“Pada akhir 2007 lalu, telah kelihatan tanda-tanda perubahan konteks pertanian dan agribisnis secara nasional dan global. Perubahan konteks ini sudah barang tentu membutuhkan perubahan pendekatan, strategi, dan program untuk pembangunan sistem dan usaha agribisnis ke depan,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000–2004, saat diwawancarai AGRINA.
Perubahan konteks yang bagaimana dimaksud?
Sejak krisis moneter lalu sampai pertengahan 2007, pertanian termasuk di dalamnya keseluruhan agribisnis kita dalam konteks excess supply (tekanan suplai). Saat itu laju pertumbuhan produksi pertanian lebih besar daripada pertumbuhan permintaan hasil-hasil pertanian. Akibatnya, harga produk pertanian mengalami stagnasi sangat lama. Pertanian menjadi bidang yang kurang menguntungkan dan menarik buat para petani khususnya di bidang pangan.
Dalam konteks seperti itu, strategi pembangunan pertanian dan sistem agribisnis lebih ditekankan untuk menanggulangi masalah yang timbul karena adanya tekanan suplai tadi. Strategi yang diambil adalah memberi insentif kepada produsen, yakni petani, agar tetap mau berproduksi dan meningkatkan pendapatannya. Contoh-contoh insentif itu seperti subsidi, pengurangan pajak, dan bujet untuk pembangunan infrastruktur dan kelembagaan di bidang pertanian. Di samping itu, para petani juga dilindungi dari persaingan yang tidak adil di perdagangan internasional.
Apa dampaknya excess demand bagi agribisnis kita?
Excess demand (tekanan permintaan) dalam pengertian laju pertumbuhan permintaan hasil-hasil pertanian lebih besar daripada pertumbuhan produksi pertanian secara nasional dan global. Akibatnya, harga produk pertanian menjadi meningkat secara luar biasa. Berbeda dengan konteks ekses suplai, dalam excess demand ini pertanian menjadi lebih diuntungkan, pembangunan pertanian menjadi jauh lebih mudah dibandingkan saat ekses suplai. Dengan harga yang tinggi, para petani dengan atau tanpa insentif akan berusaha lebih giat untuk meningkatkan produksi dan produktivitasnya.
Oleh karena itu, dapat dikatakan excess demand merupakan kesempatan baru bagi sistem dan usaha agribuisnis di on-farm dan off-farm. Kendati pun demikian, on-farm agribisnis masih butuh uluran tangan pemerintah karena harga produk pertanian yang meningkat diikuti juga peningkatan biaya produksi sehingga adakalanya marjin buat petani akhirnya tidak berubah.
Namun sebaliknya para konsumen akan sangat menderita khususnya konsumen miskin termasuk di dalamnya petani miskin. Mereka harus melakukan penyesuaian yang sangat sulit terhadap kenaikan harga. Jika tidak pintar-pintar menghadapi masalah excess demand ini dapat mengakibatkan masalah kemiskinan semakin parah, ditambah masalah baru, yakni kelaparan.
Masyarakat dan pemerintah harus waspada mengenai masalah ini. Pemerintah jangan terpesona dengan peningkatan Produk Domesik Bruto (PDB) pertanian. Peningkatan itu sebagian besar disebabkan peningkatan harga sebagai akibat excess demand tadi, namun ketersediaan produk pertanian masih menjadi masalah. Dan itu kelihatan dari harga pangan yang masih terus meningkat, khususnya saat terjadi gangguan alam.
Apa penyebab utamanya?
Penyebab dari peningkatan pertumbuhan permintaan ini ada 3 hal, yaitu pertama, pertumbuhan bahan baaakar nabati (BBN) yang menggunakan produk pertanian dalam jumlah yang jauh lebih besar; kedua pertumbuhan ekonomi yang spektakuler di China dan India yang mengakibatkan pertumbuhan konsumsi hasil pertanian yang lebih besar; dan ketiga pertambahan penduduk dunia termasuk penduduk Indonesia yang membutuhkan bahan makanan lebih banyak. Dan excess demand itu diperparah lagi karena biaya distribusi yang meningkat sangat tinggi sebagai akibat naiknya harga minyak bumi.
Apa yang perlu dilakukan menghadapi hal tersebut?
Pertama, mencegah excess demand dengan meningkatkan produksi lebih hebat lagi. Tidak hanya nilai produk pertanian yang meningkat tapi produksi fisiknya juga harus meningkat. Kedua, perlu diversifikasi pangan. Diversifikasi pangan membuat obsesi terhadap beras bisa dikurangi sehingga memberi fleksibilitas bagi para konsumen. Untuk itu peningkatan prosesing di off-farm menjadi sangat penting.
Ketiga, perbaikan infrastruktur untuk distribusi agar daerah-daerah terpencil tidak mengalami lonjakan harga yang bisa menimbulkan kelaparan lokal dan regional. Dan keempat, koordinasi antarinstansi di pusat dan antara pusat dengan daerah yang mengurus masalah pangan ini menjadi lebih penting. Dalam hal ini peranan Menko Perekonomian dan Menko Kesejahteraan Rakyat sangat penting karena urusan tersebut tidak bisa lagi diatasi Departemen Pertanian sendirian. Departemen Pertanian harus bekerjasama dengan Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Perindustrian, Departemen Perdagangan, Perum Bulog, Departemen Kesehatan, dan Departemen Sosial.
Sewaktu terjadi ekses suplai pendekatan sektoral pertanian yang dominan bisa dimengerti. Namun sesudah adanya excess demand maka pendekatan yang sebanding antara produksi dan konsumsi, yakni sistem pangan menjadi sama pentingnya. Oleh karena itu pendekatan sistem dan usaha agribisnis pangan menjadi semakin relevan.
Untung Jaya