“Dengan diluncurkannya UU No. 22/1999 tentang Otonomi Daerah, telah terjadi perubahan yang mendasar dalam pembangunan nasional termasuk pembangunan ekonomi,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000 – 2004, saat diwawancarai AGRINA.
Perubahan mendasar apa yang dimaksudkan?
Sebelumnya, pengelolaan pembangunan ekonomi bersifat sentralistis dan lebih mengandalkan industri-industri besar berbasis impor. Yang akan datang, pengelolaan pembangunan ekonomi berubah menjadi desentralistis dan mengandalkan industri-industri yang berbasis pada sumberdaya lokal. Hal ini berarti pembangunan ekonomi nasional akan terjadi pada setiap daerah dan perekonomian daerah inilah tulang punggung perekonomian Indonesia.
Keberhasilan pembangunan ekonomi daerah merupakan salah satu takaran bagi keberhasilan otonomi daerah. Sayangnya, paling tidak sampai saat ini, masyarakat termasuk pemerintah lebih tertarik pada soal-soal pembagian keuangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, dan sangat sedikit perhatian tentang membangun ekonomi daerah.
Pembangunan apa yang sekiranya tepat dilaksanakan?
Tidak terlalu berlebihan bahwa paling tidak untuk beberapa dekade ke depan, jika kita berketetapan hati untuk membangun ekonomi daerah, maka tidak ada pilihan lain kecuali membangun sistem agribisnis yang berbasis pada sumberdaya lokal. Hal ini disebabkan sampai saat ini hampir seluruh ekonomi daerah di Indonesia berbasis pada sistem agribisnis baik dilihat dari Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB), penyerapan tenaga kerja, penguasaan teknologi, maupun struktur ekspor. Karena itu, strategi pembangunan ekonomi daerah yang paling tepat dan efektif adalah melalui pembangunan sistem agribisnis.
Di luar pembangunan sistem agribisnis tidak ada cara lain yang dapat ditempuh untuk membangun ekonomi daerah yang dapat menjamin perekonomian dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Sektor pertambangan misalnya, memang untuk beberapa daerah cukup potensial. Namun tidak dapat dijadikan kegiatan ekonomi rakyat banyak di daerah. Kita tidak mungkin mengkapling-kapling tambang kepada seluruh rakyat di daerah. Lagi pula teknologi pertambangan tidak dikuasai rakyat banyak di daerah. Oleh karena itu, melalui Pasal 33 UUD 1945, rakyat telah sepakat bahwa pemanfaatan tambang diserahkan kepada pemerintah dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat banyak dalam bentuk barang-barang publik.
Demikian juga pembangunan industri yang tidak ada sangkut-pautnya dengan sumberdaya lokal tidak dapat diandalkan untuk membangun ekonomi daerah. Contohnya, kawasan pembangunan ekonomi terpadu (KAPET) yang mengembangkan industri-industri foot-lose seperti industri elektronika dan lainnya. Keadaan akan sangat berbeda bila KAPET tersebut mengembangkan industri pengolahan hasil pertanian untuk ekspor yang memiliki keterkaitan kuat dengan kegiatan agribisnis rakyat. Pada keadaan yang demikian, setiap peningkatan output KAPET akan menarik “gerbong” kegiatan agribisnis, sehingga akan meningkatkan pendapatan rakyar di daerah tersebut. Peningkatan pendapatan yang diterima rakyat akan semakin besar bila industri-industri pengolahan yang ada juga ikut dimiliki oleh koperasi agribisnis rakyat.
Bagaimana langkah untuk mewujudkan hal tersebut?
Hal yang terakhir inilah yang perlu diwujudkan dalam pembumian pembangunan sistem agribisnis di daerah. Esensinya adalah: 1) meningkatkan nilai tambah yang tercipta dalam suatu agribisnis berbasis sumberdaya lokal, dan 2) memperbesar bagian nilai tambah tersebut yang tinggal atau dinikmati rakyat daerah yang bersangkutan.
Untuk mencapai hal pertama tersebut ditempuh melalui percepatan perubahan pembangunan sistem agribisnis daerah dari pembangunan yang digerakkan oleh kelimpahan sumberdaya alam dan tenaga kerja tak terdidik ke agribisnis yang digerakkan oleh modal dan tenaga kerja lebih terdidik. Dan kemudian pada agribisnis yang digerakkan oleh inovasi teknologi dan tenaga kerja terdidik. Dengan perkataan lain, untuk memperbesar nilai tambah agribisnis daerah, keunggulan komparatif pada masing-masing daerah secara bertahap ditransformasikan menjadi keunggulan bersaing. Dan untuk mencapai hal kedua, yakni memperbesar bagian nilai tambah yang dinikmati rakyat banyak di daerah, ditempuh melalui pengembangan organisasi ekonomi rakyat seperti koperasi, usaha kecil dan menengah, serta pengembangan jaringan bisnisnya.
Seperti apa model pengembangan organisasi ekonomi rakyat itu?
Pengembangan organisasi ekonomi rakyat, khususnya petani, sangat penting karena petani yang merupakan golongan rakyat terbesar di daerah hanya menguasai usahatani yang justru memiliki nilai tambah terkecil dalam suatu sistem agribsins. Nilai tambah terbesar terdapat pada off-farm agribisnis baik pada industri hulu maupun industri hilir pertanian. Karena itu, pengembangan koperasi agribisnis petani di setiap daerah bukanlah pada on-farm tetapi harus ke off-farm, sehingga nilai tambah yang besar pada off-farm dapat jatuh ke tangan petani melalui koperasinya.
Mengingat sistem agribisnis berbeda-beda pada setiap daerah, baik jenis maupun perkembangannya, desentralisasi pembangunan sistem agribisnis harus sesegera mungkin diwujudkan. Alasan bahwa pemerintah daerah belum siap adalah mengada-ada dan tidak berdasar. Hanya pemerintah daerah dan rakyatlah yang paling tahu yang dibutuhkan dalam pembangunan agribisnis daerahnya. Lagi pula, selama ini pelaksana langsung pembangunan adalah rakyat beserta pemerintah daerah. Pemerintah pusat di masa lalu hanya memberi komando dan tidak pernah melaksanakan pembangunan secara langsung.
Untung Jaya