Hasil identifikasi, ternyata banyak wilayah yang berpotensi menjadi kawasan agribisnis, khususnya hortikultura.
Untuk menggenjot pembangunan industri agribisnis hortikultura di tanah air, Ditjen Hortikultura, Deptan telah menyiapkan 32 wilayah untuk dijadikan prioritas pembangunan 2008 sebagai kawasan agribisnis hortikultura.
Menurut Ahmad Dimyati, Dirjen Hortikultura, pengembangan kawasan agribisnis hortikultura ini nantinya akan diterapkan berdasarkan komoditas dan jenis usaha tani. Lalu, proses pengembangannya, antara lain, dilakukan melalui perbaikan kawasan yang sudah ada maupun pembentukan kawasan baru. Setiap kawasan hortikultura bakal terdiri dari beberapa subkawasan. Misalnya, kawasan Manggis, telah ditentukan di Subang dan Purwakarta. Lima kecamatan di Purwakarta dan empat di Subang dijadikan subkawasan. ”Dalam kawasan itu akan dibuat usaha besar-besaran yang dilengkapi fasilitas dan faktor pendukung lainnya,” katanya.
Berdasarkan data Ditjen Hortikultura, setiap tahun produksi maupun luas panen komoditas hortikultura menunjukkan peningkatan. Rata-rata peningkatan produksi pada 2006 dibandingkan 2005 sebesar 12,72%. Produksi kelompok buah-buahan dari 14.786.559 ton meningkat menjadi 16.171.130 ton, dan kelompok sayuran dari 9.101.987 meningkat mencapai 9.527.463 ton. Sedangkan, tanaman obat meningkat dari 342.338.887 kg menjadi 447.557.634 kg.
Sobir, Kepala Pusat Kajian Buah Tropika IPB, mendukung rencana tersebut. Malahan ia berpendapat, pengembangan kawasan hortikultura seharusnya sejak dulu dilakukan pemerintah. Sebab, kendala terbesar yang dialami sektor agribisnis nasional adalah skala usahanya, baik hortikultura maupun perkebunan yang belum ekonomis. ”Setiap usaha itu harus ada skala ekonomi secara minimum,” tuturnya.
Akibatnya, dari sisi harga, komoditas Indonesia kerap kalah bersaing dengan komoditas asing. Jeruk, misalnya. Menurut Sobir, harga jeruk China yang masuk ke pasar Indonesia hanya dijual Rp2.500 per kg. Jika ditambah biaya transportasi dan lainnya, sampai ke tangan pedagang harganya cuma Rp4.000 per kg. Nah, di tingkat ke konsumen, paling banter dipatok Rp8.000 per kg. ”Pedagang masih untung 50%,” imbuhnya
Potensi Bisnis
Dengan adanya sebuah kawasan agro, ekspor komoditas hortikultura bisa ditingkatkan. Bukan apa-apa. Sekarang ini, menurut Dimyati, penanganan komoditas yang ada di sektor ini, seperti buah-buahan dan sayuran, masih terasa kurang optimal. Padahal, potensi bisnis ini cukup lumayan.
Indikasi itu dapat dilihat dari jumlah komoditas di sektor ini yang telah mencapai 323 varietas, terdiri dari 80 varietas sayuran, 60 varietas buah-buahan, 117 varietas tanaman hias, dan 66 varietas tanaman biofarmaka. Soal potensi bisnisnya, Dimyati memberi contoh. Pada 2004, volume ekspor hortikultura baru 296 ribu ton dengan nilai US$177 juta. Namun, pada 2005, volumenya membengkak menjadi 451 ribu ton dengan nilai US$237 juta. Volume ekspor komoditas hortikultura banyak berasal dari buah-buahan, seperti nenas, manggis, dan pisang. ”Sayur-sayuran, kentang, kembang kol, dan bawang merah juga memiliki kontribusi besar,” katanya.
Selain buah dan sayuran, ekspor tanaman hias juga menunjukkan tren peningkatan. Jika pada 2002 nilai ekspornya US$900 ribu, pada 2005 skalanya naik menjadi US$12,5 juta. Namun, Pak Dirjen mengakui, jenis tanaman biofarmaka masih belum bisa diandalkan sebagai komoditas ekspor. Bahkan, selama kurun waktu 2004—2005, tidak ada ekspor yang bisa dicetak dari tanaman obat-obatan ini. Hanya pada 2002 dan 2003, biofarmaka mampu mencatat ekspor sampai 955 ribu ton.
Produk Domestik Bruto (PDB) hortikultura juga cukup mengembirakan. Berdasarkan data Ditjen Hortikultura, sepanjang 2005, nilai PDB hortikultura mencapai Rp61,792 triliun. Skala itu meningkat pada tahun selanjutnya menjadi Rp66,879 triliun. Nah, artinya terjadi rata-rata peningkatan 8,47% per tahun.
Sementara, nilai ekspor benih hortikultura lebih besar dari nilai impor. Adanya impor benih terkait ada kebutuhan benih yang tidak bisa diproduksi di lokal. Sehingga jika diproduksi di tempat lain atau di negara lain biaya produksinya lebih murah. Tapi, perusahaan benih dalam negeri ada yang mampu memproduksi benih dengan lebih efisien sehingga benih lokal lebih kompetitif di pasaran ekspor. “Kalau mereka yang lebih kompetitif, maka mereka yang ekspor. Tapi ada juga alasan semacam kesesuaian atau mungkin juga pembagian usaha atau juga masalah teknologinya,” ungkap Dimyanti.
Anggrek misalnya. Walaupun banyak penyilang di tanah air, tapi perbanyakan hasil penyilangan banyak dilakukan di Thailand karena lebih murah dan lebih mampu. Jadi hasil persilangan kita diperbanyak di sana lalu diimpor lagi ke sini. Ini juga yang sedang digarap Ditjen Hortikultura supaya ada rantai pasokan lintas batas (cross border supply chain).
Konsep Kemitraan
Untuk mencapai peningkatan produksi 2006—2007, Ditjen Hortikultura memfasilitasi petani dengan penguatan modal dan membangun pola kemitraan. Untuk konkretnya memang masih dalam proses sehingga belum berdampak langsung terhadap produksi petani hortikultura.
Penguatan modal dilakukan berdasarkan pengembangan kawasan. Penekanannya pada jumlah petani yang mendapatkan modal, petani yang bermitra, dan jumlah komoditas yang diusahakan. Sementara mengenai fasilitas kemitraan, pihak Ditjen membantu penataan rantai pasokan (management supply chain ).
Untuk komoditasnya, lebih kepada komoditas unggulan di masing—masing wilayah, misalnya paprika di Garut, pisang di Magetan, nenas di Subang, mangga di Cirebon dan Probolinggo, serta manggis di Tasikmalaya, Purwakarta, Sumatera Barat, Sumatera Utara. “Walaupun bukan ungulan nasional, namun penting juga untuk diperhatikan,” jelas Dimyati.
Untuk lebih meningkatkan kemitraan, pemerintah akan menerbitkan peraturan pemerintah karena memang belum ada yang mengatur kemitraan di hortilkutura. Selama ini kemitraan diserahkan kepada petani langsung atau pengusaha yang punya model sendiri. Konsepnya akan ditawarkan kepada pelaku usaha.
Sesungguhnya model kemitraan tergantung jenis komoditasnya. Pada kentang misalnya, perusahan benih membantu penyediaan benih dan modal kepada petani. Lalu petani menanam kentang sesuai varietas yang sudah disiapkan perusahaan tersebut dan sesuai dengan permintaan pabrik. Nanti ketika panen, pabrik membeli hasil produksinya.
Saat ini sudah mulai tumbuh semangat bermitra di kalangan pelaku usaha. Petani memerlukan kemitraan yang stabil dengan jaminan pasar dan harga. Sementara di sisi lain, si pengusaha memperoleh jaminan pasokan dengan mutu dan harga yang baik. “Jadi pedagang dan pembeli harus setia dengan petani, begitu juga sebaliknya. Jangan nanti ada pabrik lain mengiming-imingi dengan harga yang mahal, lalu berpaling ke sana,” harap Dimyati.
Belum diaturnya kemitraan selama ini, lanjut Dimyati, karena masih melakukan pendekatan-pendekatan sosial. Pasalnya, kekuatan kemitraan bertumpu pada kesetiaan, kejujuran, dan transparansi. Hal ini bisa dilakukan seorang mitra kalau dia punya rasa tanggung jawab dan mendapat jaminan keuntungan.
Dadang WI, Yan Suhendar
Tabel Penyerapan Tenaga Kerja Subsektor Hortikultura 2005—2006 |
Komoditas |
Penyerapan Tenaga Kerja (Orang) |
2005 |
2006* |
Peningkatan (%) | |
Sayuran |
2.272.324 |
2.406.466 |
5,90 |
Buah-buahan |
607.184 |
625.394 |
3,00 |
Tanaman Hias |
1.461 |
1.479 |
1,23 |
Tanaman Obat |
20.931 |
28.001 |
33,78 |
Jumlah |
2.901.900 |
3.061.340 |
5,49 |
Keterangan : *) Tahun 2006 berdasarkan luas panen ATAP 2005
Sumber : Ditjen Hortikultura.