Bandeng terbilang ikan budidaya yang memiliki keunggulan komparatif dan strategis karena dapat dibudidayakan di air payau, laut, dan air tawar, teknologi pembesaran dan pembenihannya telah dikuasai masyarakat, toleran terhadap perubahan mutu lingkungan, serta tahan terhadap serangan penyakit. Selain itu, bandeng juga ikan yang paling banyak diproduksi dan dikonsumsi di Indonesia, digunakan sebagai umpan dalam penangkapan tuna dan cakalang, dan telah pula menjadi komoditas ekspor.
Untuk Umpan Tuna
Bandeng diproduksi dalam berbagai ukuran sesuai kebutuhan pasar. Untuk umpan penangkapan tuna dan cakalang, ukurannya berkisar 80—200 gr per ekor, konsumsi 300—500 gr per ekor, super 500—1.000 gr per ekor, dan induk > 4 kg per ekor. Dalam sehari, kota Makassar misalnya, membutuhkan bandeng konsumsi sebanyak 5—6 ton dengan nilai Rp90 juta—Rp100 juta. Namun produksi yang tersedia hanya berkisar 25—30%. Permintaan bandeng meningkat pada November—Januari, saat ikan hasil tangkap nelayan berkurang.
Sebagian besar budidaya bandeng masih dilakukan secara tradisional. Dengan mengandalkan pupuk untuk pertumbuhan kelekap sebagai pakan alami, produksi rata-rata yang dicapai hanya 300—1.000 kg per ha per musim. Namun, dengan input teknologi berupa pakan dan kincir, produksi bandeng dapat ditingkatkan hingga 5.000 kg per ha per tahun. Benih yang digunakan rata-rata 50 gr per ekor (panjang 7—10 cm) yang ditebar dengan kepadatan 500 ekor per m3. Ikan mencapai ukuran bobot 450 gr per ekor setelah dipelihara selama 120 hari.
Di antara empat ukuran bandeng, produksi bandeng umpan dan super paling sedikit jumlahnya. Padahal pasar bandeng umpan dan bandeng super cukup besar. Bandeng umpan digunakan untuk penangkapan tuna (sirip kuning, mata besar, sirip biru), cakalang, dan tongkol. Sedangkan bandeng super untuk ekspor dan induk.
Budidaya bandeng umpan memiliki prospek yang baik seiring menurunnya hasil tangkapan umpan alam. Ketersediaan umpan hidup yang cukup dan berkualitas merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan penangkapan. Umpan hidup yang biasa digunakan dalam penangkapan tuna dan cakalang antara lain ikan teri (Stolephorus sp.), ikan tembang (Sardinella fimbriata), kembung (Rastrelliger kanagurta), pisang-pisang (Caesio sp), dan layang (Decapterus russeli).
Akhir-akhir ini kapal-kapal penangkap tuna long line memanfaatkan bandeng muda (gelondongan) sebagai umpan hidup. Gelondongan bandeng ditengarai dapat meningkatkan laju tangkap 3—5 kali lebih tinggi dibandingkan umpan beku atau segar. Kelebihan lain, daya tahan gelondongan bandeng lebih lama ketimbang umpan lain dan mudah ditangani. Hal ini menjadikan gelondongan bandeng sebagai segmen pasar tersendiri yang prospektif.
Umpan Lebih Untung
Sejak awal 1990-an, di Benoa, Bali, tidak kurang dari 50 rean (1 rean = 5.500 ekor) gelondongan bandeng diserap kapal-kapal tuna long line per hari. Sedangkan di Pelabuhan Perikanan Samudra Baru, Jakarta diperkirakan 90% dari total keperluan bandeng umpan dipasok dari hasil budidaya petani tambak di Karawang. Selain lebih tahan hidup dan mudah ditangani, keunggulan bandeng sebagai umpan adalah produksinya dapat ditingkatkan melalui kegiatan budidaya. Sementara ketersediaan umpan alam dibatasi oleh musim dan produksinya fluktuatif.
Usaha penyediaan umpan alam dari penangkapan dibatasi oleh ketersediaan sumber daya ikan. Sebagai contoh ikan teri, salah satu ikan umpan yang sangat baik kini mengalami kelebihan tangkap di Maluku dan Maluku Utara. Dengan demikian, gelondongan bandeng berpeluang menjadi salah satu jenis umpan yang dapat diandalkan untuk penangkapan tuna dan cakalang, baik dalam kondisi hidup maupun beku. Itu berarti budidaya bandeng untuk memproduksi umpan merupakan usaha yang menguntungkan.
Sebuah kajian yang dilakukan pada tambak di Kamal, Jakarta Utara, menyebutkan, usaha bandeng umpan memberikan keuntungan lebih tinggi dibandingkan bandeng konsumsi. Hal ini terlihat dari laba bersih usaha bandeng umpan dalam satu tahun tiap hektar mencapai Rp28,28 juta. Sedangkan laba bersih dalam satu tahun tiap hektar untuk usaha bandeng konsumsi hanya Rp16,74 juta.
Budidaya bandeng umpan dapat dilakukan di tambak dan keramba jaring apung (KJA) dalam waktu 3—4 bulan sejak dari nener. Teknis budidaya bandeng umpan tidak berbeda dengan budidaya bandeng konsumsi, bahkan dapat menerapkan padat penebaran tinggi. Di tambak, padat tebar berkisar 10—20 ekor per m2, sedangkan di KJA mencapai 500—600 ekor per m3.
M. Ghufran. H. Kordi (Pemerhati dan penulis buku-buku perikanan, tinggal di Makassar).