Senin, 24 Desember 2007

H. Juhadi Muhammad Ulama yang Pengusaha Udang

Sukses tidak diraih serta merta, tapi perlu ketabahan, doa, modal, dan kegigihan.

 

Demikian diutarakan H. Juhadi Muhammad, Ketua Dewan Perngurus Cabang Nadhatul Ulama Kabupaten Indramayu, Jabar, yang juga Ketua Kelompok Tani Jasa Hasil Windu di sana. Sukses jadi pengusaha udang tidak ujug-ujug dia raih, melainkan dia rintis dari bawah, berdagang udang api-api (Metapenaeus ensis).

Padahal kala itu (1988), Juhadi muda baru lulus SMA. Namun, niat mandiri membuatnya terus bersemangat untuk mencari celah usaha. Ia memilih berjualan udang lantaran bercita-cita ingin sesukses orang tuanya yang juga pengusaha tambak udang dan bandeng di Indramayu.

 

Diversifikasi

Keuntungan yang terkumpul dari berjualan udang tersebut, Juhadi investasikan untuk menyewa sepetak tambak udang. Sembari mengelola tambak udang windu (Penaeus monodon), dagang udang tetap ia tekuni.

Selama empat tahun berusaha, lulusan Ponpes Lirboyo ini sudah mampu membeli dan memperluas tambak miliknya. Tak hanya udang, bandeng pun ia budidayakan. “Saat itu saya mengelola tambak secara tradisional,” ungkapnya mengilasbalik.

Tidak ada pendidikan khusus tentang perikanan yang dimiliki suami Hj. Maskunah ini. Ia hanya meniru apa yang dilakukan masyarakat sekitar, dan dari pengalaman membantu usaha orang tuanya.

Masa keemasan perudangan Indonesia pada 1995, berdampak terhadap kemajuan usaha H. Juhadi. Bergairahnya para petambak udang, khususnya di Indramayu, dijadikan peluang usaha lain oleh ayah tiga anak ini dengan mendirikan toko sarana produksi tambak bernama UD JHD. Ia pun berperan sebagai distributor pakan udang. Ia terus meningkatkan usahanya dengan menjadi pembeli hasil tambak untuk dijual di pasar lokal. Bahkan beberapa cold storage mengambil udang dari tempatnya.

Terus Belajar

Nikmatnya menjadi pengusaha perudangan tak selamanya ia rasakan. Beberapa bulan setelah meraih sukses pada 1995, beberapa hektar tambaknya gagal panen. Bahkan pada 1996, ia gagal total. “Modal saya habis,” tandas pria kelahiran 14 Januari 1968 itu. Walau begitu, semangatnya berbisnis tak pernah surut. Ia kembali belajar dan menimba pengalaman dari petambak lain yang masih eksis. Keuletannya itulah yang membuahkan hasil pada tahun berikutnya. Bahkan ia mendapat harga bagus, Rp120 ribu/kg.

Produksi udang windunya terus menunjukkan keberhasilan hingga tahun 2000. Setelah itu, lagi-lagi ia rugi besar lantaran beberapa hektar tambaknya tak berproduksi. Namun, bukan Juhadi kalau menyerah begitu saja. Ia sibuk mencari solusi kegagalan tersebut. Biang keladinya ternyata penyakit virus white spot dan benur yang kurang berkualitas.

Selang waktu beberapa bulan, H. Juhadi mendengar ada udang putih jenis baru masuk Indonesia, yaitu Vanname (Litopenaeus vannamei). Kabarnya, produktivitas udang ini cukup menjanjikan sehingga ia pun menebar benur Vanname yang dibelinya dari Lampung.

Sayang, kegagalan kembali menerpa. Berkali sudah dicobanya menebar Vanname, tapi tetap belum berhasil. Hingga suatu hari H. Juhadi bertemu dengan petambak yang disebutnya Pak Budi.  “Saya mengajak dia kerja sama mengusahakan Vanname semi intensif seluas 2 ha. Namun usia 28 hari setelah tebar, tambak yang diisi 600 ribu benur itu gagal,” ceritanya. Akhirnya ia menyadari, pola tradisional untuk budidaya Vanname tidak cocok.

 

Berkembang Lagi

Bertambak udang boleh saja gagal, tapi bisnis bandeng jalan terus. Namun H. Juhadi bersikukuh mencoba menebar Vanname. Ia berguru pun ke petambak yang sukses di Jatim dan Lampung. Di Situbondo, Jatim, ia sempat heran dan hampir tak percaya menyaksikan panen Vanname 5—6 ton dari tambak seluas 4.000 m2. “Paling banter saya memanen udang windu hanya 2 ton,” terangnya.

H. Juhadi bertekad untuk lebih serius menekuni Vanname. Dicobanya menebar 5 petak (5 ha), dengan padat tebar 125 ekor/m. Umur 3 bulan, tambak itu terserang penyakit. Untunglah ia masih bisa panen sebanyak 27 ton ukuran 55 ekor/kg (size 55).

Keberhasilan itu memacunya untuk menambah areal menjadi 15 ha. Dan kini lahan miliknya lebih dari 35 ha, yang dimanfaatkan untuk budidaya Vanname 15 ha, bandeng 20 ha,  dan 10% udang windu.

 

Membina 500 Petambak

Meski banyak kegiatan dihabiskan sebagai Ketua DPC NU, bukan berarti agribisnis perikanan ia alihkan ke orang lain. H. Juhadi tetap menjalankan roda usaha. Pahit getir sebagai pengusaha udang dan bandeng sudah ia rasakan. Ia berharap pengalaman pahit itu tidak dirasakan petambak lain. Oleh sebab itu, kini ia bermitra dengan petambak lain.

Sampai sekarang H. Juhadi membina sekitar 500 orang petambak yang memiliki lahan rata-rata 2 ha. “Saya sebagai bapak angkat, membantu dalam pengadaan pakan, benur, dan obat-obatan,” akunya. Dengan bermitra, lanjut dia, bila petambak kehabisan modal tidak jatuh ke tangan tengkulak. Plasma pun tak perlu repot memasarkan hasil panen karena ditampung inti. “Mereka juga bisa tahu harga pasar, dan saya hanya mengambil 5% dari harga udang yang dipasarkan,” imbuhnya menutup pembicaraan dengan AGRINA.

Tri Mardi Rasa

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain