Senin, 3 September 2007

TAJUK : Berpaling ke Kodrat Dunia

Sejarawan dan arkeolog telah memberitahukan kepada kita tentang budaya makan ikan yang sudah berlangsung ribuan tahun. Makan ikan, menangkap, dan mengawetkannya terbaca di naskah kuno, prasasti atau artefak masa-masa China, Yunani, dan Romawi kuno. Para penulis Alkitab juga menyampaikan kesaksian tentang ikan. Empat dari 12 murid Jesus adalah nelayan yang mengandalkan sumber penghidupannya dari menjala ikan di danau Galilea. Maka ikan Nila (tilapia) dari Sungai Jordan, Sungai Nil, dan Danau Galilea diberi nama Ikan Santo Petrus (Pete’s Fish).

Pada masa sekarang dan ke depan, ikan dan hasil laut lainnya menjadi pilihan, bahkan tuntutan, untuk bahan pangan umat manusia. Ini karena ketersediaan sumber protein dari daratan (hewan maupun tanaman) sudah makin tertinggal dari laju kenaikan jumlah penduduk. Juga karena lahan untuk pertanian dan peternakan makin berkurang dan yang masih tertinggal pun sudah menurun mutu tanahnya (soil degradation).

Hijrah ke sumberdaya di laut sebenarnya sudah kodrat dunia. Bumi yang kita huni adalah planet air karena 70% permukaannya ditutupi air dan di situ hidup lebih dua puluh ribu jenis mahluk air. Sumber makanan dari laut bisa memenuhi empat perlima  kebutuhan dunia akan protein hewani. 

Indonesia juga punya kodrat sebagai negeri air karena 70% wilayahnya lautan. Lautan kita kaya sampai pun yang terpendam di bawah lantainya. Di luar laut teritorial, kita pun masih punya hak eksklusif (ZEE) sampai 200 mil dari pantai.  Nyaris 360 derajat perbatasan kita adalah perairan, dalam pelukan dua samudera besar yang adalah open sea,  yang merupakan warisan bersama umat manusia. Apa yang kurang? Kita harus mensyukuri bahwa kita sebenarnya adalah bangsa yang paling diberkati Tuhan. Tapi sekaligus juga perlu merenungi mengapa banyak bangsa lain yang alam lautnya tidak sesempurna kita bisa lebih tinggi peruntungannya dari laut dan pesisir.

Fokus AGRINA kali ini adalah bandeng (Channos channos). Inilah ikan yang populer bagi bangsa-bangsa yang hidup di tepi Lautan Hindia dan Lautan Pasifik. Indonesia dan bangsa-bangsa di Asia Tenggara punya tradisi lama menangani ikan ini, baik segar mau pun diasin, diasap, dipindang. Kini sudah berkembang pula bandeng empuk tulang dan cabut tulang, atau dijadikan bakso, nugget, sosis. Kita pun sudah tahu membudidayakannya dengan cara ramah lingkungan (antara lain dengan silvofishery system). Karena bisa diolah menjadi banyak resep makanan dan dapat disimpan melalui berbagai bentuk pengawetan, bandeng sebenarnya memiliki prospek pasar yang sangat luas.

Peluang yang begitu besar itu mungkin perlu digugah melalui berbagai pendekatan budaya. Antara lain dengan pencitraan dan social marketing. Bandeng sudah menjadi benda sakral setiap hari raya Imlek. Bandeng menjadi simbol rezeki, dan buat masyarakat Betawi menjadi barang untuk  menunjukkan hormat menantu kepada mertua. Tapi kebiasaan Betawi itu kini sudah mulai luntur.

Mitos-mitos tentang bandeng harus terus dihidupkan, bahkan perlu ditambah (di luar sembahyang dan hormat mertua itu). Ikan nila di Jordan dan Galilea yang sekarang jelas bukan lagi ikan yang ditanam Jesus dan murid-muridnya. Tapi penziarah Kristen tetap saja berdoa khusuk setiap mau menyantap St.Peter’s Fish yang dipesannya di restoran sekitar tempat-tempat suci di Israel dan Jordania itu. Pete’s fish sudah menjadi nama dunia untuk ikan nila.      

Berpaling ke laut juga perlu digelorakan dengan gerakan budaya dan secara semesta. Contohnya India, yang mencanangkan marine culture dengan istilah revolusi. Blue Revolution ini adalah untuk menggenjot produksi perikanan (tangkap dan budidaya) demi mengisi nutrisi bangsa yang populasinya lebih satu miliar itu. Mereka sebelumnya sudah sukses dengan Revolusi Hijau (swasembada pangan) dan Revolusi Putih (susu).

Kalau diperhatikan, pekarangan luas sumber perikanan tangkap India cuma samudera Hindia. Sementara kita memiliki dua: samudera Hindia dan Pasifik. Ditambah pula perairan dalam/teritorial yang tertutup. Pantai kita (untuk budidaya) pun jauh lebih panjang. Jalannya demokrasi di India jauh lebih hiruk- pikuk, tapi siapa pun yang memerintah di sana, toh tetap fokus pada kesejahteraan rakyat banyak. Apa kabar strategi bahari kita?

 

Daud Sinjal

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain