Selasa, 13 Nopember 2007

Rezeki Lebih Dibalik Licinnya Belut

Jangan pernah remehkan potensi alam lokal. Hj. Komalasari, seorang pembudidaya dan produsen belut olahan di Kec. Sukaraja, Sukabumi, Jabar, telah membuktikannya.

 

            Berkat belut, dua kali ia menginjak istana negara. Selain itu, rumahnya seringkali dikunjungi oleh sejumlah ‘orang penting’ yang ingin menengok usaha belut yang dikelolanya, baik lokal maupun nasional.

            Terlahir dari keluarga petani, tidak membuatnya berkecil hati. Sebaliknya, seluruh pengetahuan yang diberikan oleh orang tuanya tentang pertanian, termasuk memelihara dan mengolah belut, ia pelajari dengan baik sehingga bisa dijadikan ladang usaha.

 

Tidak Punya Saingan

            Hasilnya, bukan hanya bisa dinikmati oleh diri sendiri dan keluarganya. Namun, mampu memberi penghasilan tambahan bagi sekitar 200 orang penangkap dan pembudidaya belut binaannya. Dalam sebulan, ibu tiga putera ini membeli rata-rata tiga ton belut segar dari para petani yang nilainya mencapai Rp45 juta. Belut segar tersebut kemudian diolah menjadi berbagai makanan setengah jadi dan siap santap, seperti  dendeng, abon, tepung, jamu, dan kerupuk.

            Ya, itulah kegiatan sehari-hari wanita asal Sukabumi ini. Meskipun terdengar sederhana, namun sangat berarti bagi masyarakat di sekitarnya, terutama para petani kecil. “Sasaran saya adalah petani penggarap, karena merekalah yang butuh bantuan,“ ujar Hj. Komalasari. Menurutnya, membantu secara materi, selain tidak mendidik juga tidak mampu ia lakukan. “Maka saya berikan ilmunya saja, yaitu bagaimana cara mencari dan membudidayakan belut,” tambahnya.

Pada awal usahanya di tahun 1985, tak banyak belut yang disetorkan padanya. Namun, pasokan belut ke rumahnya bertambah dari hari ke hari. Ia kemudian memutuskan untuk mengolah belut bersama ibu-ibu PKK dan Posyandu setempat. Pasarnya, ia rintis dari bawah. “Kalau ada kegiatan di kecamatan atau kabupaten, saya nggak pernah lepas dari tentengan (produk olahan belut). Jadi, produk ini terus kita perkenalkan pada masyarakat,” ujarnya.

            Dari rapat ke rapat, arisan, kegiatan PKK, dan Posyandu, di tahun 1990 akhirnya produk olahan belutnya sampai juga ke toko-toko makanan, rumah makan, dan supermarket di wilayah Sukabumi, Cianjur, dan Bogor. Pasar, kini bukan lagi kendala, karena “Saya relatif nggak punya saingan,  satu-satunya produsen belut olahan di Sukabumi ya di sini,” ujar Ketua Kelompok Tani Flamboyan ini. 

 

Jajal Ekspor

            Membuat produk olahan belut relatif tidak sulit. Menurut Hj. Komalasari, pilih belut segar yang ukurannya sama atau rata-rata 30 ekor/kg. Selanjutnya belut dibelah memanjang, dibersihkan, kemudian dipipihkan. Belut kemudian dicuci dengan air bersih, ditiriskan, dan direndam dalam bumbu selama 15–60 menit. Setelah itu, belut dijemur selama 1–2 hari, ditimbang, dan dikemas dalam plastik ukuran 100 gr, 250 gr, 500 gr, dan 1 kg.

            Dendeng belut selanjutnya siap digoreng dan dibuat beberapa variasi masakan. Misalnya, dendeng pedas, asin, manis, atau tawar bagi yang menyukainya. Satu kilogram dendeng belut siap olah, dijual Rp110.000. Sedangkan abon belut dibandrol seharga Rp120.00/kg. Tingginya harga jual produk olahan belut ini tak lepas dari jumlah bahan baku yang digunakan. Karena, “Untuk mendapatkan satu kilogram belut olahan, dibutuhkan sekitar 4–5 kg belut segar,” ujar Hj. Komalasari.

            Selain pasar lokal, wanita yang menikah di tahun 1971 ini juga pernah menjadi pemasok belut untuk tujuan Korea Selatan di tahun 2003. Di Korea, belut dijadikan tepung untuk campuran bubur bayi dan bahan dasar pembuatan kosmetik. “Kontrak kerja berlangsung selama enam bulan dengan volume tiga ton per bulan,” jelas Hj. Komalasari. Dengan harga Rp22.000/kg, tentu keuntungan yang diraih wanita tamatan SMEA ini cukup menggiurkan.

            Sayangnya, ia tidak melanjutkan usahanya itu karena kekurangan bahan baku. Selain itu, “Produk olahan kami jadi berkurang bahkan pernah berhenti sama sekali sehingga ibu-ibu pengolah belut jadi kehilangan pekerjaan,” jelas wanita yang menunaikan ibadah haji di tahun 1990 itu. Padahal, pembayaran dari eksportir tidak pernah bermasalah, bahkan “Mereka mau meminjamkan modal kalau saya mau terus,” katanya lagi.

            Sampai sekarang pun, ia masih sering mendapat pesanan belut dari luar negeri, khususnya Jepang. “Tapi, saya  nggak bisa layani karena pasar di sini juga masih banyak,” ujar Hj. Komalasari. Menurutnya, masa depan bisnis belut cukup cerah. Asalkan bisa menjaga kualitas dan kontinuitas produk.

 

Enny Purbani T.

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain