Apa yang Anda bayangkan dari sebuah pulau yang bernama Nusa Lembongan di Provinsi Bali?
Tidak seperti wilayah lain di Bali, pulau mungil seluas tak lebih dari 8 km2 ini memang diidentikkan dengan wilayah yang kering dan gersang. Maklum, pulau berpenduduk sekitar delapan ribu jiwa ini tergolong wilayah bercurah hujan rendah.
Pariwisata cukup menggeliat di daerah ini. Namun di sisi lain sektor pertanian kurang berkembang sehingga kehidupan petani di wilayah ini cukup memprihatinkan. Kondisi ekonomi petani di Desa Jungut Batu dan Desa Lembongan mulai terangkat sejak rumput laut mulai diusahakan pada 1980.
Rp800 ribu—Rp1 Juta per Bulan
Meskipun belum bisa dikatakan sejahtera, para petani di wilayah tersebut cukup bersyukur dengan hadirnya rumput laut di pulau yang berjarak sekitar 12 km dari pantai Sanur, Bali. Sebut saja, I Wayan Yustika, petani rumput laut dari Desa Jungut Batu yang sudah belasan tahun mengandalkan rumput laut.
Pembudidaya rumput laut di Nusa Lembongan umumnya berprofesi sebagai Nelayan
Menurut pengakuan Yustika, dalam sebulan ia bisa mendapatkan Rp800 ribu—Rp1 juta dari seribu ris (1 ris = 5 m) rumput laut miliknya. “Sangat lumayan, apalagi jika sedang tidak bisa ke laut karena ombak besar,” ujarnya. Seperti sebagian petani rumput laut lainnya, Yustika juga berprofesi sebagai nelayan.
Di tingkat petani, rumput laut kering jenis Eucheuma cottonii dihargai Rp3.600 per kg, sedangkan jenis Eucheuma spinosum lebih murah, yaitu Rp 1.600 per kg. Sejumlah pengumpul rumput laut dan sebuah koperasi rumput laut selalu siap menampung rumput laut produksi petani.
Sebagian petani rumput laut di pulau tersebut tergabung dalam tiga Kelompok Tani (KT), yaitu KT Mekar Jaya, KT Medal Jaya, dan KT Samudera Jaya yang beranggotakan sekitar 150 orang. Rata-rata petani memiliki 1.000 ris rumput laut yang dibudidayakan dengan metode patok.
Jika seorang petani rata-rata menghasilkan 300 kg rumput laut kering per bulan, maka ketiga kelompok tani tersebut memproduksi 45 ton rumput laut kering per bulan. Sedangkan nilai uang yang beredar sekitar Rp115 juta per bulan.
Di beberapa tempat, rumput laut memang jadi andalan masyarakat pesisir untuk keluar dari kemiskinan. Setelah Jungut Batu, pada 1998 penduduk Desa Buwun Mas, Kec. Sekotong, Kab. Lombok Timur, NTB, pun terbantu secara ekonomi oleh kehadiran rumput laut. Dengan mengelola sekitar 200 ris rumput laut, petani rumput laut di wilayah tersebut rata-rata mendapat Rp300 ribu per bulan.
Kebutuhan Meningkat
Indonesia memiliki 1.110.900 hektar wilayah pesisir. Sekitar 220.000 hektar di antaranya sudah dimanfaatkan untuk budidaya rumput laut. Realisasi produksi rata-rata rumput laut sampai 2003 jenis Eucheuma sp. 26.000 ton dan Glacillaria sp. sekitar 16.000 ton. Dalam kurun waktu tersebut, Provinsi Bali menyumbang 88.504 ton rumput kering.
Selain di Bali, Eucheuma sp. banyak dikembangkan di Aceh, Banten, Kepulauan Seribu (DKI Jakarta), Jatim, Sulsel, dan Maluku. Sedangkan Glacillaria sp. banyak diusahakan di Sulsel dan Sultra, Nusa Tenggara, Jawa, Sumsel, Sumut, Aceh, dan Kalbar.
Produk rumput laut asal Indonesia telah merambah pasar global, antara lain Jepang, Hongkong, Spanyol, Denmark, Amerika, dan Perancis dengan volume 50.118 ribu ton dan nilai US$ 24.322.445 pada 2004. Pada tahun yang sama, Indonesia juga telah mengekspor rumput laut dalam bentuk tepung agar sebesar 3.560 ribu ton senilai US$ 6.270.376.
Kebutuhan rumput laut dunia diperkirakan terus meningkat. Menurut kajian BPPT, pada 2007 kebutuhan rumput laut jenis Glacillaria sp. sebesar 87.040 ton dan pada 2008 meningkat menjadi 95.840 ton. Prediksi kebutuhan rumput laut dunia jenis Eucheuma sp. dalam bentuk karaginan (refined dan semi refined carrageenan) pada 2007 sebesar 61.160 ton dan menjadi 69.265 ton tahun berikutnya.
Enny Purbani T.