Jumat, 7 Desember 2007

Petani Ikan Tanggamus Selangkah Lebih Maju

Dengan memproduksi benih sendiri, petani ikan di Desa Pagelaran, Kec. Pagelaran, Kab. Tanggamus, Lampung, memperoleh keuntungan lebih.

 

Sejarah budidaya ikan air tawar di Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung, sudah berlangsung turun-temurun. Diperkirakan warga di daerah ini, khususnya di Kecamatan Pagelaran, telah memelihara ikan sejak nenek moyang mereka pindah ke daerah tersebut melalui program transmigrasi pada zaman kolonial.

 

Karena itu, sistem budidaya ikan di daerah ini selangkah lebih maju dibandingkan daerah lainnya. Satu di antaranya, sebagian besar petani sudah memproduksi benih sendiri.  Produksi benih mandiri dimaksudkan benih yang ditebar diketahui asal-usulnya sehingga lebih dijamin mutunya. Dengan begitu pertumbuhan ikan diharapkan lebih cepat dan tahan terhadap serangan penyakit.

 

Lebih Besar Dari Gaji

Di antara pembudidaya yang memproduksi bibit sendiri adalah Wahono. Saat ditemui AGRINA di Desa Pagelaran, Kecamatan Pagelaran, Tanggamus, ia mengaku telah memelihara ikan mas sejak 1975. Kini ia mengusahakan sembilan kolam. Dari sembilan kolam tersebut sebagian masih dikontrak. “Modal belum cukup untuk membeli semuanya,” ujar pria paruh baya ini.

 

Untuk sukses membudidayakan ikan mas, guru SDN III Pagelaran ini melakoninya dengan serius. “Walaupun saya guru, tapi memelihara ikan tidak saya anggap sebagai sambilan karena penghasilan dari ikan lebih besar dari gaji guru,” ucapnya. Kendati begitu, ia tidak melalaikan tugasnya sebagai seorang pendidik.

 

Dari pukul 07.00—14.00 Wahono tetap menjalankan tugasnya mengajar siswanya di sekolah. Usai jam sekolah, ia langsung menuju kolam. Itu dilakukannya setiap hari karena ia memberi pakan dan mengawasi kalau-kalau ada ikan yang sakit. Kolam seluas setengah hektar itu ditebari 300 kg benih yang  membutuhkan 1,75 ton  pakan.

 

Setelah dipelihara selama 50 hari, total bobot ikan menjadi 1,4 ton  yang dijual dengan harga rata-rata Rp11.000 per kg atau Rp15,4 juta. Jika harga benih Rp3,6 juta, pakan Rp7 juta, dan sewa lahan Rp667 ribu per siklus (dua bulan), maka sekali panen ia memperoleh pendapatan bersih Rp 2.883.000.

 

Karena benih diproduksi sendiri, pendapatan Wahono menjadi lebih besar. Namun dalam perhitungan usahanya ia tetap memasukkan biaya benih dalam pengeluaran, “Karena usaha benih ikan mas punya perhitungan tersendiri,” ujarnya memberi alasan. Untuk menekan pengeluaran lainnya, petani ikan asal Jateng ini memberantas penyakit bintik merah pada insang secara tradisional, yaitu mencampur garam non-yodium rebus dalam pakan.

 

Dalam menjual ikan, petani tidak mengalami kesulitan karena pedagang datang sendiri ke kolam peternak. “Kita tinggal membuat perjanjian dengan pedagang ikan yang akan datang membeli ke kolam,” ungkapnya. Biasanya ikan dari daerah ini dijual ke Bandarlampung, Lampung Tengah, dan daerah lainnya di Provinsi Lampung.

 

Beralih ke Lele

Untuk ikan jenis lele, petani yang sudah melakukan pembibitan sendiri adalah Subarno. Saat musim hujan, ia biasa mengisi kolamnya dengan ikan mas dan lele. Namun, ketika imusim kemarau, seluruh kolamnya yang berjumlah tujuh petak diisi lele karena suplai air kurang. Bahkan karena rendahnya kualitas air, tidak semua lele tumbuh baik.

 

Kendati begitu, Subarno tetap sungguh-sungguh menjalankan usahanya karena harga lele saat ini cukup menggiurkan, Rp8.750 per kg. Dalam memproduksi benih, ia membuat kolam plastik yang ditaruh di sekitar rumahnya. Selain untuk kebutuhannya sendiri, bibit ikan lele yang dihasilkannya juga dijual kepada peternak sekitarnya.

 

Hanya selama musim kemarau ini, Subarno mengakui, permintaan bibit jauh berkurang karena banyak kolam di Pagelaran kering. Bahkan untuk memenuhi kebutuhan air kolamnya, ia membantunya dengan sumur bor. “Kalau mengharapkan air dari irigasi belum tahu kapan mengalirnya,” keluhnya.

 

Menurutnya, selain kesulitan air petani ikan di Pagelaran terkendala harga yang fluktuatif. “Harga pakan ikan terus naik sehingga banyak petani yang tidak mengisi kolamnya,” tukas Subarno. Saat ini harga pakan lele sekitar Rp210 ribu per karung isi 50 kg. Jika harga ikan lele di bawah Rp7.000 per kg, pembudidaya tidak memperoleh keuntungan.

 

Namun, karena memproduksi bibit sendiri Subarno tetap menebari kolamnya. Dengan modal pakan 8 kuintal seharga Rp3.36 juta, ia bisa memanen 8 kuintal lele dalam waktu  45 hari. Dengan harga Rp8.750 per kg, maka ia meraih pendapatan Rp7 juta per siklus.

 

Meskipun sudah menjalankan budidaya ikan sejak lama dan turun temurun, tapi masih banyak peternak yang belum tergabung dalam kelompok tani. Jika tergabung dalam kelompok, tentu pakan bisa dibeli secara berkelompok sehingga harganya lebih miring dan harga jual ikan lebih mahal. Waktu penebaran bibit pun bisa diatur secara bergiliran sehingga panen bisa diatur setiap hari agar pasokan ikan ke pasar tetap stabil guna mengatasi fluktuasi harga yang merugikan peternak.

 

Syafnijal D. Sinaro (Kontributor Lampung)

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain