Jumat, 7 Desember 2007

Membangun Kemitraan Ala SQF

Guna memenuhi permintaan pasar produk puyuh, Slamet Quail Farm bermintra dengan peternak lain.

 

Setelah mampu menghasilkan bibit puyuh berkualitas unggul dari hasil riset selama 12 tahun, Slamet Quail Farm (SQF) terdorong melakukan upaya kemitraan dengan peternakan. Khusus untuk budidaya pembesaran yang menghasilkan telur puyuh. Kemitraan ini dikembangkan guna meningkatkan produksi sehingga mampu mengimbangi permintaan pasar.

 

Demikian diungkapkan Slamet Wuryadi R, pemilik SQF di Cikembar, Sukabumi, Jabar. Ia menambahkan kemitraan ini diawali dengan SQF menyediakan bibit dan bimbingan teknis budidaya dan peternak mitra menyediakan perkandangan serta pakan.

 

Jaminan Kualitas Bibit

Saat ini SQF menggandeng 8 peternak mitra. Setiap minggu produksi telurnya mencapai 450 ribu—500 ribu butir. Walau begitu, kemampuan produksi tersebut baru mampu memenuhi kebutuhan pasar sekitar 20%—25%. Pasar yang bisa dipasok pun baru Jabodetabek. Padahal, “Kebutuhan telur puyuh Jabotabek tidak kurang dari 2 juta—2,3 juta butir per minggu,” tandas Slamet.

 

Menurut Slamet, dalam bermitra, pihaknya memberikan jaminan kualitas bibit, supaya plasmanya berhasil dalam budidaya. Yang harus dilakukan oleh plasma, lanjut dia, manajemen pemeliharaan, misalnya pengelolaan pakan dan penanganan penyakit.

 

Prastiyo, pemilik peternakan puyuh Bintang Tiga (BT) di Situ Ilir, Cibungbulang, Bogor, mengaku telah bekerjasama dengan SQF. September lalu, ia melakukan kemitraan dengan SQF dalam pengadaan anakan puyuh 5.000 ekor. “Kualitas bibit dari SQF masih lebih baik dibandingkan bibit lokalan dari Jawa Tengah. Khusus tingkat produksi dan kualitas telurnya lebih baik. Walaupun harganya memang sedikit lebih mahal,” ucap pria yang masih bekerja di bursa saham itu berkilah. Prastiyo membeli anak puyuh dari SQF seharga Rp3.000/ekor. Sedangkan asal Jateng sekitar Rp2.000—Rp2.500/ekor.

 

 

Pola Terbuka

Pola kemitraan yang dikembangkan SQF, menurut Slamet, sangat terbuka. “Yang penting saling percaya antara kedua belah pihak,” tandasnya. Peternak plasma bebas menentukan strategi pakan, jenis obat-obatan, maupun pemasaran.

 

Walaupun demikian, jika peternak mengalami kesulitan menjual telur puyuh, SQF siap menampung. Namun dengan harga sedikit lebih murah, lebih rendah 5% dibandingkan harga pasaran.

 

Prastiyo mengaku, sampai sekarang masih mampu menjual produksinya. “Saat ini  harga di pasaran yang berkisar Rp145—Rp150/butir. Dan masih banyak pedagang yang menampung telur hasil produksi kami,” katanya. Setiap hari Prastiyo mampu menjual 2—3 peti (4.000—4.500 butir).

 

Untuk menekan biaya produksi Prastiyo berkreasi sendiri. Pakan yang diberikan tidak melulu pabrikan. “Saya melakukan pengelolaan pakan ini bertujuan untuk menurunkan biaya pakan sehingga kita dapat menghasilkan telur dengan biaya murah tapi tetap memiliki kualitas yang baik,” dalihnya.

 

Sebelum diberikan pada puyuh, pakan pabrik dicampur jagung giling dan dedak. Biaya produksi pakan campuran itu Rp2.700—Rp2.800/kg. Sementara harga pakan pabrikan Rp3.300—Rp3.400/kg.

 

Dengan upaya itu, Prastiyo mampu menurunkan biaya pakan 15%—20%. Kendati begitu, produksinya tetap stabil. Dari populasi 5.000 ekor, dengan usia puyuh masih dua bulan, tingkat produksinya 65%—70%. “Diharapkan, setelah usia produksi tiga bulan, tingkat produksi bisa menembus 75%—80%, sesuai janji SQF,” ucapnya optimis.

 

Yan Suhendar

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain