Mewabahnya flu burung di wilayah negeri ini ternyata selalu disikapi dengan ketergesaan mengeluarkan aturan larangan lalu lintas unggas.
Menyikapi kasus flu burung pada manusia belum lama ini, Pemda Jembrana, Bali, mengeluarkan Peraturan Bupati (Perbup) No. 24/2007 tentang penutupan sementara pemasukan dan pengeluaran unggas (Aves) serta produksinya di Jembrana pada 16 Agustus 2007. Namun, setelah diterapkan selama satu minggu, aturan tersebut dikoreksi dengan Perbup No 26/2007 yang mengizinkan lalulintas anak ayam umur sehari (day old chick-DOC) dari pembibitan/hatchery lokal dan maupun luar Bali.
Menurut Don P. Utoyo, Ketua Forum Masyarakat Perunggasan Indonesia (FMPI), Perbup tersebut merupakan larangan Bupati Jembrana terhadap lalu lintas ternak, baik keluar dan masuknya DOC, unggas, telur, serta daging ayam. Hal itu, menurutnya, kekeliruan sangat mendasar yang mengakibatkan pedagang dan peternak terancam rugi besar dan kehilangan pekerjaan. “Pelarangan seperti ini tidak perlu karena peternak sudah melakukan biosekuriti,” tandas Don.
Perbup 26/2007 telah menggantikan Perbup 24/2007, tapi aturan terbaru ini pun masih menimbulkan masalah bagi peternak. Memang, lalu lintas DOC dari hatchery lokal dan Jatim memang sudah diperbolehkan, tapi lalu lintas ayam hidup yang sudah siap panen masih dilarang.
Ketua Paguyuban Peternak Ayam se-Bali (PPAB) Ketut Yahya Kurniadi, mengatakan, sejak kasus flu burung terjadi di Jembrana, peternak sektor 3 (peternak komersial, petelur dan pejantan) yang memelihara ayam broiler paling dirugikan. Padahal, penyebaran virus H5N1 di daerah tersebut paling dominan terjadi pada ayam dalam kategori sektor 4, yakni ayam yang dipelihara di belakang rumah. Sebab, ayam dari sektor ini paling jarang bahkan tidak pernah mendapatkan vaksinasi.
Rugi Rp7,5 miliar
Akibat aturan ini peternak tidak bisa menjual keluar hasil panennya sehingga konsumen tidak mendapatkan pasokan ayam dan telur. Berdasarkan laporan PPAB di lapangan, sekitar 500 ribu ekor ayam siap panen yang senilai Rp7,5 milyar tidak bisa keluar kandang. Bahkan ada 200 ribu ekor ayam yang telah lewat masa pemeliharaan. Satu periode pemeliharaan biasanya berlangsung selama 35—40 hari, tapi kini lebih dari 50 hari. Alhasil, bobot panen yang seharusnya 1,8—2 kg menjadi lebih dari 3 kg. Bila dihitung, untuk setiap satu hari lewat masa panen, peternak akan mengalami penambahan kerugian Rp400—Rp500/ekor.
Padahal, menurut Suryawan, peternak anggota PPAB, ayam-ayam yang tidak bisa keluar tersebut berasal dari farm di luar radius depopulasi (1 km). Seandainya pun dilarang memasukkan anak ayam untuk periode berikutnya, para peternak masih bersedia melakukannya.
Untuk itu, para peternak mengusulkan agar ayam tetap bisa dikeluarkan hidup dengan terlebih dulu menjalani pemeriksaan, penyemprotan disinfektan, dan pemiliknya melampirkan Surat Keterangan Kesehatan Hewan (SKKH) serta mendapat pengawalan. Namun, sampai berita ini diturunkan, usulan ini belum ditanggapi Pemda setempat. “Hal ini belum ada keputusan, apakah peternak di Jembrana masih diizinkan memasukkan anak ayam lagi atau tidak. Jika begini, siapa yang memikul kerugian peternak?” ucap Suryawan via telepon.
Saran Pemda
Suryawan menambahkan, Pemda memang menyarankan, memotong dan mengeluarkan ayam dalam bentuk karkas adalah hal yang baik. Namun, sayangnya di Jembrana tidak ada Tempat Pemotongan Ayam (TPA) dan Rumah Pemotongan Ayam (RPA) yang memadai. Jika pun ada, kapasitasnya masih skala rumahan, 200 ekor/hari dan tidak memiliki rantai dingin (cold chain).
Menanggapi hal itu, Gusti Sanjaya, Kepala Dinas Pertanian, Kehutanan dan Kelautan Kabupaten Jembrana menegaskan, penghentian aktivitas lalu lintas ternak yang berlangsung sifatnya hanya sementara. Hanya dilakukan selama sebulan disertai penyemprotan cairan disinfektan di kandang-kandang milik peternak.
Don menyesalkan, walaupun aturan ini bersifat sementara, seyogyanya dalam mengeluarkan aturan, Pemda Jembrana juga memperhatikan dampak sosial ekonomisnya bagi peternak. “Jangan sampai aturan itu akan merugikan para peternak. Untuk itu diharapkan kebijakan yang keliru ini dapat diluruskan kembali,” imbau mantan birokrat dari Ditjen Peternakan Deptan tersebut.
Yan Suhendar