Dengan nilai ekonomis yang kian melambung, jagung mampu membawa kemakmuran bagi penanamnya.
Begitu yang dirasakan H. Suwono, petani jagung di Dusun Balong
Petani yang menerapkan pola tanam padi-kedelai-jagung itu mengaku mendapat keuntungan terbesar dari jagung. Dengan harga Rp2.000/kg di pasaran, setiap usai panen Suwono mengantongi untung bersih sekitar Rp7 juta/ha atau Rp35 juta/5 ha. “Selisih keuntungannya sangat besar dibandingkan komoditas lainnya,” ungkap Ketua Kelompok Tani Sri Rejeki III ini.
Andalan
Tak salah memang pilihan H. Suwono mengupayakan jagung. Komoditas ini tengah naik daun tidak hanya di pasar dalam negeri sebagai bahan
Suwono mengaku, di antara tiga komoditas yang ditanamnya setiap tahun, jagunglah yang menjadi andalan. Alasannya, selain lebih mudah dirawat juga lebih menguntungkan. “Jagung kalau kurang baik bisa diperbaiki, kalau padi dan kedelai tidak bisa,” terang suami dari Guru TK bernama Anis Watin ini.
Jagungnya tentu saja tidak sembarang jagung. Sejak lima tahun silam, Suwono menanam jagung hibrida Bisi, terutama Bisi 12 dan 16, produksi PT Bisi International di Sidoarjo, Jatim. Menurutnya, varietas ini punya keunggulan menghasilkan rendemen lebih banyak. Itu dapat dilihat dari jumlah panennya yang mencapai 12 ton/ha pipilan kering. Keunggulan lain, biji pipilannya mengkilap, tanamannya mudah dirawat, dan yang paling utama adalah umurnya pendek.
Tatacara budidaya tidak jauh berbeda dengan varietas jagung umumnya. Pembedanya hanya dosis penggunaan pupuk urea yang lebih banyak, 11—14 kuintal/ha. Suwono memperkirakan tanah di daerahnya sudah semakin miskin unsur hara hingga membutuhkan urea lebih banyak.
Petani berusia 46 tahun itu juga tidak terlalu memusingkan masalah
Biaya operasional yang dibutuhkannya dalam satu musim tanam jagung mencapai Rp5 juta—Rp7 juta/ha. Nilai tersebut mencakup biaya sewa traktor, tenaga kerja, pengairan, bibit, pemupukan, dan pascapanen. Namun belum termasuk sewa lahan.
Bila dikalkulasi, hasil penjualan panen jagung ayah dua anak tersebut bisa mencapai Rp22 juta/ha. Setelah dipotong biaya produksi dan sewa lahan, maka keuntungan bersihnya mencapai Rp35 juta/5 ha. Karena itu pulalah empat tahun silam Suwono mampu berhaji untuk kedua kali.
Pilih Sewa
Sukses Suwono sebagai petani sebenarnya berawal dari sebuah keterpaksaan. Cita–citanya sejak kecil ingin menjadi pegawai negeri. Namun orangtuanya memberikan nasihat kepada dirinya agar bisa bekerja mandiri. Akhirnya Suwono memilih menjadi petani. “Prinsipnya, daripada diperintah orang, lebih baik memerintah orang,” tandasnya
Sejak pertama terjun menjadi petani pada 1984 sampai sekarang, Suwono mengaku tidak memiliki lahan sendiri. Dengan pertimbangan soal risiko, ia lebih memilih menyewa ketimbang membeli. Padahal setiap tahun ia harus merogoh kocek Rp11juta/ha untuk biaya sewa lahan. Menurutnya, warga desanya banyak yang memiliki lahan tapi tidak punya modal untuk bertanam, padahal mereka butuh uang sehingga terpaksa disewakan.
Terkait soal sewa-menyewa lahan, Suwono yang takut disebut “Tuan Takur” (Red: Tuan Tanah) ini selalu berprinsip, tangan di atas lebih baik dari pada di bawah. Maksudnya, memberi lebih baik darioada menerima. ”Alhamdulillah, saya menyewa juga dengan harga lebih, itung–itung beramal,” papar anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) di desanya tersebut.
Saat ditanya apa kiatnya sehingga bisa sesukses sekarang, Suwono menjawab, bahwa kita harus mengikuti pasar. Cara sederhana yang selalu diterapkannya adalah dengan menanam lebih awal sebelum petani lain. Dari pandangannya, langkah itu sangat efektif. Selain itu kita juga harus mempersiapkan segala kebutuhan tanam dengan maksimal. Seperti pemilihan bibit yang berkualitas dan jika membutuhkan alat bantu seperti diesel untuk menyedot air, maka harus disiapkan.
Pada akhir perbincangan dengan AGRINA, Suwono menyarankan kepada petani pemula agar tidak takut untuk kotor–kotoran dan langsung turun ke lahan. Jangan hanya mengandalkan modal uang tanpa tahu perkembangan lahannya. Bahkan seorang insinyur pun, menurutnya, tidak akan berhasil jika hanya diam di atas dan berteori tanpa praktek langsung. “Perjuangan harus ada pengorbanan. Itu kalau ingin berhasil,” ungkapnya lantang.
Selamet R, Indah Retno P (