Dari jualan beras saja, omzet setiap bulannya mencapai Rp780 juta. Belum lagi pemasukan dari tiga perusahaan lainnya.
Luwarso, pria kelahiran Pemalang, Jateng, 16 Juni 1965, ini sempat merasa minder menjadi sarjana pertanian. Betapa tidak, usai menamatkan kuliah di Unsoed, Purwokerto, pada 1989, ia malah menjadi kernet truk pembawa hasil bumi, jurusan Semarang-Bengkulu selama dua tahun.
Pada 1993, Luwarso mencoba mencari peruntungan ikut temannya (ngenger) di Sukabumi, Jabar. “Saya tidak memilih
Berbeda dengan kebanyakan penjual nasi goreng keliling, Luwarso sangat memperhatikan mutu beras. Waktu itu ia heran, beberapa kali membeli beras di pasar, beberapa kali pula memperoleh kualitas beras yang berbeda. Padahal sepengetahuan dia, Sukabumi terkenal dengan berasnya yang enak. “Perkiraan saya, beras enak adalah beras yang baru. Oleh sebab itu saya membeli langsung ke penggilingan padi,” tandasnya. Sejak itu, pria berperawakan sedang ini selalu berhubungan dengan penggilingan padi. “Ternyata kalau beli langsung ke penggilingan, kualitas beras lebih terjamin,” imbuhnya.
Empat Perusahaan
Ayah satu anak ini jeli menangkap peluang usaha. Kedekatan dengan pemilik penggilingan beras, ia manfaatkan untuk mencoba ikut memasarkan beras. Luwarso pun mulai memasarkan beras ke beberapa hotel di Sukabumi. Sejak itu, jiwa agribisnisnya mulai tumbuh.
Seiring perjalanan waktu, jangkauan pemasarannya meluas ke pasar swalayan, perusahaan besar, dan katering, di Jakarta. Semua produk beras dari penggilingan padi tersebut mampu ia pasarkan. “Kurang lebih setengah tahun, saya memperoleh keuntungan Rp10 juta,” akunya. Pada 1999, penggilingan padi itu, PB Tunggal Jaya, malah berhasil dibelinya seharga Rp225 juta.
Untuk menjamin kontinuitas dan kualitas pasokan beras, Luwarso bertekad membangun agribinis terpadu dengan melibatkan petani setempat. Pada 2001, ia mendirikan CV Indobangkit sebagai penyedia benih. Semula ia hanya memasarkan benih unggul lokal Ciherang yang diperoleh dari petani penangkar kemitraan seluas 16 ha di Bekasi, Jabar, dan penangkar benih lain. Namun pada 2006, ia pun bekerja sama dengan PT Bayer Indonesia untuk memasarkan benih padi hibrida Arize. “Selain menjual benih, saya juga melakukan pendampingan dan hasil panennya saya beli,” ucap terangnya. Setahun silam, ia mendirikan CV Buana Citra Lestari yang khusus melayani saprodi pupuk cair.
Sampai sekarang, jumlah petani yang bermitra dengan Luwarso mencapai 500 orang, dengan luas lahan sawah untuk padi hibrida 50 ha dan inbrida 100 ha. Musim tanam tahun ini, petani binaannya menyerap 50 ton benih padi hibrida, dan 1.300 ton Ciherang. Ia sendiri hingga kini tidak memiliki sawah.
Luwarso juga mengajarkan petani berhubungan dengan lembaga keuangan. Pertengahan tahun ini ia membangun model lembaga keuangan syariah yang paling sederhana, Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) “Rohmah”. Anggota BMT ini adalah seluruh petani binaan.
Sistem agribinis ala Luwarso ini diwadahi dalam lembaga bernama Sentra Pelayanan Agribinis (SAPA). Dibantu 25 karyawan, kini SAPA mampu memasarkan 150 ton beras per bulan, kemasan 25 kg yang dibanderol Rp5.200/kg.
Walaupun Luwarso sudah jadi pengusaha, profesi sebagai penjual nasi goreng tidak ia tinggalkan. Namun, cara jualannya tidak berkeliling lagi, tapi di kios miliknya. “Setiap Minggu, saya terjun langsung melayani konsumen,” akunya menutup obrolan dengan AGRINA.
Dadang WI, Selamet R