Senin, 21 Januari 2008

Siasat Lele ala Legon Kulon

Pasar lele tetap terbuka dan menguntungkan asalkan pelakunya mampu membudidayakan secara efisien dan mengelola pasar dengan jitu.

 

Desa Bobos, Kec. Legon Kulon, Subang, Jabar, memang  tergolong “bau kencur” untuk urusan lele karena umumnya berprofesi sebagai petani tanaman pangan. Di wilayah yang merupakan pemekaran Kec. Pamanukan itu lele baru intensif dibudidayakan sejak 2003. Namun, untuk urusan produksi dan pasar, petani lele di daerah Pantura ini tak kalah dari kolega mereka di daerah lainnya.

 

Berkelompok

Para petani lele di daerah pengembangan baru biasanya masih dipandang sebelah mata oleh tengkulak atau bandar. Pasalnya, menurut tengkulak, tidak cukup efisien untuk menampung produksi dari petani yang masih sedikit. Demikian pula menurut pandangan para pemasok sarana produksi. Mereka baru berdatangan bila omzet sudah cukup besar.

Karena itu untuk memperkuat posisi tawar, para petani lele di Kecamatan Legon Kulon membentuk kelompok dan kompak menghadapi tengkulak. Adalah Sarwadji, petani lele yang giat menghimpun sekitar 10 petani lele di sana. “Kalau kita punya stok (lele) banyak, tengkulak pasti juga takut kehilangan omzet karena tidak kebagian barang,” jelas lulusan Fakultas Perikanan dan Kelautan Undip itu.

Meskipun kelompok tani itu belum resmi, kegiatan tukar pengalaman tentang budidaya dan pasar lele terus berlangsung, minimal satu bulan sekali. Sarwadji memandang hal ini penting dilakukan mengingat pada umumnya petani lele di daerahnya dulu adalah petani padi atau tanaman pangan. Jadi, “Pengetahuan tentang teknis budidaya lele juga pemasarannya harus terus ditingkatkan,” ujarnya.

Dulu pemeliharaan lele di wilayah ini dilakukan secara sambilan. Petani hanya memiliki 1—2 buah kolam yang biasanya terletak di pekarangan, tak jauh dari rumah. Selain itu, sistem pemeliharaannya pun masih tradisional sehingga hasilnya tidak terlalu bisa diharapkan. Akhirnya, banyak dari mereka yang menghentikan usaha karena tidak dapat meraih keuntungan. 

Selain penerapan pola yang kurang tepat, besarnya skala usaha juga berpengaruh terhadap keberlanjutan budidaya. “Menurut saya, paling tidak seorang petani lele harus memiliki enam buah kolam yang dikelola secara intensif. Jika satu siklus berlangsung selama 60 hari, maka petani lele dapat panen sebanyak tiga kali dalam sebulan,” ujar Sarwadji yang juga Ketua Bidang Perikanan Kelompok Tani Nelayan Andalan (KTNA) Kec. Pamanukan, Subang.

 

Gunakan Prebiotik

Pembeli lele produksi petani Kec. Legon Kulon berasal dari Bandung, Bekasi, dan Jakarta. “Saya punya empat orang tengkulak yang menampung hasil panen saya,” ungkap Sarwadji. Lele segar ukuran 7—10 ekor per kg dihargai Rp8.200—Rp8.300 per kg (November 2007). Menurutnya, harga tersebut relatif baik dibandingkan bulan-bulan sebelumnya yang hanya berkisar Rp7.300—Rp8.000 per kg.

Berdasarkan pengalaman para petani, harga lele cenderung merosot ketika musim penghujan. Penyebabnya, pada saat itu hampir seluruh kolam lele produktif karena mendapatkan pasokan air yang cukup sehingga produksi lele melimpah. Akibatnya, banyak lele yang tidak terserap pasar dan harus dipelihara lebih lama di kolam.

Selain perlu biaya produksi tambahan, ukuran lele yang lebih besar, mencapai 5—6 ekor per kg juga cuma dipatok Rp5.500 per kg. Padahal, “Biaya produksi satu kg lele saat ini sudah mencapai Rp7.200,” lanjut Sarwadji. Untuk itulah ia menyarankan tidak menggenjot produksi habis-habisan pada saat musim hujan karena produksi meningkat tapi daya serap pasar tetap sama.

Semasa kemarau, biasanya kualitas air agak menurun sehingga banyak petani mengkhawatirkan keselamatan ikan peliharaannya. Pada umur dua minggu pemeliharaan, air kolam sudah sangat kotor. Untuk mengatasinya Sarwadji mempergunakan prebiotik. “Prebiotik ini isinya molase yang merupakan media tumbuh bagi bakteri menguntungkan,” paparnya. Penggunaan molase dipercaya membuat air kolam menjadi lebih baik kualitasnya, nafsu makan ikan meningkat, dan jarang terserang penyakit.

Enny Purbani T.

 

 

Analisis Usaha Pembesaran Lele

Lama pemeliharaan       :  60 hari

Ukuran kolam                :  200 m2 (10 x 20 m2 )

Ukuran Benih                 :  7—10 cm

Padat tebar                   :  125 ekor per m2 (25.000 ekor)

A. Biaya :

- Sewa kolam (1 tahun)                                       Rp  1.000.000

- Peralatan (tong plastik, jaring, seser, dsb)        Rp     500.000

                                                                                ------------------

                                                              Jumlah Rp  1.500.000

-  Biaya penyusutan (1 tahun = 5 kali panen)         Rp     300.000

 

-  Benih 25.000 ekor x Rp100                                Rp  2.500.000

-  Pakan  85 karung x Rp160.000                           Rp13.600.000

-  Tenaga kerja 1 orang                                        Rp     600.000

-  Tenaga kerja panen Rp32.500 x 6 orang             Rp     210.000

-  Tenaga pembersih lumpur Rp32.500 x 4 orang     Rp     130.000

Obat-obatan                                                      Rp     300.000

     -  Kapur, pupuk kandang, dll                             Rp     200.000

                                                                              ------------------

                                                                  Jumlah Rp17.840.000

 

B. Pendapatan

-  Kelangsungan hidup 80% x 25.000 = 20.000 ekor

-  Ukuran lele 7--10 ekor per kg ( rata-rata 8 ekor per kg)

-  Panen: 20.000 ekor : 8 ekor  =  2.500 kg

-  Penjualan hasil panen : 2.500 kg x Rp8.000                 Rp20.000.000

 

C. Keuntungan

-  Biaya – Pendapatan (Rp20.000.000 – Rp17.840.000)      Rp  2.160.000

 

 

 

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain