Perda Pengendalian Pemeliharaan dan Peredaran Unggas No. 4 tahun 2007 di wilayah DKI Jakarta telah dikeluarkan April lalu. Bagaimana persiapan para pemangku kepentingan di lapangan?
Masih banyak pertanyaan yang harus dijawab pemerintah, baik kepada masyarakat umum maupun pelaku perunggasan. Saat ini peternak dan pedagang unggas masih belum melakukan langkah antisipasi apapun karena masih bingung dalam memahami isi perda tersebut.
Demikian menurut Heri Dermawan, peternak dan pedagang ayam dari Ciamis, Jabar pada Dialog Publik “Unggas Dilarang Masuk DKI, Konsekuensinya?” yang dilaksanakan di Hotel Santika, Jakarta, (9/8). Ditambahkannya, dalam Perda No.4, Bab IV, disebutkan pemerintah daerah bertanggung jawab atas pembinaan keterampilan teknis mengenai pengetahuan kesehatan kepada pemeliharaan dan penjual unggas. “Namun, kenyataannya sudah sampai mana pembinaan ini? Siapa berani menjamin apabila perda ini berlaku maka flu burung akan musnah?” tanya Heri yang juga Ketua Umum Persatuan Peternak Ayam Nasional (PPAN).
Anton J. Supit, Ketua Umum Gabungan Perusahaan Perunggasan Indonesia (GAPPI), menekankan pentingnya pentahapan relokasi yang akan dilakukan pemerintah untuk segera disosialisasikan. Relokasi juga perlu ditunjang dengan fasilitas dari pemerintah sehingga ada infrastruktur yang memadai dan insentif untuk membangun Rumah Potong Ayam (RPA) baru. “Jika dilakukan secara bijak dengan persiapan yang matang, akan menghindari dampak sosial ekonomi yang besar,” jelasnya.
Untuk itu, perlu ada kebijakan teknis lainnya yang mendukung pelaksanaan perda ini sehingga lokalisasi peternakan atau perkandangan, tata ulang pasar dan pemeliharaan unggas, penataan tempat penjualan daging dapat dilakukan. Dibutuhkan pula petugas pelaksana dan pengawasan RPA yang terlatih.
Target Relokasi
Berdasarkan data Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan, Pemprov DKI Jakarta, kebutuhan ayam di DKI mencapai 600.000 ekor per hari. Sebagian besar pasokan berasal dari 219 tempat penampungan dengan kapasitas 425.000 ekor dan 1.153 tempat pemotongan yang kapasitasnya 402.000 ekor.
Berlandaskan Perda No.4/2007, tempat penampungan ayam (TPnA) dan tempat pemotongan ayam (TPA) itu harus direlokasi ke satu tempat. Menurut Edy Setiarto, Kepala Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan DKI Jakarta, ada dua tahapan pemindahan lokasi TPnA dan TPA yang akan dilakukan pemda.
Tahap pertama, pemindahan TPnA dan TPA yang terdapat di 20 kecamatan, yaitu Johar Baru, Cempaka Putih, Kemayoran, Senen, Sawah Besar, Matraman, Pulogadung, Jatinegara, Duren Sawit, Pademangan, Tanjung Priok, Tambora, Taman Sari, Grogol Petamburan, Palmerah, Kebayoran Lama, Setiabudi, Tebet, Pancoran, dan Mampang Prapatan. “Pemindahan tahap pertama ditargetkan terlaksana paling lambat 18 bulan sejak diundangkan peraturan ini,” ungkap Edy.
Sementara tahap kedua harus dapat dilaksanakan paling lambat Mei 2010. Pada tahap kedua ini meliputi TpnA dan TPA di 19 kecamatan, yaitu Cakung, Makasar, Cipayung, Ciracas, Kramatjati, Pasar Rebo, Cilincing, Koja, Penjaringan, Kelapa Gading, Pesanggrahan, Jagakarsa, Cilandak, Kebayoran Baru, Pasarminggu, Cengkareng, Kembangan, Kalideres, dan Kebun Jeruk.
Tiru Thailand
Edy menambahkan, rangkaian tahapan tersebut terkait dengan program restrukturisasi perunggasan yang meliputi penyusunan kebijakan, sosialisasi, penyiapan lokasi penampungan dan pemotongan unggas, koordinasi dengan wilayah luar DKI Jakarta, pelaksanaan relokasi penampungan dan pemotongan, serta pengawasan dan penertiban.
Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec, pakar agribisnis perunggasan dari MB-IPB mengatakan perlunya disusun master plan dan action plan dari Perda No.4/2007 dengan tahapan dan waktu perencanaan jangka pendek, menengah, dan jangka panjang. Ke depannya, kebijakan penentuan lokasi, baik untuk budidaya, RPA dan TPA maupun pasar harus mempertimbangkan berbagai aspek ekonomi, sosial, kesehatan masyarakat, budaya dan lingkungan.
Sementara itu, Dr. Tri Satya Putri NH, pakar penyakit hewan dari CIVAS menegaskan penataan pasar unggas dan saluran distribusi produk perunggasan harus dilakukan. Pasalnya, praktik berisiko tinggi terhadap avian influenza (AI) banyak terjadi di negara berkembang. Misalnya, budaya lebih suka mengonsumsi daging ayam segar dengan higiene buruk, pembersihan, disinfeksi yang terbatas pula. Tempat penanganannya pun berventilasi buruk. “Bila perlu kita mencontoh di Thailand yang sudah membangun sistem pengendalian dari peternakan ke pasar,” ungkap Tata, sapaan akrabnya.
Berdasarkan hasil diskusi, peserta setuju dengan penataan ulang ini. Hanya saja perlu ada pilot project terlebih dahulu. Batas waktu untuk pemindahan TPnA, khusus di Jakarta Pusat, yang dijadwalkan 6 bulan setelah perda diberlakukan, yakni 19 Oktober 2007 mendatang juga penting dipertimbangkan kembali. Hal ini mengingat batas waktu tersebut merupakan masa puncak penjualan ayam terkait dengan hari raya. Pembangunan TPA dan TpnA yang baru pun harus dipersiapkan dengan matang, memenuhi persyaratan dan sesuai Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) sehingga berjangka panjang.
Yan Suhendar