Ukuran buahnya besar, berdaging tebal, dan citrasanya yang manis membuat lengkeng pingpong lebih istimewa dibanding varietas lengkeng lainnya.
Inilah yang melatarbelakangi Prakoso Heryono mengembangkan lengkeng asal Thailand tersebut. Meski berlatar belakang ilmu hukum, pria kelahiran Yogyakarta 4 November 1958 ini tak surut langkah merintis usaha aneka jenis bibit tanaman buah unggul, termasuk lengkeng pingpong pada 2002. Keputusannya berbisnis bibit tanaman buah juga berangkat dari keprihatinannya terhadap maraknya buah impor yang masuk ke Indonesia.
Kembangkan Lengkeng
Sebagai langkah awal, Prakoso mendatangkan sejumlah bibit tanaman unggul mancanegara, yaitu lengkeng jenis diamond river, itoh, dan pingpong. Dipilihnya lengkeng pingpong sebagai unggulan bisnis bibit tanaman buahnya bukan tanpa pertimbangan. Sesuai namanya, ukuran lengkeng pingpong memang menggiurkan sehingga cocok dikebunkan secara komersial maupun ditanam sebagai penghias halaman.
“Satu kilo lengkeng pingpong rata-rata berisi 50 butir. Berbeda dengan lengkeng Temanggung, misalnya, isinya 70—150 butir per kilo,” ujar Prakoso. Tanaman lengkeng pingpong juga genjah, dalam waktu setahun dapat berbuah. Selain itu, tanaman ini bersifat adaptif. Ia bisa tumbuh di tanah berpasir, lempung, liat, sampai yang berbatu, dan mampu berbuah pada lahan berketinggian 0—400 meter di atas permukaan laut (dpl). Ini jelas berbeda dengan lengkeng Temanggung atau Batu yang hanya mau berbuah di dataran tinggi.
Awalnya banyak orang ragu akan produktivitas lengkeng dataran rendah tersebut. Karena itu Prakoso mengikuti berbagai pameran. “Dari ajang berbagai pameran akhirnya terungkap, banyak orang yang belum tahu tentang lengkeng pingpong yang dapat berbuah hingga tiga kali setahun,” ungkapnya kepada AGRINA di kebunnya yang berlokasi di Kabupaten Demak, Jateng.
Prakoso mengaku tidak menemui kendala dalam mengembangkan bibit lengkeng pingpong. Menurutnya, perbanyakan lengkeng pingpong bisa dikerjakan dengan banyak cara, seperti vegetatif, sambung pucuk, okulasi, dan cangkok. Akhirnya kini bibit lengkeng pingpong menyebar di tanah air, mulai Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali, sampai Nusatenggara Barat.
Berbuah di Tahun Ketiga
Menurut Prakso, lengkeng termasuk buah yang digemari konsumen walaupun harganya cukup mahal, Rp10.000—Rp20.000 per kg. Kelebihannya, lengkeng dapat dijual secara eceran sehingga terjangkau oleh masyarakat. “Kalau dijual seperempat kilo, harganya cuma lima ribu. Beda dengan buah lain, durian misalnya, belinya harus satu gelondong, jadi lebih mahal,” katanya.
Saat ini kebutuhan lengkeng nasional mencapai 21.000 ton, sekitar 70%--90% di antaranya masih diimpor dari Thailand dan China. “Di sinilah peluang lengkeng pingpong ini. Sayangnya, penanaman bibit lengkeng masih terbatas sehingga produksinya belum ada di pasaran. Padahal, banyak supermarket yang minta dipasok, Untuk Semarang saja, butuh 2—3 kuintal per minggu,” terang Prakoso lagi.
Masih menurut dia, jumlah untuk berkebun lengkeng bergantung luas lahan yang akan dikelola. Satu hektar membutuhkan 400 batang bibit lengkeng yang harga per batangnya Rp40 ribu atau sejumlah Rp16 juta. Biaya perawatan satu batang tanaman rata-rata Rp10.000 per tahun.
Tanaman mulai berbuah pada umur tiga tahun sebanyak 10—20 kg dan meningkat sampai 50 kg saat umurnya mencapai lima tahun. “Jika harga jualnya Rp10.000 per kg, penghasilan petani dari sebatang tanaman sekitar Rp1,5 juta karena lengkeng pingpong dapat berbuah tiga kali setahun,” ujar Prakoso. Apalagi pada umur 10 tahun, tanaman dapat menghasilkan hingga 100 kg per panen atau 300 kg per tahun. Tentu kocek petani makin tebal. Tertarik?
Agus Triyono (Kontributor Semarang)