Kecil bentuk tubuhnya tapi menjanjikan keuntungan besar.
Walaupun bentuknya mungil sebagai hewan unggas yang dibudidayakan, puyuh ternyata menyimpan harapan keuntungan yang luar biasa. Selain telur sebagai produksi utamanya, usaha pembibitan dan puyuh pedaging, termasuk kotorannya dapat memberikan keuntungan.
Demikian dirasakan Slamet Wuryadi R., pemilik Slamet Quail Farm (SQF) di Cikembar, Sukabumi, Jabar. Pria asal Jepara, Jateng, ini mulai merintis usaha pada 1991, dengan modal Rp10 juta untuk memelihara 1.000 ekor. Awalnya ia menargetkan untuk memproduksi pembibitan.
Sejak itu, riset terus dilakukan untuk menghasilkan bibit puyuh (day old quail/DOQ) unggul, lantaran kualitas puyuh yang ada ketika itu masih rendah. “Hal ini akibat dari perkawinan sedarah (inbreeding), sehingga produksinya rendah dan rentan terserang penyakit,” jelas Slamet.
Harus Bermutu
Setelah 12 tahun melakukan pengembangan, akhirnya Slamet berhasil mempunyai indukan (parents stock/PS) puyuh unggul. Alasan itu pula yang membuat SQF tetap fokus pada pembibitan. “Kini kami memiliki 7.500 PS, dengan produksi DOQ 6.000 ekor/minggu,” aku jebolan Peternakan IPB itu.
Di samping itu, SQF juga mempunyai usaha budidaya puyuh petelur. Tapi dilakukan melalui kemitraan dengan peternak puyuh lainnya.
Kualitas DOQ produksi SQF juga beda. Puyuh mulai bertelur pada usia 36 hari, keseragaman telur 11 gram/butir, dan ketahanan telur mencapai 5 minggu. Sementara umumnya puyuh bertelur pada usia 40 hari, telur tidak seragam, dan daya tahan telur hanya 2—3 minggu.
Slamet menambahkan, kualitas bibit sangat mempengaruhi efisiensi pemberian pakan. Dengan diketahui jenis kelamin DOQ sejak dini, maka efisiensi pakan mudah diterapkan. Dan produktivitas telur bisa tinggi. “Per ekor produksi telur puyuh kami mencapai 90%, dan bertahan sampai usia puyuh 1,5 tahun,” tandasnya.
Pasar Terbuka
Dengan menggunakan bibit unggul, usaha Slamet makin berkembang. Saat ini SQF mampu memproduksi telur 450 ribu butir/minggu. Ditambah produksi puyuh pedaging (jantan) dan afkiran sebanyak 3.000/minggu.
Hitung punya hitung, aset usaha Slamet sudah menembus Rp700 juta—Rp800 juta, yang tersebar di 8 lokasi peternakan. “Kami berencana mengembangkan lebih besar, dengan target 1 juta ekor tahun depan,” jelasnya.
Di luar itu, sejak dua tahun lalu, Slamet pun membisniskan kotoran puyuh sebagai pupuk kandang. Setiap minggu ia mampu menjual 3 ton—4 ton.
Menurut pengamatan Slamet, peluang usaha puyuh masih terbuka lebar. Ia memberi contoh, untuk pasar Jabodetabek saja, setiap minggu butuh 2,3 juta butir telur. Sedangkan permintaan daging puyuh mencapai 4.000 ekor/hari. Dari seluruh permintaan yang datang ke SQF, Slamet mengaku baru bisa memenuhi 20%.
Yan Suhendar