“Untuk memodernisasi sistem agribisnis, agroindustri merupakan penggerak utama. Agroindustri yang memiliki keterkaitan ke depan dan ke belakang yang relatif tinggi serta angka pengganda tenaga kerja dan nilai tambah yang juga relatif tinggi menjadi lokomotif yang menggerakkan sistem dan perekonomian secara keseluruhan,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000—2004, saat diwawancarai AGRINA.
Agroindustri seperti apa yang dimaksud?
Dalam memanfaatkan persaingan global, Indonesia perlu mengembangkan agroindustri berbasis tropis (tropical based agroindustry) melalui pengembangan beberapa kluster agroindustri. Kluster agroindustri yang dimaksud adalah kluster agroindustri pangan dan pakan (food and feed), serat alam (natural fiber), biofarmasi (obat, pestisida, antibiotika, produk kecantikan), energi nabati (biodiesel, etanol), dan kluster industri floris (tanaman hias). Pada kelima kluster tersebut Indonesia berpeluang besar untuk unggul secara internasional karena didukung keunggulan komparatif yang tidak banyak dimiliki negara lain.
Tentu saja, keunggulan bersaing Indonesia pada kluster-kluster agroindustri tersebut tidak datang dengan sendirinya. Keunggulan bersaing hanya akan kita peroleh melalui kerja keras yang terarah dan konsisten dalam mendayagunakan keunggulan komparatif yang kita miliki menjadi keunggulan bersaing.
Apa yang harus dikembangkan agar kita memiliki keunggulan bersaing?
Untuk membangun keunggulan bersaing Indonesia pada kelima kluster tersebut, kita memerlukan suatu roadmap pengembangan agroindustri. Roadmap yang dimaksud, yakni bergerak dari agroindutri yang dihela oleh pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia (SDM) yang belum terampil atau factor-driven, lalu bergerak ke agroindustri yang dihela pemanfaatan modal dan SDM lebih terampil atau capital-driven, dan kemudian melangkah maju pada agroindustri yang dihela pemanfaatan ilmu pengetahuan-teknologi dan SDM terampil atau innovation-driven.
Secara agregat agroindustri Indonesia masih berada pada fase awal, antara fase factor-driven dan capital-driven. Hal ini dicirikan antara lain oleh produktivitas dan nilai tambah yang masih relatif rendah. Pada industri serat alam seperti industri pulp dan kertas, masih sangat bergantung kayu hutan alam dan masih sedikit industri yang bahan bakunya dari kayu hasil budidaya. Pada industri minyak sawit, sebagian besar dari industri yang ada masih menghasilkan CPO sebagai produk utamanya. Padahal ratusan jenis produk turunan CPO yang dapat dihasilkan dari industri ini baik produk oleokimia maupun oleopangan.
Agroindustri yang masih pada fase factor-driven dan capital-driven ini juga terkait dengan sektor penghasil bahan baku, yakni sektor pertanian yang sebagian besar masih pada fase factor-driven. Secara keseluruhan, produksi agregat pertanian sebagian besar masih bersumber dari perluasan areal pertanian dan masih sedikit disumbang oleh produktivitas.
Karena itu hal mendesak yang kita lakukan adalah meningkatkan produktivitas pertanian melalui pemanfaatan barang-barang modal dan peningkatan SDM. Sedangkan pada agroindustri, yang mendesak dilakukan adalah pendalaman industri sehingga nilai tambah yang dinikmati Indonesia lebih besar.
Bagaimana selanjutnya?
Bila kita berhasil dalam memajukan agroindustri dari factor-driven ke capital driven serta pendalaman industri, maka tahap berikutnya adalah mendorong agroindustri memasuki fase innovation-driven. Pada fase ini produk utama agroindustri akan didominasi produk-produk bernilai tambah tinggi, barang-barang modal bermuatan padat teknologi, hak paten atau royalti, produk-produk bioteknologi tinggi, dan lainnya.
Untuk mendukung agroindustri pada fase innovation-driven ini, peranan lembaga penelitian sangat penting. Lembaga penelitian yang ada di Indonesia saat ini sebetulnya sudah siap mendukung agroindustri fase innovation-driven. Lembaga penelitian milik pemerintah maupun perguruan tinggi banyak yang sudah memiliki SDM peneliti kelas dunia. Namun karena agroindustri kita belum banyak yang memanfaatkannya, penelitian-penelitian yang dihasilkan lembaga penelitian tersebut berhenti pada tahap invention. Masih sedikit yang berhasil mengubah invention menjadi inovasi bisnis.
Bila roadmap pengembangan agroindustri yang demikian dapat kita lakukan secara konsisten, Indonesia berkesempatan unggul pada kelima kluster agroindustri tersebut. Pada kluster industri energi nabati misalnya, Indonesia berkesempatan menjadi salah satu produsen energi nabati terbesar di dunia. Selain itu, bila pengembangan agroindustri yang demikian berhasil dilakukan, akan menarik sektor atau industri lainnya sehingga industrialisasi kita dapat diperluas ke industri-industri lain.
Untung Jaya