Tahun 1995, keramba jaring apung yang dikelola untuk mengusahakan ikan mas, baru delapan kolam. Sekarang, jumlahnya berkembang menjadi 106 kolam.
Lulus dari Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Tridarma di Bandung pada 1996, Eko Amianto langsung menceburkan diri jadi petani ikan di Waduk Jatiluhur, Purwakarta, Jabar. Ia merasa terpanggil menjadi petani setelah menyaksikan usaha budidaya ikan mas yang dirintis ayahnya sejak awal 1995 terpuruk.
Riyanto, sang ayah, mengisahkan, dengan modal uang pensiun Rp100 juta ia mulai mengupayakan 8 keramba jaring apung (KJA) atau orang setempat menyebutnya, kolam. Setahun kemudian jumlah kolam berkembang menjadi 20 kolam. Dari setiap kolam berukuran 7 m x 7 m, bapak tiga anak ini memanen 1,4—1,5 ton ikan mas per 3 bulan, senilai Rp7,5 juta.
Namun, akhir 1996, pria asal Garut, Jabar, ini menderita kerugian akibat bencana arus balik (up welling). Dari 20 kolam, hanya dua yang selamat. “Saya terpaksa menjual 12 kolam untuk modal usaha lagi,” kenang Riyanto.
Bangkit Lagi
Kehadiran Eko menjadi angin segar bagi usaha Riyanto. Berbekal ilmu ekonomi, anak pertamanya itu mulai mengelola 8 kolam. Sisa keuntungan Rp15 juta yang disimpan di bandar ikan pun ia cemplungkan ke kolam.
Pria kelahiran 1973 ini mengatur strategi usaha dengan menerapkan sistem polikultur. Jenis ikan yang dipelihara, yakni ikan mas, nila, dan patin. “Dengan pola itu saya mengatur jadwal produksi dan teknis pemberian pakan,” ucapnya. Menurut Eko, ikan mas cepat berproduksi, bisa dipanen umur 3—3,5 bulan setelah tebar. Sementara nila pada umur 5—7 bulan, dan patin satu tahun.
Bisnis mereka pun kembali berkembang. Pada 1997, farm bernama KJA Putra Galuh itu sudah bisa mengelola 20 kolam, dan mempekerjakan dua karyawan.
Lima tahun kemudian, jumlah yang diusahakan mencapai 28 kolam. Kolam mereka terus bertambah hingga akhir tahun lalu berjumlah 106. Karyawan pun bertambah menjadi 10 orang. Tiap karyawan mengelola 8—10 kolam.
Menurut Eko, skala usaha kolam jaring apung di waduk idealnya 40 kolam/petani. Sebab, “Jika kurang dari 40, belum dianggap oleh bandar ikan. Sehingga bandar bisa bertindak semena-semena terhadap petani,” jelasnya.
Mengatur Siklus
Berbeda dengan kolam tanah, pemeliharaan ikan dalam KJA dibuat bertingkat. Dalam satu KJA terdapat dua lapis kolam. Bagian atas diisi ikan mas dan bagian bawah (jaring kolor) diisi nila, patin, atau ikan lain.
Di KJA Putra Galuh, setiap kolam ditebar 80 kg (8.000 ekor) benih ikan mas, dan nila serta patin masing-masing 300 kg. Satu kolam, menurut Eko, menghabiskan 1—1,2 ton pakan. Untuk 106 kolam miliknya, ia memberikan 70—80 karung pakan/hari. Bila dihitung, biaya produksi ikan mas sekitar Rp6.000—Rp7.000/kg, nila Rp3.000/kg, dan patin Rp7.000—Rp8.000/kg. Namun untuk mengurangi risiko akibat bencana alam, pada musim penghujan saat ini, ia hanya mengupayakan 50 kolam. Pakan yang diberikan 40—45 karung/hari.
Dalam situasi normal, jelas Eko, dengan pemberian pakan 2 ton/kolam/musim akan menghasilkan 60%—65% daging ikan mas (1,2—1,3 ton). Ditambah bobot benih 80 kg, total produksi/kolam/musim sekitar 1,28 ton.
Guna menjamin kontinuitas produksi, siklus tebar maupun panen diatur. Siklus produksi ikan mas sebanyak 30 kolam/bulan. Dalam setahun, masa produksi hanya 10 bulan. Yang dua bulan dianggap tidak berproduksi. “Pengaturan ini bermanfaat untuk mengantisipasi bencana,” tandas Eko. Penebaran nila dan patin pun diatur. Patin dimasukkan lebih dulu dalam jaring kolor. Tiga bulan kemudian disusul nila. Alasannya, agar perolehan pakan merata.
Setiap bulan, KJA Putra Galuh memproduksi 36 ton ikan mas. Dengan harga Rp8.000—Rp12.000/kg saat ini, omzetnya mencapai Rp288 juta—Rp 432 juta. Omzet ini akan meningkat bila ditambah produksi nila 1—1,3 ton/5 bulan dan patin 5—6 ton/tahun. Biasanya penghasilan dari jaring kolor dianggap sebagai bonus.
Harga ikan mas memang fluktuatif karena bersaing dengan ikan laut. Bila suplai ikan laut banyak, harga ikan mas jatuh, dan sebaliknya. “Dalam setahun, harga terendah bisa tiga bulan lamanya, tapi tidak beruntun,” ungkap Eko.
Pengakuan Eko, untuk mengelola 106 kolam beraset Rp1,5 miliar itu, pihaknya mengeluarkan biaya Rp7 juta—8 juta/bulan untuk gaji, Rp2 juta—Rp3 juta/bulan biaya makan karyawan, Rp8 juta—Rp9 juta biaya pakan/kolam/musim, dan biaya benih ikan mas Rp1,3 juta/kolam. “Setelah dikurangi biaya produksi, keuntungan bersihnya 30%—40%,” paparnya diplomatis.
Yan Suhendar