Jumat, 28 September 2007

Bisnis Jamur Nggak Ada Matinya ...

Agribisnis jamur, pada  prinsipnya sama dengan bisnis lainnya, kalau tidak untung ya, rugi.

Ucapan tersebut dilontarkan Alexander ST Chandra, pengusaha jamur di Malang, Jatim. Namun, untuk menyiasati agar usaha jamur tidak  rugi, pasti ada caranya. Pemilik usaha jamur CV “88” Sejahtera ini melakukannya dengan mengefisienkan biaya produksi, meningkatkan hasil panen, dan membuka peluang usaha lain di seputar kumbung jamur, misalnya penjualan media jamur siap tanam (baglog).

Biaya Produksi Efisien

Alex, demikian sehari-hari ia disapa, memulai usaha jamurnya pada 2002. Ia mendirikan usaha budidaya jamur karena waktu itu belum banyak yang mampu mengusahakan jamur, terutama jenis shiitake. Saat ini pun, “Sebenarnya peluang usaha jamur masih cukup besar,” ujar Alex yang membudidayakan jamur shiitake dan jamur merang di kumbungnya.

Ia menduga, meningkatnya konsumsi jamur seiring dengan tumbuhnya kesadaran masyarakat terhadap makanan sehat. Jamur memang kaya protein,  karbohidrat, serat, serta mengandung vitamin dan senyawa antikanker. Jamur tiram dan merang umumnya dijual segar di pasar lokal. Begitu juga dengan shiitake, meskipun harus bersaing ketat dengan produk yang sama asal China. 

Menurut Alex, untuk dapat menembus pasar, pembudidaya harus mampu berproduksi maksimal dan efisien sehingga berani melempar hasil di pasar dengan harga lebih miring.  “Bagi yang tidak efisien, ya bakal tergusur,” ujarnya.  Pada musim hujan, biaya produksi jamur tiramnya bisa sampai Rp3.000—Rp4.000 per kg, sedangkan jamur shiitake sekitar Rp20.000 per kg. Namun biaya produksi tersebut akan meningkat saat musim kemarau, seperti jamur shiitake yang mencapai Rp35.000 per kg.

Jamur produksi Alex paling banyak diserap pasar Jakarta dan Bali. Akhir bulan lalu harga jamur tiram di tingkat petani berkisar Rp6.000—Rp7.000 per kg, sedangkan harga jamur shiitake pada rentang Rp36.000—Rp40.000 per kg. Dibantu 40 orang karyawannya, ia mampu menghasilkan 2,5 ton jamur shiitake dan 6 ton jamur merang dari kumbungnya yang terletak di atas lahan seluas 9.000 m2. Kedua jenis jamur tersebut dipasarkan ke Jatim, Bali, dan Jakarta. “Jika ada permintaan ekspor, kami layani,” kata ayah dua anak ini. 

 

Ekspor Baglog

Diakui Alex, harga jamur berfluktuasi, bergantung pada penawaran dan permintaan. Jika suplai membanjir, harga jamur tiram bisa sampai ke titik Rp4.500 per kg. “Yang jelas,  biaya produksi terus meningkat karena pengaruh BBM, harga plastik (untuk baglog), dan upah karyawan,” paparnya. Di sisi lain, kenaikan harga jamur sulit diharapkan karena daya beli masyarakat yang semakin berkurang.

Untuk itu, pengusaha berusia 44 tahun ini menyiasatinya dengan membuka peluang usaha sampingan dari kumbung jamurnya berupa penjualan baglog dan bibit jamur tiram dan kuping. “Sejak setahun lalu saya mengekspor rata-rata dua kontainer baglog jamur tiram (sekitar 48 ribu buah) ke Singapura,” ungkapnya. Sedangkan produksi baglog jamur kuping ditujukan untuk memenuhi kebutuhan sejumlah petani yang menjadi plasmanya. 

Ke depan ia tengah mempersiapkan untuk terjun ke bisnis olahan jamur, misalnya keripik jamur, yang belum banyak digarap pengusaha agribisnis. Ia mengharapkan pemerintah memberi kemudahan dalam pengurusan perizinan. Sedangkan, “Teknologi dan kelengkapannya akan diusahakan oleh para pengusaha,” ucapnya.

 

Tri Agus Abdi Sholeh (Kontributor Malang)

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain