Senin, 17 September 2007

Impor MDM Solusi atau Bencana?

MDM impor masih menjadi pertentangan. Namun kebijakan impor sudah keburu dikeluarkan.

Melalui Kepmentan Nomor 61 Tahun 2007, Deptan mengizinkan impor bubur daging ayam atau mechanically deboned meal/MDM. Kepmentan ini merupakan perubahan Peraturan Mentan No. 64/2006 junto Permentan No 27/2007 tentang Pemasukan dan Pengawasan Peredaran Karkas, Daging, dan Jeroan dari Luar Negeri.

Menurut Mathur Riady, Dirjen Peternakan, Deptan, dibukanya keran impor MDM ini untuk memenuhi kebutuhan industri pengolahan daging yang masih kekurangan suplai dari produsen MDM dalam negeri. Terbatasnya pasokan MDM lokal ini menyebabkan pelaku industri pengolahan yang tidak kebagian bahan baku terancam tidak beroperasi. “Hal ini memang dilematis, kita mengusung konsep utuh dalam menolak paha ayam/CLQ, padahal MDM merupakan bagian ayam yang tidak utuh,” ungkap Mathur.

Karena itu, kebijakan impor MDM ini tetap menjadi pertentangan berbagai kalangan pelaku perunggasan. Dikhawatirkan, kebijakan ini di satu sisi dapat memberikan solusi untuk bahan baku industri pengolahan, tapi di sisi lain malah berdampak buruk terhadap perkembangan industri perunggasan di dalam negeri.

Koordinator Forum Masyarakat Perunggasan Indonesia (FMPI) Don P. Utoyo, dan Sekjen Asosiasi Pengusaha Makanan Ternak (GPMT) Fenni Firman Gunadi menegaskan, kebijakan impor MDM hanya akan menghambat pertumbuhan industri perunggasan dan peternak lokal. Investor akan berpikir ulang bila mau menanamkan modal. Selain itu, apakah impor MDM ini memenuhi persyaratan ASUH, padahal syarat ini tercantum dalam kepmentan tersebut. Serta dengan masuknya MDM yang tidak utuh akan ada peluang penetrasi pasar masuknya paha dan sayap ayam asal Amerika.

Meningkat 5%—6%

Haniwar Syarif, Direktur Eksekutif National Meat Processors Association Indonesia (NAMPA), yang ditemui AGRINA menyatakan, kebijakan pemasukan impor MDM dapat memenuhi kebutuhan bubur daging yang setiap tahun terus meningkat, seiring meningkatnya minat konsumen terhadap produk daging olahan. Ia memperkirakan, pasar produk daging olahan tumbuh 5%—6% sehingga kebutuhkan MDM hingga akhir tahun ini mencapai 350 ton.

Haniwar menghitung, ada selisih 150—200 ton per tahun antara kebutuhan anggota NAMPA dengan pasokan dari dua produsen MDM besar dalam negeri yang hanya berkisar 150 ton per tahun. Kedua produsen itu, PT Japfa Santori Indonesia (JSI) dan PT Charoen Pokhand Indonesia (CPI). Di luar itu masih ada tiga perusahaan baru, di antaranya Wonokoyo Group.

Amey, pengelola MDM dari PT CPI mengatakan, pihaknya sudah mampu memproduksi rata-rata per bulan 50—60 ton dari kapasitas terpasang 100—120 ton/bulan. Bahkan akhir tahun lalu, dari Oktober—Desember, tersedia stok sekitar 130—140 ton, tapi tidak ada yang bersedia membelinya dengan alasan harga dan kualitas tidak cocok.

CPI akhirnya melepas stok MDM tersebut dengan harga murah antara Rp.7000—Rp.7500 per kg. Padahal ongkos produksi ketika itu mencapai Rp8.000 per kg. Jadi, seharusnya harga jual ketika itu Rp.9.000 per kg. Hal ini berbeda dengan harga sekarang yang sudah mencapai Rp11.000 per kg. Kenaikan ini terkait dengan tingginya harga daging ayam tanpa tulang yang tak kurang dari Rp18.000—Rp.20.000 per kg.

Lebih jauh Haniwar menjelaskan, jika dibandingkan dengan harga MDM impor, harga MBM lokal memang masih lebih mahal. Harga MDM impor sekarang hanya Rp8.000 per kg. Dengan bahan baku murah ini diharapkan biaya produksi dapat ditekan sehingga harga jual produk hasil olahan pun lebih terjangkau konsumen. Selanjutnya, produk olahan dalam negeri mampu bersaing dengan produk olahan impor.

Pada akhir wawancara dengan AGRINA (6/9), Mathur berharap, kebutuhan MDM yang sedikit ini seharusnya tidak perlu dipasok dari impor asalkan ada kompromi nyata antara produsen MDM lokal dan perusahaan pengolahan daging untuk saling bekerjasama.

Disarankan FMPI, semestinya pemerintah mampu mendorong peningkatan produksi bahan baku pangan dari dalam negeri dalam jumlah yang cukup, harga terjangkau, berkualitas, dan jaminan keamanan terjamin. Sementara, disisi lain industri pengolahan pangan perlu ditingkatkan lagi untuk menaikkan konsumsi protein asal hewan atau ayam.

 

Yan Suhendar

 

Dibutuhkan Sebagai Campuran

 

Menurut Haniwar Syarif, MDM adalah jenis daging tanpa tulang yang diperoleh dengan cara memisahkan daging ruminansia besar dan unggas yang tersisa dari tulang secara mekanis. Umumnya kerap disebut sisa daging pada tulang (tetelan).

Di Indonesia, lanjut Haniwar, MDM digunakan sebagai bahan baku makanan olahan, seperti sosis, nugget, burger, dan kornet. MDM yang mengandung protein sebanyak 12%—16% ini sangat dibutuhkan sebagai bahan campuran. Misalnya, untuk pembuatan nugget berkualitas amat baik, dibutuhkan sekitar 50% MDM dan 50% daging ayam. Begitu pun dalam pembuatan sosis, diperlukan maksimal 20% MDM dalam pengolahan agar mampu menghasilkan sosis kualitas terbaik.

Namun menurut sumber lain, MDM sebagai pencampur pengunaannya terbatas sehingga untuk menghasilkan kualitas nuggets yang baik, harus banyak menggunakan daging murni standar. Komposisi dalam nugget menggunakan daging 40—70% daging, dan MDM hanya digunakan maksimal 20 % dari proporsi daging tersebut.

“Dalam kondisi rakyat Indonesia yang daya beli rendah, produsen cenderung memproduksi produk dengan harga murah. Caranya dengan mencampur kelompok filler (pengisi) yang berakibat produk keluarannya berkadar protein rendah, tapi rasa dan kandungan gizinya cukup baik,” terang lulusan Institut Pertanian Bogor (IPB) ini.

Masih menurut Haniwar, produk olahan seperti sosis, burger, kornet di luar bumbu, umumnya terdiri dari campuran daging, lemak, dan filler atau binder (pengikat) yang bisa berupa tepung roti, tepung terigu, tepung tapioka, sari tepung kedelai, kentang, atau tepung telur. Penggantian sebagian lemak dan sebagian atau seluruh bahan pengisi dalam formula olahan akan meningkatkan  mutu, khususnya kadar protein, tanpa menaikkan biaya karena harga pengisi dan lemak tidak berbeda jauh dengan harga MDM yang Rp.8.000 per kg.

Selain itu, penggantian sebagian daging dengan MDM akan menurunkan biaya, tanpa mengurangi kadar protein karena kadar protein MDM masih cukup tinggi.

Digambarkan Haniwar, pencampuran antara daging ayam tanpa tulang yang berharga kira-kira Rp20.000 dan MDM seharga Rp8.000, bisa menghasilkan produk olahan berprotein cukup tinggi dengan harga antara Rp15.000—Rp20.000. Seandainya dibuat dalam porsi 35 gram per biji, dengan harga Rp17.000 per kg, maka harga di piring konsumen hanya Rp600 per biji.

“Perubahan formula dengan mengganti masing-masing sebagian dari tiga komponen itu akan menghasilkan produk olahan yang bukan hanya lebih murah tapi juga tetap berkualitas lebih tinggi,” tandas Haniwar.

 

Yan Suhendar

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain