Dengan bermitra, peternak terbantu dalam pengadaan bibit, pakan, obat-obatan, dan pemasaran hasil. Ditambah bimbingan manajemen pengelolaan usaha.
Manfaat itulah yang dirasakan Agus Saifulloh, peternak kemitraan ayam ras pedaging (broiler) di Nanggung, Bogor, Jabar. Sejak 1997, Agus memilih menjadi peternak broiler. Namun lantaran keterbatasan modal, ia melakukan kemitraan dengan salah satu perusahaan perunggasan terintegrasi yang bertindak sebagai inti.
Agus menyadari, isi koceknya sebagai peternak mitra (plasma) tidak akan sebesar peternak mandiri. Sampai 2003, populasi broiler yang ia usahakan hanya 7.000—8.000 ekor/periode dua bulan. Dihitung-hitung, setiap periode, Agus memperoleh keuntungan Rp3 juta—Rp4 juta. “Pendapatan itu tentu hanya dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarga saja per bulan. Tapi belum bisa untuk pengembangan usaha,” tegasnya.
Terdorong kebutuhan hidup yang terus naik, Agus berusaha untuk meningkatkan pendapatan. Pada 2004, ia memutuskan pindah bermitra dengan Tunas Mekar Farm (TMF), perusahaan inti lokal yang ada di Bogor. “Alhamdulillah, populasi broiler yang saya usahakan sekarang mencapai 10.000—12.000 ekor/periode,” akunya. Sehingga, setiap panen, keuntungan yang dinikmati Agus meningkat menjadi Rp4—Rp5 juta.
Agus bercerita, awal bermitra ia memulai dengan populasi 4.000 ekor. Setelah berjalan empat tahun, populasinya baru meningkat menjadi 8.000 ekor. “Peningkatan ini berkat bantuan pengembangan yang diberikan perusahaan inti yang pertama, karena mungkin saya dianggap berprestasi,” katanya sembari tersenyum.
Setelah bermitra dengan TMF, ia mampu menambah populasi 4.000 ekor lagi. Keberhasilan ini berkat adanya dukungan dari perusahaan milik pengusaha pribumi di Bogor tersebut.
Target IP
Sebagai plasma, Agus diajari perhitungan usaha di dalam budidaya broiler, yang diawali dengan menghitung harga pokok produksi (HPP). Dari sinilah peternak berhitung agar mampu mendapatkan indeks prestasi (IP), atau keuntungan yang bakal diraup dalam setiap periode pemeliharaan, dengan melihat seberapa besar selisihnya terhadap harga ayam panen di kandang. “Kalau positif berarti untung. Sebaliknya, bila negatif peternak sedang rugi,” jelas pria yang belum dikaruniai anak ini.
HPP ini dapat diartikan sebagai biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan 1 kg daging ayam broiler. Ada beberapa komponen guna menghitung HPP, di antaranya harga bibit, pakan, obat, tenaga kerja, brooder, sekam, listrik, dan air.
Berdasar hasil perhitungan HPP yang dibebankan kepada peternak akhir Oktober lalu, Agus mendapatkan harga pakan Rp3.800/kg, DOC Rp2.500/ekor, biaya operasional Rp1.000/periode, dan bobot panen 1,5 kg/ekor. Dengan demikian, harga panen berada pada kisaran Rp8.500—Rp.8.800/kg daging. Perhitungan ini disesuaikan dengan bobot ayam yang dipanen. Sebab, selisih HPP ayam kecil dan ayam besar cukup lumayan. Harga ayam bobot 1 kg sekitar Rp9.100/kg, sementara yang berbobot 1,5 kg dihargai Rp8.800—Rp9.000/kg.
Biaya terbesar memang tersedot untuk pakan dan DOC. Menurut Agus, dua tahun silam, 60%—65% biaya produksi dikeluarkan untuk pembelian pakan. Saat ini, ketika harga pakan naik, posisinya sudah 70%—75%.
Berhak Memilih
Harga DOC berfluktuasi. Harga pakan cenderung naik. Harga jual ayam pun gonjang- ganjing tak berkesudahan. Di sinilah peran perusahaan inti agar memberikan banyak pilihan kepada peternak plasma karena pasokan sapronak dari inti terkait erat dengan hasil produksi peternak.
Agus merasakan, setelah bermitra dengan TMF, dirinya mendapatkan banyak pilihan dalam menentukan strain DOC dan jenis pakan. “Jadi tidak hanya tergantung dari satu pabrikan saja,” jelasnya.
TMF memfasilitasi pengadaan sapronak dan bimbingan teknis. Tapi posisi tawar plasma lebih baik, sehingga plasma tidak selalu merasa dirugikan oleh inti. Sebelumnya, Agus mengaku sulit mengelak ketika diberikan DOC dan pakan yang kualitasnya kurang baik. Sehingga jika hasil panen tidak optimal, dirinyalah yang menanggung risiko kerugian lebih besar. Ia berharap, pola kemitraan justru harus dibangun berdasar asas keterbukaan yang akhirnya menguntungkan kedua belah pihak.
Yan Suhendar