pendapatannya masih rendah sehingga pangan menjadi sangat penting. Begitu pendapatannya meningkat, maka permintaan akan pangan meningkat, sehingga permintaan pangan internasional juga meningkat. Masalahnya sekarang permintaan meningkat tapi suplai tetap, harganya pun menjadi naik.
Kedua, energi. Sejak 2005 harga bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri melonjak tajam. Kita pikir itu sudah selesai ternyata belum karena harga di pasar internasional belakangan ini terus naik, sudah mencapai US$100/barrel. Jika energi meningkat, otomatis biaya transportasi juga meningkat. Dampaknya biaya produksi juga meningkat dan harga produk yang terima konsumen pasti meningkat.
Faktor pertama berefek bagus pada pertanian tapi yang kedua justru menarik mundur karena tekanan biaya produksi. Jadi satu faktor mendorong agribisnis untuk maju, tapi faktor lain justru memberatkan agribisnis. Akibatnya, akan terjadi keseimbangan dan menjadi netral saja di bidang produksi agribisnis tapi bagi konsumen menjadi berat karena mendapat serangan dari dua arah, baik dari permintaan maupun naiknya biaya produksi.
Apa faktor lainnya?
Ketiga, energi alternatif. Dengan harga minyak bumi seperti sekarang ini, tren untuk beralih ke bioenergi menjadi lebih kuat. Contonhnya, AS melihat sangat penting biofuel, maka mereka memberi subsidi untuk biofuel. Sehingga para petani tertarik memanfaatkan subsidi itu dengan menanam jagung lebih banyak, tapi jagung bukan untuk pangan atau pakan melainkan untuk bioenergi. Akibatnya, terjadi kompetisi antara pangan dan pakan dengan energi.
Akibat lain dari peningkatan harga jagung tersebut adalah merangsang petani kedelai menanam jagung, sehingga produksi kedelai berkurang. Oleh karena itu, ekspor kedelai pun berkurang, maka harga kedelai internasional menjadi tinggi.
Dan keempat, global warming. Global warming mengakibatkan kegagalan panen. Hal itu bisa disebabkan kekeringan dan kebanjiran. Misalnya, harga gandum yang naik belakangan ini disebabkan kegagalan panen di Australia dan Kanada karena kekeringan. Secara nasional pun kita mengalami kekeringan dan kebanjiran sehingga terjadi juga kegagalan panen pada padi, jagung, dan kedelai di Indonesia.
Empat faktor tersebut bekerja secara bersama-sama sehingga trennya sangat jelas. Jadi kita akan mengalami peningkatan harga pangan dan produk-produk agribisnis yang sangat drastis pada 2008 ini. Khususnya produk-produk yang diperdagangkan (trade-able) apalagi yang international trade-able.
Lantas siapa yang untung dan yang rugi?
Dalam jangka pendek, produsen akan diuntungkan baik pada on farm maupun downstream agribusiness. Dalam jangka menengah, harga input (benih, pupuk, pestisida) juga akan naik sehingga keuntungan akan kembali normal seperti sebelum terjadi gejolak. Bila ditinjau pada jangka panjang, dunia agribisnis hanya akan memperoleh keuntungan normal. Jadi produsen menikmati “durian runtuh” ini hanya pada 2008, selanjutnya terus berkurang sampai mencapai titik normal.
Yang paling dirugikan adalah konsumen. Oleh karena itu, konsumen harus bisa menyesuaikan diri pada perubahan yang sangat drastis ini. Konsumen perlu mencari alternatif pangan yang harganya belum meningkat, seperti singkong, ubi jalar, sagu, dan kentang.
Ingat, kita punya 40 juta orang miskin yang membelanjakan sebagian besar pendapatannya untuk pangan. Hal ini dapat menimbulkan gejolak sosial yang memiliki potensi berimplikasi pada politik. Gejolak sosial dapat diatasi jika pemerintah menerapkan kebijakan raskin pada komoditas lain yang sangat dibutuhkan masyarkat.
Bagaimana solusinya?
Dulu kita menetapkan kebijakan proteksi dan promosi. Sekarang proteksi bisa dilonggarkan dan promosi menjadi lebih utama agar produksi meningkat. Dan sekarang sangat mudah meningkatkan produksi dibandingkan waktu lampau karena harga produk agribisnis sangat menarik.
Kini kita harus mempersiapkan infrastruktur, memperlancar perdagangan, dan memberikan informasi melalui penyuluhan-penyuluhan. Di samping itu, apa yang telah kita lakukan pada waktu yang lalu menyadarkan kita tentang pentingnya menggerakkan masyarakat agribisnis secara keseluruhan, di antaranya petani, organisasi petani, pengusaha, LSM, dan pemerintah. Harus difasilitasi kerjasama, kerja keras, dan kerja cerdas dari semua stakeholder agribisnis. Untuk ini dibutuhkan sistem kepemimpinan yang visioner dan terbuka terhadap semua pihak serta rendah hati. Leadership itu bisa datang dari mana saja tetapi leadership pemerintah pada saat ini menjadi sangat strategis. Jika semua ini berjalan dengan lancar, maka saya yakin produksi komoditas agribisnis nasional akan meningkat dan harga akan lebih terjangkau oleh konsumen.
Untung Jaya