Jumat, 28 September 2007

Di Balik Ekspor Sidat Budidaya

Sepuluh hari usai peringatan HUT RI ke-62, Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi melepas ekspor perdana sidat hasil budidaya ke Taiwan. Benarkah sidat bisa dibudidayakan dan bagaimana pasarnya?

Meskipun budidaya sidat di Indonesia relatif belum berkembang, belut berkuping ini  cukup berhasil dikembangkan di Tiang Zhen, 100 km dari Guangzhou, China. Pembesaran sidat di wilayah tersebut dikerjakan oleh petani dan hasilnya di ekspor  ke Jepang. Teknik perkembangbiakan sidat memang belum diketahui sehingga pasokan benihnya masih mengandalkan tangkapan dari alam. Begitu juga China, para pembudidayanya mengimpor benih sidat jenis Anguilla japonicus dan Anguilla anguilla dari Kanada dan Eropa.

 

Jepang, Eropa, dan China

Di Indonesia sumberdaya benih cukup berlimpah. Setidaknya, terdapat empat jenis sidat, yaitu Anguilla bicolor, Anguilla marmorata, Anguilla nebulosa, dan Anguilla celebesensis. Ekspor sidat dari Indonesia sebelumnya berasal dari tangkapan alam, misalnya dari  perairan Pelabuhan Ratu, Sukabumi (Jabar) dan Cilacap (Jateng).

Menurut J. Soetanto, Corporate Development Manager Aquaculture Division PT Suri Tani Pemuka (STP), konsumen sidat terbesar adalah  Jepang,  Eropa, dan China.  “Pasar Jepang umumnya menghendaki sidat  berbentuk fillet yang berasal dari jenis A. bicolor atau A. japonicus ukuran 300—400 gram,” ungkapnya.

Lain halnya dengan konsumen Eropa, mereka menyukai sidat dalam bentuk asap (smoked) dari spesies A. anguilla atau A. japonicus. Sedangkan konsumen sidat di Asia Timur, yaitu China, Korea, Hongkong, dan Taiwan menghendaki sidat segar ukuran 800—3.000 gram per ekor dari spesies Anguilla reinhardtii yang benihnya banyak  terdapat di  perairan Australia.

Sidat asal Australia inilah yang diresmikan ekspor perdananya oleh Freddy Numberi (29/8) sebanyak 300 kg ke Taiwan dari Tambak Pandu Karawang. Masih menurut Soetanto, “Harga jual belut segar ke China berkisar AUD$10—20 per kg, bergantung size-nya. Makin besar ukuran sidat, makin mahal harganya. Jadi, harganya berjenjang.”

Di China sidat dikonsumsi sebagai makanan kesehatan sehingga nilainya cukup tinggi dan tergolong hidangan spesial. Dengan populasi penduduk yang besar dan kebiasaan makan sidat warga setempat, wilayah Asia Timur, terutama China, bisa dibilang menjadi pasar baru sidat yang potensial selain Jepang dan Eropa.

 

Betina Lebih Besar

Untuk mengembangkan sidat, sejak Desember 2006 STP menggandeng Tambak Pandu Karawang dan importir sidat asal Australia. Benih sidat yang belum berpigmen (glass eel)  dari  perairan Australia  dideder selama setahun sampai berukuran 60—150 gram. Anakan sidat tersebut kemudian dikirim dan dibesarkan di Indonesia. Soetanto mengakui bahwa pembesaran sidatnya masih bersifat ujicoba. “Iklim di sini ‘kan panas sepanjang tahun, harapannya sidat tumbuh lebih cepat,” ujarnya.

Sebelum dimasukkan dalam bak pemeliharaan, benih sidat yang baru tiba diaklimatisasi selama 12—24 jam. Sidat selanjutnya dimasukkan ke dalam bak beton dan dipelihara selama 7 bulan. Sidat jantan mampu mencapai ukuran 700 gram dalam waktu 7 bulan. Sayangnya, pertumbuhan individu jantan berhenti sampai di situ. Sedangkan sidat betina bisa mencapai bobot 3 kg per ekor dalam waktu 15 bulan. Selama pemeliharaan, sidat diberi pakan pellet pada pagi dan sore hari. 

Sortasi alias grading merupakan salah satu kunci budidaya sidat karena sifatnya yang kanibal. “Grading sangat bergantung pada umur dan ukuran. Kalau masih kecil ya tidak usah terlalu sering, tapi semakin besar ukuran sidat harus semakin rutin,” ujar Soetanto. Pemilihan lokasi juga menjadi sangat penting lantaran berkaitan dengan standar kualitas air yang diinginkan oleh sidat.

 

Perlu Sosialisasi

Menurut Ridwan Affandy, peneliti dan dosen di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) IPB, parameter air kunci yang penting dalam budidaya ikan, khususnya sidat adalah suhu, pH, oksigen terlarut, alkalinitas, dan salinitas yang berfungsi untuk memacu metabolisme. “Jika faktor basic-nya sudah terpenuhi, berikutnya baru teknis budidaya, seperti pakan, kepadatan tebar, kedalaman, dan sebagainya,” ujar Ridwan.

Senada dengan Soetanto, Ridwan juga menyarankan pembudidaya untuk menyortasi sidat yang dipelihara, minimal sebulan sekali. “Dalam satu populasi, pasti ada sidat yang slow, middle, dan fast growth. Harus ada perlakuan khusus bagi sidat yang slow growth,” katanya lebih lanjut. Jika yang tumbuh lambat ini diteruskan, akan membuang waktu, tempat, dan biaya.

Menanggapi belum populernya sidat di kalangan petani, Ridwan menyarankan agar budidaya sidat disegmentasi seperti halnya ikan mas. Dengan begitu, waktu yang diperlukan tidak terlalu lama dan biaya produksinya pun terjangkau. Untuk menyiasati pasar, ia menegaskan perlunya sosialisasi sidat di kalangan masyarakat seperti pada lele yang awalnya kurang disukai masyarakat Jawa Barat.

Kalau kebutuhan sidat masyarakat sudah sebanyak lele, pembudidayanya tentu akan meningkat. “Jika harga sidat di dalam negeri lebih rendah dari harga ekspor, pelaku usaha pasti akan mengarahkan orientasi pasarnya ke luar negeri,” tambah Ridwan.

 

Enny Purbani T.

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain