“Busung lapar sudah menjadi bagian dari keadaan kita dari dulu hingga sekarang. Tapi seharusnya sekarang sudah tidak ada lagi. Ternyata hal itu belum dapat kita tanggulangi semua,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000–2004, saat diwawancarai AGRINA.
Apakah kita tidak mampu menanggulanginya?
Kejadiannya belakangan ini sudah lebih kecil dibandingkan masa lalu. Dan busung lapar hanya terjadi pada kantong-kantong masyarakat tertentu, bukan lagi berlangsung secara nasional. Jadi busung lapar sekarang ini bukan lagi masalah nasional tapi masalah lokal, bahkan mungkin hanya terjadi pada beberapa keluarga dalam suatu daerah. Hal itu terjadi mungkin disebabkan kemiskinan, budaya, rendahnya tingkat pendidikan, dan keterisolasian.
Masalah kelaparan atau busung lapar itu bersifat lokal, sehingga harus diselesaikan oleh Kepala Desa dan Camat dengan bantuan Kepala Daerah. Jika Kepala Desa, Camat, dan Kepala Daerah tidak menyadari masalah itu, maka tidak akan pernah kita menyelesaikan masalah tersebut sekalipun produksi dan pendapatan kita meningkat.
Hak atas pangan, apa maksud dan bagaimana kondisinya sekarang ini?
Hak atas pangan itu timbul dari rasa kemanusiaan kita, bahwa makhluk hidup terutama manusia harus makan sepanjang hidupnya. Jadi pangan tidak bisa dilihat sebagai komoditas perdagangan saja, tapi pangan juga merupakan kebutuhan dasar manusia. Namun hak atas pangan itu bisa terwujud hanya jika rakyat menuntut haknya. Karena itu harus ada pendidikan politik dan sosial kepada rakyat agar mereka menuntut haknya. Jika rakyatnya belum mengerti mengenai haknya tersebut, sebaiknya wakil rakyat mengerti yang dituntut dan dibutuhkan rakyat. Kemudian pemerintah mempersiapkan diri untuk memenuhi tuntutan itu secara wajar.
Dari dulu kita sibuk mengenai pembangunan pertanian, dan hasilnya produksi pangan meningkat. Tapi masalah kerawanan pangan dan busung lapar bukanlah masalah pertanian. Masalah itu lebih banyak berkaitan dengan kesehatan, sosial, pendidikan, dan pendapatan keluarga. Sayangnya ini belum menjadi prioritas pengelola aspek tersebut. Jadi sekalipun produksi pangan meningkat tetap saja ada orang yang kurang gizi, busung lapar, dan kelaparan karena ketersediaan pangan hanyalah salah satu aspek dari masalah pangan kita.
Apakah ketersediaan pangan kita sudah tercukupi?
Jika bicara sumber kalori seperti beras, jagung, sagu, ketela pohon, kita sudah lumayan baik ketersediaannya. Yang kita sangat ketinggalan adalah sumber protein dan lemak yang bersumber dari ternak dan ikan. Hal itu disebabkan sejak orde baru penekanan kita ke beras dan bidang perkebunan melulu. Bidang peternakan dan perikanan relatif tertinggal. Ini yang membuat anak-anak kita perutnya gendut dan tubuhnya kecil. Tidak mengherankan jika anak-anak muda kita sering kalah dalam pertandingan olah raga internasional.
Jika kita perhatikan, anak-anak sekolah di pedesaan rata-rata tinggi dan bobot badannya lebih kecil dibandingkan anak-anak pada masa 50 tahun silam. Ini berarti ada masalah kekurangan gizi yang sangat fundamental di negeri kita ini. Data FAO menyebutkan, konsumsi protein hewani kita masih tertinggal dibandingkan negara-negara Asean. Misalnya, konsumsi daging ayam Indonesia hanya 4,5 kg/kapita/tahun, Malaysia 20 kg/kapita/tahun, serta Jepang dan Amerika Serikat 45 kg/kapita/ tahun.
Bagaimana jalan keluar mengatasi busung lapar dan kelaparan yang bersifat lokal tersebut?
Soal kelaparan seolah-olah diambil alih pemerintah, itu kurang tepat. Seharusnya sadarkan manusia itu supaya ia menyelesaikan masalah kelaparannya. Kelihatannya kejam, tapi hanya dengan cara begitu masalah dapat kita selesaikan dengan baik. Karena itu dibutuhkan strategi, kesabaran, ketekunan, dan kerjasama. Kita tidak lagi bicara secara teoritis tentang visi misi tapi tindakan di tingkat grassroot. Upayakan agar institusi di grassroot bersama-sama dengan pemda menyelesaikan masalah kelaparan yang mereka alami.
Dalam UU Otonomi Daerah disebutkan, Bupati dan Walikota bertanggungjawab atas ketahanan pangan di daerahnya. Karena itu, organisasi Dewan Ketahanan Pangan (DKP) yang sudah dibuat pada tingkat provinsi, kabupaten, dan kota agar diaktifkan kembali. Pada waktu lalu telah berjalan mulai dari DKP pusat sampai daerah. Yang menjadi masalah kita adalah konsistensi. Hal-hal yang telah dibuat pada masa-masa sebelumnya tidak pernah mau dipelajari atau diteruskan oleh penerusnya sehingga seolah-olah kita memulai dari nol lagi.
Program Raskin dilanjutkan dan diperbaiki sistemnya. Dan baik sekali bila program tersebut tidak hanya beras tetapi ditambah dengan minyak goreng, telur, dan lauk-pauk. Kemudian program pemanfaatan halaman rumah untuk bertanam, beternak, atau berkolam, sebaiknya digalakkan lagi terutama di pedesaan dan pinggir-pinggir kota. Dengan itu semua gizi masyarakat kita bisa diperbaiki.
Dalam jangka panjang kita harus melihat pendapatan masyarakat. Pertumbuhan ekonomi dengan mengikutsertakan rakyat di dalamnya harus menjadi fokus. Kita harus segera menemukan model pembangunan baru yang membuat pertumbuhan dengan cepat pada bidang-bidang yang rakyat dapat ikut serta di dalamnya, bukan sebagai penonton.
Untung Jaya