Senin, 7 Januari 2008

Realitas “Emas Putih” Banyumas

Di tengah kondisi persusuan sangat potensial untuk pengembangan, ternyata masih banyak problem menghadang peternakan sapi perah di Banyumas.

 

Peternakan sapi perah di Banyumas mulai berkembang sejak 1987, diawali adanya bantuan Masyarakat Ekonomi Eropa yang dinamakan Sumba Kontrak. Ada pun daerah yang menerima bantuan di antaranya Kecamatan Baturaden, Sumbang, Karanglewas, Pekuncen, dan Cilongok. 

Lebih jauh mengenai sejarah persusuan di Banyumas, Ir. Ahmad Afaroaitum, Ketua Koperasi Peternak Satria (Pesat) mengatakan, maraknya peternakan sapi perah saat itu mendorong terbentuknya koperasi. “Koperasi ini bertujuan menyerap susu dari para peternak, kemudian koperasi menjualnya ke Industri Pengolahan Susu (IPS) karena peternak nggak mampu menjual sendiri,” jelasnya.

 

Pasokan Menurun

Penyerapan produksi susu segar oleh koperasi sudah berjalan. Tahun lalu saja koperasi mampu menyerap 5.000 liter per hari. Namun, saat ini koperasi hanya menyerap sekitar 2.000 liter per hari dari 10.000 liter kapasitas. Rendahnya pasokan ini, menurut Ahmad, dikarenakan menurunnya jumlah sapi produktif, selain juga rendahnya kualitas dan kuantitas susu.

“Peternak mengeluh sering merugi karena tingginya biaya produksi. Sehingga acapkali ditemui peternak menjual sapinya lantaran tidak kuat lagi menanggung beban,” ungkap Ahmad. 

Soewarto WS, Ketua Kelompok Sapi Perah Margo Mulyo, Desa Kemutug Lor, Baturaden, membenarkan. Biaya pakan seekor sapi per hari, berdasarkan hitungannya, mencapai Rp12.000. “Dengan kepemilikan ternak yang sedikit, tentunya tidak efisien, ditambah biaya tenaga kerja, kesehatan, dan lain-lain. Sebenarnya peternak minim sekali untungnya. Malah kebanyakan boleh dikatakan rugi. Untung baru bisa diperoleh jika pedet lahir,” papar pemilik 10 ekor sapi ini.

 

Harga Ideal

Memang ada kenaikan harga susu segar sejak Agustus dua tahun silam tetapi belum banyak menolong peternak. Menurut Soewarto, koperasi membeli susu peternak seharga Rp1.750—Rp1.800/liter. “Katanya akhir Desember harga akan naik lagi karena koperasi menjualnya kepada PT Frisian Flag Indonesia,” tuturnya.

Pernyataan Soewarto dibenarkan Ahmad, kenaikan harga bisa diberlakukan jika penjualan ke PT FFI berjalan lancar. “Kami baru mampu mengirim 4.000 liter setiap 4 hari, dan kami juga menjual separuhnya ke konsumen lokal. Dengan kenaikan harga ini, saya yakin animo masyarakat meningkat untuk beternak sapi perah. Kami juga bisa meningkatkan kuantitas pengiriman ke FFI,” lanjut Ahmad saat ditemui AGRINA awal Desember lalu.

Pasokan ke IPS tersebut dibenarkan Efi Lutfillah, Milk Development Manager PT FFI via telepon. “Saat ini kami mendapat pasokan sekitar 3 ton per hari. Harganya sekitar Rp3.000-an karena kualitasnya belum bagus. Jumlah kumannya masih di atas 3 juta dan TS (total solid)-nya 11,” ungkap Efi.

Menurut Efi, peluang memasok FFI masih cukup besar. Demikian pula harga beli susu segar bisa lebih tinggi lagi asalkan kualitasnya juga ditingkatkan. Kisaran harga beli tertinggi susu segar awal Januari ini, kata dia, mencapai Rp3.800 per liter. Pihak FFI, lanjut Efi, berencana terjun ke Banyumas untuk mengetahui permasalahan peternakan sapi di sana.

Selama ini, menurut Soewarto yang memimpin kelompok sejumlah 36 orang, para peternak memang harus kreatif menciptakan nilai tambah bagi produknya agar bisa untung. Pasalnya, harga beli koperasi hanya sedikit memberikan keuntungan bagi mereka. Dengan menjual ke konsumen langsung seharga Rp2.500 per liter, mereka meraih untung lebih. Apalagi saat Baturaden yang merupakan kawasan wisata sedang ramai, permintaan produk susu pun bisa berlipat. 

 

Ryan (Kontributor Purwokerto)

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain