Serangan hama pada areal tanaman kapas perlu diwaspadai karena bisa menurunkan potensi produksi sebanyak 20—30%, bahkan gagal panen bila serangan hebat.
Pengganggu tanaman kapas paling potensial adalah ulat buah kapas Helicoverpa armigera. Hama berjuluk ulat tentara ini menyerang kapas yang ditanam secara monokultur maupun tumpangsari. Selain mengggerek buah, ulat ini juga merusak kuncup bunga dan bunga.
Di tingkat petani, pengendalian hama ini dilakukan dengan penyemprotan pestisida. Aplikasi pestisida ini biasanya 10 hari sekali dengan penyemprotan sampai 12 kali selama masa produksi. Namun akibat melonjaknya harga pestisida, akhirnya banyak petani hanya mampu melakukan penyemprotan 3 kali saja. Selain itu si ulat pun sudah menampakkan gejala tahan terhadap insektisida endosulfan 9—11 kali.
Efek lain dari penggunaan pestisida berlebih dan terus menerus adalah terjadinya resurgensi atau munculnya hama baru karena hama utama menurun, membunuh musuh alami yang sebenarnya membantu mengurangi serangan hama, serta tercemarnya lingkungan.
Hama Terkendali, Biaya Turun
Untuk mencegah hal tersebut, perlu terobosan baru pengendalian hama tanaman kapas yang mudah, murah bagi petani, dan memanfaatkan sumber daya lokal. Supriyadi Tirtosuprobo dalam monograf Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat (Balittas), Malang, menawarkan pendekatan teknologi pengendalian hama penyakit terpadu (PHT). Teknologi PHT pada kapas terdiri dari penanaman jagung sebagai tanaman perangkap, memanfaatkan seresah di sekitar pertanaman, dan pemantauan populasi hama.
Dari penanaman jagung diharapkan, rambut jagung yang segar merangsang si ulat tentara untuk meletakkan telurnya di rambut tersebut. Perlu diketahui, jagung juga merupakan tanaman inang ulat tentara. Penanaman jagung pada areal tanaman kapas secara bertahap akan menyediakan rambut jagung untuk meletakkan telur ulat hama selama masa generatif kapas. Alhasil, saat kapas berproduksi tidak terganggu dan lebih memudahkan pengendaliannya.
Seresah, seperti sisa jerami padi, batang kering jagung maupun daun pisang kering, dapat ditaruh di sekitar tanaman kapas. Penggunaan seresah ini selain meningkatkan kesuburan tanah juga mendukung pengendalian hama. Pasalnya, seresah meningkatkan kelembapan tanah yang baik bagi kehidupan musuh alami si hama dari golongan arthropoda (laba-laba). Predator inilah yang akan mengganyang hama sehingga serangannya menurun.
Pemantauan populasi hama juga sangat penting. Dengan melakukan pemantauan, jadwal penyemprotan pestisida bisa dikurangi karena hanya saat mencapai ambang kendali saja penyemprotan dilakukan. Ambang kendali untuk ulat H. armigera adalah bila sudah ditemukan ada 4 tanaman terserang dari 25 tanaman contoh yang diamati.
Nurindah peneliti dari Balittas juga menganjurkan penggunaan agen hayati untuk mengendalikan populasi H. armigera. Pelepasan Trichogrammatoidea armigera, yaitu parasit berupa kutu yang menyerang telur, sebanyak 200 ribu ekor per hektar per pelepasan efektif mengendalikan hama ini.
Biopestisida juga bisa dimanfaatkan. Aplikasi ekstrak serbuk biji mimba (Azadirachta indica) sebanyak 20—30 gram/liter dapat menurunkan populasi H. armigera, menurunkan biaya pengendalian sampai 60%, dan menaikkan pendapatan petani 50%.
Penerapan teknologi PHT pada tanaman kapas ini benar-benar mujarab. Menurut rilis Balittas pada uji coba skala luas 10—30 hektar di Boyolali, Jateng, biaya produksi bisa ditekan sampai 30%, menghemat penggunaan pestisida sampai 52%, meningkatkan produksi kapas berbiji 39,2% dari 1,02 ton menjadi 1,42 ton per hektar, dan yang pasti pendapatan petani kapas meningkat sampai 35,4%.
Tri Pranowo