Senin, 21 Januari 2008

Di Balik Teriakan Perajin Tahu Tempe

Inilah jadinya bila produksi makanan “rakyat” mengandalkan bahan baku dari impor.  Begitu harga bahan bakunya kian tak terjangkau, bisnis produsennya pun terancam.

 

Melambungnya harga kedelai menyita perhatian masyarakat kalangan bawah hingga orang nomor satu di negeri ini. Perajin tahu dan tempe kelabakan karena harga bahan baku dagangan mereka itu terus naik. Menurut H. Sutaryo, Ketua Forum Komunikasi Primer Koperasi Tahu Tempe Indonesia (KOPTTI), yang diwawancarai melalui telepon, “Awal Januari 2007 harganya Rp3.450 dan awal Januari ini menjadi Rp8.000 per kilo.”

Akibat kenaikan harga tersebut, para perajin terancam bangkrut. Soalnya, mereka terpaksa menaikkan harga jual dan mengecilkan ukuran tahu tempe sehingga kehilangan banyak konsumen. Saking tidak kuatnya menanggung beban, minggu lalu para perajin berdemo di depan istana presiden meminta bantuan pemerintah dan mogok memproduksi tahu tempe selama tiga hari berturut-turut.

 

Di Belakang Kenaikan

Kenaikan harga bahan baku “makanan rakyat” itu sangat terkait dengan melambungnya harga di pasar internasional. Pasalnya, dari 2,1 juta ton kebutuhan kedelai nasional, 1,4 juta ton dipasok dari impor, khususnya asal Amerika. Sisanya merupakan produksi dalam negeri. Jadi, harganya praktis terpengaruh kondisi internasional.

Dari 2,1 juta ton tersebut, menurut H. Sutaryo, 1,3 juta ton diserap perajin tahu tempe anggota KOPTTI, 700 ribu ton perajin di luar koperasi, dan sisanya untuk keperluan lain.

Berdasarkan pantauan Handiman, dari American Soybean Association (ASA), rata-rata harga kedelai impor asal AS (CNF) Jakarta pada 2006 hanya sekitar US$275 per ton. Mulai Juli 2007, harga merangkak menjadi US$390, dan melonjak terus sampai akhir Desember mencapai US$600 per ton. Dan Januari ini naik lagi menjadi US$620.

Melonjaknya harga kedelai itu, “Paling tidak disebabkan dua hal, yaitu kenaikan biaya transportasi akibat melambungnya harga minyak dunia dan membengkaknya permintaan dunia terutama dari China untuk minyak makan,” ujar Handiman. Negeri Tirai Bambu ini, menurut Dow Jones Newswire (7/1), sampai November tahun silam mengimpor 27,89 juta ton, naik 8,1% dari tahun sebelumnya. Sedangkan Foreign Agricultural Services (FAS)-Deptan Amerika mencatat, jumlah impor China pada 2006/2007 sebanyak 28,725 juta ton.

Solusi

Menyikapi permasalahan kedelai, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun turun tangan dengan mengadakan rapat koordinasi di Deptan. Dalam rapat itu, pemerintah, sebagaimana disampaikan Presiden SBY, memutuskan langkah-langkah untuk meredam kenaikan harga kedelai. Pertama, menurunkan bea masuk dari sebelumnya 10 persen menjadi nol persen. Kedua, mendorong harga kedelai lokal agar relatif lebih baik di tingkat petani. Ketiga, berkomunikasi dengan para importir kedelai.

Langkah tersebut alternatif solusi jangka pendek. Untuk jangka panjang, sebenarnya Deptan sudah punya ancang-ancang mencapai swasembada pada 2011 dengan sejumlah strategi. Di antaranya mendongkrak produktivitas dari rata-rata 1,3 ton per hektar menjadi 2 ton per hektar.

Bila produktivitas rata-rata tanaman subtropis ini hanya 1,3 ton/ha dengan harga jual normal, memang tidak menguntungkan bagi petani. Kini ada kabar menggembirakan dari petani kedelai yang terhimpun dari Kelompok Tani Kabul Lestari, Desa Panunggalan, Kec. Pulokulon, Kab. Grobogan, Jateng. Dengan menanam benih kedelai Malabar versi Grobogan, mereka mampu memanen rata-rata 3 ton per hektar. Namun untuk mencapai produksi yang memberi keuntungan bersih hampir Rp10 juta per hektar itu butuh waktu cukup lama dengan mengaplikasikan teknologi khusus. (Ikuti AGRINA edisi 71 tentang Kedelai Malabar versi Grobogan)

Peni SP, Faiz Faza

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain