Harga telur yang relatif lebih stabil dibandingkan harga daging ayam menjadi pertimbangan Yenny Sulistiani guna memilih usaha peternakan ayam petelur.
Pemilik Sumber Sari Farm (SSF) di Ganjar Agung, Metro, Lampung, itu mengatakan, dengan jaminan kestabilan harga tersebut, peternakan dapat berproduksi secara kontinu tanpa dihantui ketakutan harga telur anjlok. Selain itu, ia pun menyakini, komoditas ini tepat untuk usahanya karena permintaan masyarakat terhadap telur tidak akan pernah menurun, justru akan semakin meningkat. Permintaan juga datang tiap hari. Yang penting lagi, harganya terjangkau semua kalangan masyarakat terutama menengah ke bawah.
Akhirnya, Yenny bersama Hening Teja, sang suami, pada 1990 mulai merintis usaha tersebut dengan mendirikan SSF bermodalkan warisan tanah mertuanya seluas 2 ha, dan bantuan anak ayam umur sehari (day old chick-DOC) 2.000 ekor. Ditambah, pinjaman modal dari bank senilai Rp25 juta dengan mengagunkan tanah tersebut.
“Hanya sekitar Rp15 juta saja yang diinvestasikan langsung. Sisanya buat saving usaha,” ungkap Yenny yang memulai usaha inipun persis setelah menikah pada 1 Januari 1990.
Mulai dari Satu Kandang
Yenny yang lulus dari Fakultas Peternakan UGM pada 1998 lalu membangun satu unit kandang berukuran 3,5 m x 60 m di atas lahan mertuanya itu dan diisi 2.000 ekor. Asetnya ini diperkirakan senilai Rp20 juta. “Setelah berjalan, ternyata menjadi peternak ayam petelur itu tidak gampang, disebabkan modal yang dimiliki ternyata harus besar karena pengembalian modal memang cukup lama,” kata wanita berusia 42 tahun ini.
Dengan biaya operasional untuk pakan, obat-obatan, dan lain-lain Rp1.000/ekor/hari dan biaya produksi yang harus dikeluarkan Rp400/ekor/hari, SSF mengeluarkan total biaya mencapai Rp2,8 juta/hari. Pada panen pertama, SSF mendapatkan belum untung akibat masih minimnya produksi yang baru 100 kg/hari dan kualitas telur masih seadanya. SSF saat itu menjual telur berkisar Rp1.400—Rp1.500/kg dengan pencapaian omzet Rp140.000/hari. “Padahal, selain saya sendiri, saya pun harus mengaji satu orang tenaga kerja,” kisah ibu 2 orang anak ini.
Saat berjalan 3 tahun, SSF mencoba melakukan diversifikasi usaha dengan beternak ayam broiler dan mengembangkan plasma, selain tetap menjalankan usaha peternakan ayam petelur. Melalui pinjaman lunak (KKPA) senilai Rp500 juta karena ditunjuk menjadi pilot project oleh Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Lampung, SSF mampu menambah populasi ayam petelur menjadi 6.000 ekor.
Ternyata, populasi itu belum juga mendatangkan keuntungan karena belum ideal untuk mencapai produksi tinggi. Dan lebih parahnya lagi, konsentrasi sebagai peternak sudah tidak fokus lagi ke bisnis ayam petelur. Sehingga, pada tahun 2000, Yenny memutuskan kembali fokus pada peternakan ayam petelur.
Berkembang Pesat
Setelah berumur 5 tahun, SSF mulai dapat berkembang pesat berkat pinjaman dari bank sebesar Rp50 juta untuk menambahkan lokasi farm di Punggur—Lampung Timur dan membangun kandang 13 unit pada 8 ha. Nilai aset SSF pun naik menjadi Rp.100 juta—Rp150 juta. “Kandangpun dibangun menggunakan bangunan dari kawat dan dimodifikasi dengan meningkatkan ketinggian bangunan dari 2 m menjadi 6 m,” kata Yenny.
Dengan luasan 10 hektar lahan di dua lokasi peternakan yang terdapat di Pekalongan dan Punggur (Lampung Timur) yang terletak jauh dari kawasan pemukiman, tapi dekat dengan sumber air ini SSF mampu menampung populasi 25.000 ekor dengan mempekerjakan 50 karyawan. Produksi telurnya mengalami peningkatan mencapai 500 kg/hari dengan kualitas sudah lebih bagus dan bersih. Dengan harga jual telur pada 1995 mencapai Rp3.000/kg, SSF meraih omzet Rp1,5 juta/hari dan mendapatkan keuntungan Rp150.000/hari.
Alhasil, sampai saat ini SSF makin berkembang dengan pesat dan investasi pun terus bertambah sehingga keuntungan mulai meningkat seiring kenaikan produksi. Selain itu, tingkat kepercayaan bank untuk memberikan pinjaman sangat tinggi. Terbukti, SSF berhasil mendapatkan pinjaman modal lagi sampai Rp550 juta.
Dengan luas lahan yang sama telah dilakukan penambahan kandang menjadi 18 unit dengan menampung populasi 100.000 ekor. Dan memiliki aset mencapai Rp2 miliar mulai dari kandang, lahan, dan dua unit mobil truk.
Hitung punya hitung, dari hasil produksinya yang 3 ton/hari dengan harga jual ke agen sebesar Rp8.000/kg, Yenny mampu meraih omzet Rp24 juta/hari. Nilai keuntungan bersih per 1.000 ekor dengan kematian 4% selama periode produksi 64 minggu sekitar Rp31 juta.
Kecuali memenuhi permintaan agen di pasar-pasar sekitar Metro, SSF kini mulai sibuk melayani beberapa agen telur di Palembang. “Produksi kita memang lebih diutamakan untuk memenuhi permintaan agen di pasaran kawasan Metro saja. Dengan tingkat produksi sekarang masih dapat diserap oleh pasar-pasar lokal,” ucap Yenny menyudahi wawancara.
Yan Suhendar, Yetti Aryani (Lampung)