Selasa, 13 Nopember 2007

Pengembangan Kapas Perlu Intervesi Teknologi

Pengembang kapas akan berhasil baik bila didukung teknologi memadai.

 

            Menurut Emmy Sulistyowati dan Diciyanto Soetopo dari Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat (BPT2S), pihaknya memegang mandat untuk melaksanakan penelitian dalam menghasilkan paket teknologi bagi peningkatan produktivitas kapas. Sampai saat ini, paket teknologi budidaya cukup lengkap. Meliputi varietas unggul, benih delinted, teknik pengelolaan hara, dan pengendalian serangan hama penyakit.

            Kenyataannya, petani belum mampu mengadopsi secara utuh. Apalagi kondisi geografi, sosial, dan budaya petani kapas sangat bervariasi. Sehingga perlu upaya guna mekmaksimalkannya.

            Untuk pengembangan kapas rakyat, beberapa varietas unggul sudah dilepas. Seperti Kanesia 1 (Kapas Indonesia)—Kanesia 13. Namun yang dikembangkan petani secara luas adalah Kanesia 3—8. Potensi genetik varietas unggul tersebut berkisar 2 ton—3,2 ton kapas berbiji/ha. Tapi, akibat tekanan iklim dan penerapan teknik budidaya yang sangat terbatas, potensinya sangat tertekan. Sehingga produktivitasnya masih di bawah 1 ton kapas berbiji/ha.

            Baru-baru ini, Mentan telah melepas varietas hibrida asal China. Dari hasil uji multilokasi, varietas hibrida ini memiliki potensi hasil 4 ton kapas berbiji/ha. Selain itu ada juga kapas hibrida transgenik BT yang mempunyai potensi hasil 6,7 ton kapas berbiji/ha. Kalau kedua varietas itu bisa dikembangkan di lahan-lahan yang ketersediaan airnya cukup di musim kemarau, impian untuk menekan ketergantungan impor bisa dikurangi.

 

Perbaikan Budidaya

            Guna meningkatkan hasil kapas, selain penggunaan benih unggul, teknik budidaya juga perlu diperbaiki. Dosis pupuk anjuran yang ada belum spesifik lokasi. Anjuran yang ada sekarang yaitu untuk Jatim (pemupukan I): Urea 35—40 kg/ha, ZA 40 kg, SP-36 100 kg, dan KCl 0—100 kg. Pemupukan II hanya diberikan Urea 65—80 kg/ha.

Untuk daerah Jateng, pada pemupukan I: Urea 40—60 kg/ha dan 100 kg SP-36. Sedangkan untuk pemupukan II diberikan Urea 60—120 kg/ha. Di NTB, pemupukan I, Ureanya 15—30 kg, ZA 40 kg, dan 100 kg SP-36/ha. Sementara untuk pemupukan II, Urea 35—65 kg/ha. Semestinya, dosis pupuk tersebut berdasarkan hasil analisis tanah dan tanaman.

            Di samping itu, untuk mengurangi kegagalan panen, selama budidaya dilakukan tumpangsari dengan palawija. Palawija yang dianjurkan BPT2S adalah kacang hijau, kedelai, atau jagung.

            Hasil penelitian BPT2S, tatatanam yang digunakan bisa satu baris kapas (2 tanaman/lubang), dan tiga baris kedelai. Jadi, populasi tanaman kapasnya 44 ribu dan kedelai 198 ribu/ha. Hasil panennya mencapai 500 kg kedelai dan 1.348 kg kapas.

            Dapat pula dengan mengurangi jumlah tanaman kapas/lubang, menjadi satu tanaman. Dengan pola satu baris tanaman kapas dan tiga baris kedelai, maka populasi tanaman kapas sebanyak 33 ribu/ha. Dengan pola ini, hasil panen kapas meningkat menjadi 1.577 kg dan kedelai 545 kg/ha.

            Atau dengan pola dua baris kapas (31.302 tanaman/ha), dan empat baris palawija. Hasil panen kapas jauh lebih tinggi, 1.677 kg dan kedelai 456 kg/ha.

            Yang tak kalah penting adalah pengendali hama penyakit. Pemerintah menganjurkan pengendalikan dilakukan dengan pendekatan pengendalian hama terpadu. Yaitu menekankan pada penggunaan bahan non kimiawi, melalui pemanfaatan agensia hayati. Memang, cara ini tidak secepat dan setuntas bila dibandingkan denga racun pestisida. Hanya saja harga pestisida jauh lebih mahal ketimbang menggunakan musuh alami dari hama maupun penyakit yang menyerang kapas. Jadi, kalau masih menguntungkan, penggunaan pestisida bisa dilakukan.

 

Dadang WI

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain