Senin, 24 Desember 2007

Karet Memuai Laba pun Dituai

Sejak pertengahan tahun lalu, harga karet dunia terus meroket. Petani karet seperti H.A Sofyan pun menuai untung lantaran harga bokar atau sheet di tingkat petani ikut melambung.

 

Kenaikan harga minyak bumi mendorong kenaikan harga karet sintetis, sehingga industri berbahan baku karet beralih membeli karet alam. Permintaan yang semakin banyak itu membuat harga jual karet alam terdongkrak.

Setelah cukup lama stagnan di kisaran Rp6.000—Rp8.000/kg, harga karet berbentuk sheet akhirnya merangkak ke angka Rp9.000/kg. Dalam setahun ini, harga karet bahkan memuai sampai Rp19.000/kg. Tak heran jika H.A. Sofyan BHM, SIP., mengibaratkan karet sebagai ban penyelamat setelah hampir tenggelam akibat jeblok di bisnis vanili pada empat tahun silam. 

 

Tidak Susah Menjual

Berawal dari satu hektar, petani asal Kecamatan  Cidolog, Kabupaten Sukabumi, Jabar, kini telah memiliki 28 ha kebun karet. Lima hektar di antaranya telah berproduksi sebanyak 1.000–1.500 kg sheet/bulan. Dengan harga Rp19.200/kg, sedikitnya ia menyadap Rp20 juta/bulan. Belum termasuk, penjualan karet hasil pekebun kelompoknya  sejumlah 4—5 ton/bulan.

Karet yang ia tanam mulai berproduksi pada tahun keempat. Tapi H.A Sofyan tidak menjual bokar (bahan olahan karet), melainkan setelah  diproses. “Saya hanya menjual karet yang telah diproses dalam bentuk sheet,” akunya. Produk itu ia jual ke penampung di Sukabumi. “Harga karet tertinggi baru saya nikmati setahun ini. Tapi saya tetap yakin prospek karet terus baik karena dari dahulu juga nggak susah jualnya,” imbuhnya.

Untuk mengelola tanaman karet pada awal pertanaman, H.A. Sofyan punya cara yang unik.  “Saya bekerjasama dengan petani yang nggak punya lahan,” katanya. Dari awal tanam sampai tahun ketiga petanilah yang mengurus tanaman karetnya, dengan imbalan petani  diizinkan  bertanam padi, jagung, atau pisang di sela-sela tanaman karet.

Pada tahun keempat, kebun tidak lagi ditanami palawija. Selain sudah terlalu tinggi, tanaman karet juga mulai bisa disadap. Dalam satu hektar, kebun ditanami 600 batang tanaman yang disadap bergantian 300 pohon/hari. Produksi sheet dari 300 pohon karet  sekitar 12 kg. Jika sebulan 26 hari sadap, maka kebunnya menghasilkan 312 kg sheet/ha/bulan, atau 1.560 kg sheet/5 ha/bulan.

Getah karet disaring dan masuk ke dalam loyang ukuran 2—3 liter. Selanjutnya, getah ditambah air serta cuka dan kemudian diaduk sampai mengental. Setelah beku, karet ditipiskan dengan gulungan kayu dan siap dimasukkan ke gulungan mesin untuk selanjutnya masuk ke ruang pengasapan.

Produk karet H.A Sofyan termasuk kategori sheet 2 yang saat ini dihargai Rp19.200/kg oleh para penampungnya. Beda tipis dengan produk perkebunan besar (sheet 1) yang nilai jualnya mencapai Rp20.000/kg. Tingginya kualitas produk karet H.A.Sofyan tak lepas dari bimbingan dan bantuan dinas perkebunan setempat berupa mesin penggiling tangan dan mesin penggiling mesin yang diserahkan pada kelompoknya.

Dengan kualitas dan harga karet yang terus membaik, ia yakin bahwa bertanam karet merupakan investasi jangka panjang yang menguntungkan. “Kalau nggak ada karet, mati kutu saya,” kata pekebun yang sempat merugi Rp1,3 miliar gara-gara bermain vanili.

 

Tidak Satu Komoditas

Seperti kebanyakan petani di Sukabumi, warga Jampang Tengah ini awalnya memilih vanili sebagai komoditas perkebunannya pada 1982. Tapi sesungguhnya, berbisnis hasil kebun sudah ia tekuni sejak 1986, yang dimulai dengan usaha kacang tanah. “Saya nggak punya modal, tapi dipercaya oleh teman-teman petani. Saya bawa dulu barangnya, pulang dagang baru saya bayar,” kenangnya.

Usaha H.A Sofyan mulai meningkat pada 1996. Kebun vanili miliknya sudah 2,5 ha. Saat itu pula ia sudah mampu membeli mobil.

Menurut pria murah senyum ini, bisnis produk perkebunan sebaiknya tidak mengandalkan satu komoditas. Sehingga, “Kalau harganya turun, kita masih bisa tertolong oleh komoditas lain,” katanya beralasan. Selain itu, karet bisa dijadikan sebagai pemasukan harian, sedangkan vanili yang dipanen setahun sekali merupakan  pemasukan musiman. Selain vanili, dia memiliki 120 pohon cengkih dan kapulaga yang bisa ia panen 800 kg sekali petik.

Hal itulah yang membuat  lelaki berusia 47 tahun ini menginvestasikan keuntungan bisnis vanilinya ke usaha tani karet. Dari hasil kebun vanili seluas 2,5 ha dan  plasma binaannya seluas 200 ha,  ia mulai berani berinvestasi menanam karet pada 1996.

Kebun yang ia upayakan kala itu masih kebun sewaan. Saat masa sewa habis dan pohon karetnya ditebang, ia berpikir, mendingan bertanam di lahan sendiri. Sedikit demi sedikit ia mampu membeli lahan. Untuk mengurangi biaya, ia menyemai benih sendiri.

Menurut H.A Sofyan, tanaman karet dapat berproduksi 30—50 tahun. Setelah tidak produktif, tanaman ditebang untuk dijual kayunya.

Berkat kejelian menangkap peluang usaha, kini H.A Sofyan sudah menjadi juragan karet di Sukabumi. “Sekarang saya sudah dipercaya oleh para pembeli getah. Minta uang panjar Rp100 juta—Rp150 juta juga dikasih,” ucapnya.

 

Dadang WI, Enny Purbani

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain