Manakala Anda menerima AGRINA edisi ke-67 ini, di Bali masih berlangsung konferensi United Nations Framework Convention on Climate Change. Di sana berkumpul hampir 10.000 orang yang terdiri dari pemimpin dan pejabat dari 190 negara, pejabat badan dunia, pimpinan LSM, tokoh masyarakat/adat, ilmuwan. Para pihak Konvensi Kerangka Kerja PBB mengenai Perubahan Iklim ini adalah juga pendukung Kyoto Protocol 1997 (Conference on Parties - Kyoto Protocol), maka singkatan dari konferensi pada 3—14 Desember 2007 itu ditulis COP-UNFCCC.
UNFCCC adalah wahana masyarakat dunia untuk menggumuli permasalahan pemanasan global. Ada empat program besar yang digulirkan, yakni adaptasi, mitigasi, alih-teknologi, dan investasi di bidang pembangunan berkelanjutan melalui mekanisme Clean Development Mechanism.
Bagi negara berkembang, termasuk Indonesia, penyelamatan bumi dari kehancuran lingkungan itu harus sejalan dengan pembebasan masyarakat dari kemiskinan. Presiden SBY di Istana Bogor, 26 Maret 2007, menyebutkan kesadaran dan aksi global menyelamatkan bumi sebagai the fourth wave of civilization, gelombang ke-empat peradaban. Namun itu harus berpadu dengan kesejahteraan dan keadilan global. Maka, ia meminta negara maju mau berpatungan dengan negara berkembang membangun kesejahteraan rakyat sambil menjaga lingkungan. “Luas wilayah Indonesia, beban ekonomi Indonesia dan saya yakin negara-negara berkembang yang lain, tidak memungkinkan untuk memikul sendiri kewajiban menyelamatkan bumi kita,” katanya.
Presiden mendesak negara maju lebih membuka pasarnya untuk produk negara berkembang, terutama produk pertanian. Mereka juga diminta lebih banyak berinvestasi di negara berkembang, mempertimbangkan penghapusan utang, dan mengalihkan teknologi. September lalu Indonesia bersama 10 negara pemilik hutan hujan tropis menyerukan mobilisasi dana dan insentif dari masyarakat dunia untuk mendukung pengelolaan dan penjagaan hutan demi menahan emisi gas rumah kaca.
Yang kedengaran nyaring dari urusan dampak perubahan iklim adalah tentang kompensasi untuk pencegahan deforestasi. Ada skema REDD (pengurangan emisi karbon dari deforestasi dan degradasi), ada perdagangan karbon sukarela, ada debt swap perlindungan alam. Sudah ada hitungan-hitungan seberapa miliar dollar kompensasi yang didapat untuk penghutanan kembali dan pencegahan deforestasi. Posisi tawar kepada dunia ini, kata Profesor Emil Salim, memang menjadi salah satu tujuan delegasi Indonesia. Negara-negara berhutan hujan tropis punya kekuatan lebih karena hutan tropis menjadi kebutuhan penting dunia untuk menyerap karbon.
Bagi rakyat di negara berkembang, seperti juga Indonesia, pembebasan masyarakat dari kemiskinan terkait dengan pemberdayaan pertanian. Dan pertanian adalah penderita langsung dari dampak perubahan iklim. Anomali iklim sudah membubarkan sasih. Musim tanam dan panen tidak menentu. Karena itu, dalam kerangka kerja PBB untuk perubahan iklim itu juga dikedepankan soal adaptasi dan mitigasi. Lalu apakah kompensasi insentif atau kompensasi yang didapat dari negara-negara industri maju itu hanya untuk menjaga hutan, dan mengongkosi pejabat publik yang bertanggungjawab atasnya, ataukah disisihkan juga bagi adaptasi dan mitigasi di bidang pertanian, perkebunan dan perikanan?
Mengantisipasi iklim yang memanas dan musim tak menentu ini, penting dicukupkan dana untuk: 1) Intensifikasi lahan basah, yang tidak terkena dampak El Nino atau La Nina; 2) Pengaturan waktu dan pola tanam serta pewilayahan tanaman sesuai tabiat iklim; Ini memerlukan kalender tanam per kecamatan atau wilayah. 3) Diversifikasi pangan yang sudah bertahun-tahun “cuma omong doang”; 4) Penggunaan bibit unggul yang tahan perubahan iklim; 5). Infrastruktur jalan, drainase, sumur resapan; 6) Peralatan canggih kantor BMG untuk memprediksi cuaca, awal musim kemarau atau hujan yang berubah-ubah ini juga prospek cuaca laut dan prediksi tinggi gelombang. 7) Pembangunan pemukiman nelayan yang mengantisipasi kenaikan air muka laut; 8) Kita pun masih memerlukan biaya besar untuk mobilisasi tenaga sosialisasi dan penyuluhan kepada masyarakat sekitar hutan maupun adaptasi perubahan iklim bagi petani, pekebun dan nelayan.
Daud Sinjal