Selasa, 13 Nopember 2007

Maju Berkat Kemitraan

Sejak bermitra, usaha para peternak berkembang pesat.

 

Bagi warga Kecamatan Punggur, Kabupaten Lampung Tengah, beternak sapi sudah dilakoni secara turun temurun. Bahkan sejak nenek moyang mereka datang ke kampung melalui program transmigrasi puluhan tahun lalu. Mereka sudah merintis beternak sapi, di samping bertani.

Sejak 1990, sejumlah peternak bergabung membentuk kelompok. Lalu menjalin kemitraan dengan perusahaan penggemukan sapi (feedlot) di daerah itu, PT. Great Giant Livestocks Company (GGLC). Sejak itu peternakan sapi di kecamatan ini maju karena sapi dipelihara secara intensif.

Salah satu kelompok yang maju pesat yakni Kelompok Peternak Sapi Brahman (KPSB) yang diketuai Sujarno. Kelompok ini kini memiliki 300 peternak sebagai anggota yang tersebar di tiga kampung (desa), Astomulyo, Mojopahit, dan Tanggul Angin.

Menurut Sarjono, salah seorang anggota KPSB, mereka menjalin kemitraan dalam pengadaan sapi bakalan. Mereka pun memperoleh kredit bersubsidi berupa Kredit Ketahanan Pangan (KKP) dengan bunga 16% yang disalurkan Bank  Niaga.

 

Harga Stabil

Sarjono menjelaskan, untuk menjaga kesinambungan pasokan ke pasar, setiap anggota menerima sapi bakalan secara bergilir. Maksudnya ke 300 anggota tidak sekaligus menerima sapi, tapi diatur secara bergiliran. Misalnya, bulan pertama terdapat 100 anggota yang menerima sapi, bulan berikutnya 100 anggota lagi, dan sisanya 100 anggota akan menerima sapi pada bulan ketiga. Pada bulan keempat, 100 anggota pertama sudah panen, selanjutnya panen di kelompok kedua dan ketiga.

 

            Walau demikian, beberapa kali terjadi kekosongan. Tahun 2004 misalnya, kegiatan anggota terhenti lantaran harga sapi melambung. Penyebabnya yaitu wabah penyakit sapi gila di Inggris yang berimbas pada melonjaknya permintaan sapi Australia. Sementara bila mengusahakan sapi lokal, pertumbuhannya lebih lambat.

            Dalam menggemukan sapi itu, KPSB dipasok pakan oleh GGLC berupa kulit nenas, konsentrat, dan obat-obatan dari GGLC. Sementara pakan hijauan disediakan sendiri dengan menanam rumput gajah dan hijauan lainnya.

            Walau bermitra, kelompok memiliki posisi tawar yang setara dalam penetapan harga, baik bakalan maupun hasil panen. Namun, untuk sapi bakalan harganya sangat dipengaruhi oleh harga kontrak sapi di Darwin, Australia. Jika kelompok menilai harga saat itu tidak menguntungkan, feedlot tidak bisa memaksa kelompok mengambil sapi.

            Soal pakan, harganya disubsidi GGLC sehingga terjangkau. Harga konsentrat Rp1.000/kg, dan kulit nenas Rp60—R65/kg. Dengan harga pakan murah, dari seekor sapi, peternak memperoleh keuntungan Rp500 ribu—Rp1 juta, setelah dipotong harga sapi bakalan, pakan/konsentrat, dan obat-obatan. “Kenyataannya, ada juga anggota kelompok yang rugi,” aku Sarjono.

            Jika sebelumnya kerugian anggota ditanggung renteng oleh kelompok, sekarang kerugian ditanggung sendiri. Dengan sistem demikian terjadi kompetisi penuh karena anggota tidak ingin rugi. Mereka beresungguh-sungguh dalam berusaha. Kelompok itu menyadari, sukses usahanya dipengaruhi banyak faktor, seperti pakan, bibit, dan penyakit. “Dari beberapa periode pemeliharaan, ada saja yang gagal, sapi tidak berkembang. Meskipun sudah dirawat dengan baik,” terang Sarjono. Umumnya penyakit yang mendera KPSB adalah diare dan pilek. Biasanya sapi mengalami diare akibat terlalu banyak makan konsentrat.

 

 Syafnijal D. Sinaro (Lampung)

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain