Senin, 21 Januari 2008

SUARA AGRIBISNIS : Hutan dan Ketahanan Pangan

“FAO (Badan Pangan dan Pertanian PBB) telah memberi peringatan tentang akan terjadinya krisis pangan termasuk di Indonesia tahun ini. Oleh karena itu, kita harus mencari solusi untuk mengatasinya. Sumberdaya hutan menjadi salah satu solusinya,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000—2004, saat diwawancarai AGRINA.

 

Bukankah hutan bagi kita hanya sebagai penyedia kayu?

Memang selama ini ada kecenderungan kuat demikian. Perguruan tinggi juga lebih banyak menekankan silvikultur, bukan sumberdaya hutan dan kawasan. Belakangan ini sudah ada pergeseran persepsi pada pengelolaan sumberdaya hutan. Pergeseran persepsi perlu dihargai sebagai perubahan yang amat positif tetapi komitmen ke arah tersebut masih belum terlihat kuat. Hal itu terlihat dari belum adanya pertanda perubahan kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan hutan.

Hutan perlu dilihat sebagai kawasan yang di dalamnya terbentuk ekosistem dan habitat bagi amat banyak makhluk hidup. Hutan juga merupakan sistem hidrologis yang menjamin tersedianya air di segala musim. Hutan juga mengandung unsur keindahan bagi manusia. Dengan begitu, sumberdaya hutan tidak hanya kayu tetapi seluruh sistem hubungan makhluk hidup dengan alam dalam suatu keseimbangan yang amat harmonis. Oleh karena itu, hutan juga adalah suatu teladan sistem pengendalian hama secara terpadu amat canggih yang barangkali di luar jangkauan daya nalar manusia untuk bisa memahaminya secara sempurna.

 

Bagaimana kaitannya hutan sebagai salah satu solusi krisis pangan?

Selain berbagai sumberdaya yang telah disebutkan, hutan juga mengandung berbagai bahan pangan dan bahan non-pangan lain yang amat berguna bagi kehidupan manusia. Kita mengetahui bahwa sejak lama sejumlah kelompok masyarakat tertentu sangat tergantung pada sagu yang telah tersedia secara alami di kawasan hutan. Dari berbagai kajian terbukti, satu pohon sagu bisa menghasilkan sekitar 25 kg sagu basah, atau cukup untuk keperluan keluarga beberapa minggu. Tetapi kemudian kelompok masyarakat tersebut dibujuk untuk mengonsumsi beras.

Kita juga mengetahui hutan menyediakan bahan makanan yang bernilai ekonomis tinggi, seperti sarang burung walet, rebung, buah-buahan yang amat disukai oleh masyarakat. Dan berbagai tanaman yang berguna untuk obat dan pemeliharaan kecantikan. Akibatnya, banyak yang berebut untuk mendapatkan hak pengelolaan dan pemanfaatan sarang burung walet yang bermukim di goa-goa di tengah hutan.

 

Bagaimana pula kaitannya dengan ketahanan pangan?

Dalam rangka ketahanan dan keamanan pangan, kita sudah perlu memperhatikan potensi hutan tersebut sebagai penyedia pangan untuk masyarakat. Ketahanan pangan menyangkut ketersediaan berbagai bahan pangan di setiap tempat dalam jumlah dan kualitas yang memadai, di setiap saat, bagi setiap orang, dan pada harga yang terjangkau.

Dan keamanan pangan menyangkut bebasnya bahan pangan dari berbagai sisa-sisa pestisida yang mengganggu dan membahayakan kesehatan manusia. Hal ini sesuai dengan produksi pangan dari hutan yang sama sekali bebas dari penggunaan bahan-bahan kimia tersebut.

Atas dasar pertimbangan itu, kita perlu memikirkan hubungan lestari masyarakat dengan hutan, serta memanfaatkan sumberdaya hutan secara lestari. Selama ini, masyarakat di sekitar hutan sudah tahu betul cara-cara pemungutan hasil secara lestari tersebut, termasuk menghindarkan kebakaran hutan. Yang seringkali mengganggu adalah iming-iming “pihak luar”. Model pengelolaan hutan dengan sistem HPH menjadi kurang sesuai dengan prinsip pemanfaatan secara lestari tersebut, terlebih bagi ekosistem hutan yang amat rapuh seperti umumnya di Provinsi Papua.

Banyak pemilik HPH ternyata kemudian menimbulkan kerusakan amat berat bagi ekosistem yang ada di hutan sehingga sulit bahkan tidak mungkin dipulihkan kembali. Alternatifnya, melibatkan partisipasi yang lebih luas dari masyarakat melalui sistem perhutanan sosial dan hutan kemasyarakatan. Pola manajemen seperti ini tidak perlu mengganggu agroindustri berbasis kayu di hilir (bubur kayu, kayu gergajian). Melalui organisasi koperasi yang kuat dan mandiri, pasokan bahan mentah ke industri hilir bisa tetap terjamin, dan masyarakat bisa memanen kayu secara lestari.

 

Apakah kawasan hutan yang telah rusak dapat dialihkan untuk tanaman pangan?

Kawasan hutan yang telah rusak oleh pengelolaan HPH adalah satu potensi yang bisa dimanfaatkan untuk mendukung kebijakan ketahanan pangan dan keamanan pangan. Tetapi, pengelolaannya kelak bisa menimbulkan benturan-benturan baru akibat perbedaan kepentingan yang tidak bisa dikompromikan atau diintegrasikan. Oleh sebab itu, mengalihkan kawasan hutan yang rusak tersebut menjadi lahan pertanian tanaman pangan harus dipelajari dan dipertimbangkan dengan matang.

Lebih baik bila dengan penuh kesabaran, ekosistem yang telah rusak itu dipulihkan, paling tidak mendekati kondisi awal. Selama masa transisi, hutan tersebut dapat dimanfaatkan untuk tanaman pangan, namun harus tetap dalam rambu-rambu pengelolaan sumberdaya hutan.

Untung Jaya

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain