Kemitraan menjadi salah satu jalan memecahkan stagnannya usaha budidaya ayam pedaging.
Di Yogyakarta kemitraan ayam pedaging (broiler) berkembang pesat. Saat ini ada sedikitnya 28 inti dengan jumlah plasma 500—600 peternak berskala pemeliharaan 1.500—40.000 ekor.
Salah satu dari kemitraan tersebut adalah Kelompok Duta Technovet (KDT) yang mulai berkiprah pada tahun 2000. Menurut drh. Hari Wibowo, sang inti, latar belakang berdirinya KDT tak lepas dari stagnannya usaha sebagai peternak mandiri. “Dengan sedikit kandang, untung yang didapat pun sedikit. Lain halnya dengan punya kandang yang banyak, untung yang diperoleh pun bisa banyak,” ungkap Hari. Karena itulah supaya usahanya berkembang, ia mengajak peternak lain bermitra. Hingga saat ini jumlah plasmanya sekitar 100 orang dengan total populasi 300 ribu ekor.
Kontrak dan Bagi Hasil
Hari mengungkap, sistem kemitraan yang dianut KDT adalah sistem kontrak dan bagi hasil (sharing). Sebanyak 75% plasma yang tersebar di Gunung Kidul, Sleman, Bantul, dan Kulonprogo lebih memilih sistem kontrak, sedangkan sisanya sistem sharing.
Dengan sistem kontrak, lanjut lulusan Fakultas Kedokteran Hewan IPB itu, pihak KDT sebagai inti merasakan beban yang lebih berat ketimbang sistem sharing. “Harga-harga sapronak dan harga panen sudah ditentukan begitu teken kontrak. Paling berat adalah saat harga panen jauh di bawah harga kontrak dan BEP (titik impas). Sudah harga BEP nggak dapat, harga panen pun anjlok,” jelasnya.
Pada sistem sharing, inti dan plasma sama-sama memperoleh keuntungan maupun kerugian dengan besaran 60% (inti) dan 40% (plasma). “Sebenarnya sistem inilah yang paling tepat karena secara jelas menunjukkan keseriusan dan transparansi masing-masing pihak,” ujar Hari yang juga Ketua Umum Asosiasi Peternak Ayam Yogyakarta (APAYO).
Sistem itu cukup menantang bagi plasma. Namun, Toto Rachmadi, BBA, salah seorang plasma KDT yang memelihara 20 ribu ekor misalnya, mengatakan, tetap lebih memilih sharing karena boleh dibilang win-win solution bagi kedua pihak. Toto yang bergabung dengan KDT sejak tiga tahun silam sadar, sistem pilihannya berisiko besar. Namun, ia mengaku banyak pelajaran yang diperolehnya, selain keuntungan materi.
Ryan (Kontributor Yogyakarta)
ILUSTRASI Populasi ayam : 5.000 ekor Bobot panen : 1,5 kg Biaya sapronak, dll : Rp8.000/kg Pendapatan plasma : Rp1.000—Rp1.500/kg Rugi ditanggung inti sendiri Inti Modal: 5.000 x 1,5 x Rp8.000/kg = Rp60 juta Pendapatan plasma: Rp7,5 juta—Rp11,25 juta Total: Rp67,5 juta—Rp71,25 juta Hasil daging: 7,5 ton BEP: Rp67,5 juta/7,5 ton = Rp9.000 Harga panen: Rp6.500/kg Inti rugi: Rp18.750.000 Biaya operasional budidaya dan penyusutan kandang: Rp700/ekor Syarat: skill, kandang, agunan Modal: Rp700 x 5.000 = Rp3,5 juta Pendapatan: Rp7,5 juta—Rp11,25 juta Rugi/Laba: (Rp7,5 juta—Rp11,25) - Rp3,5 juta Laba: Rp4 juta—Rp7,75 juta Sistem sharing Populasi ayam : 5.000 ekor Bobot panen : 1,5 kg Biaya sapronak, dll : Rp8.000/kg Pendapatan plasma : Rp1.000—Rp1.500/kg Rugi/laba: inti (60%): plasma (40%) Inti Modal : 5.000 x 1,5 x Rp8.000/kg = Rp60 juta Pendapatan plasma : Rp4 juta Total : Rp64 juta Hasil daging: 7,5 ton BEP = Rp64 juta/7,5 ton = Rp8.530 Harga panen : Rp6.500 Rugi: Rp15.225.000 Inti rugi: Rp9.135.000 (60%) Biaya operasional budidaya dan penyusutan kandang: Rp700/ekor Syarat: skill, kandang, agunan Modal: Rp700 x 5.000 = Rp3,5 juta Pendapatan: Rp7,5 juta—Rp11,25 juta Plasma kecipratan rugi: Rp6.090.000 (40%) Rugi/Laba: (Rp7,5 juta—Rp11,25 juta) - (Rp3,5 juta + Rp6,09 juta) Rugi: Rp1,66 juta—Rp2,09 juta
Sistem kontrak
Plasma
Plasma
Sumber: drh. Hari Wibowo (diolah)