Senin, 20 Agustus 2007

Bisnis Gurami di Balik Puing Gempa

Usaha pendederan gurami ternyata sangat menguntungkan. Dalam tiga puluh hari, keuntungan yang bisa diraih dua hingga tiga kali lipat dari biaya produksi.

Berdasarkan pengalaman Heru Suparno, pendeder gurami di Kampung Combongan, Desa Jampidan, Kec. Banguntapan, Kab. Bantul, Yogyakarta, biaya produksi 200 ribu ekor benih gurami sekitar Rp4,5 juta. Dengan rata-rata tingkat kelangsungan hidup 90% dan harga benih umur satu bulan Rp100 per ekor, pendapatan yang diperoleh Heru mencapai Rp18 juta per panen.

Pada musim penghujan, tingkat kelulusan hidup benih dederan sekretaris kelompok pembudidaya ikan Mino Raharjo ini bisa di atas 90%. “Jadi, dengan kelulusan hidup 80%, minimal untungnya itu 200%,” ujar pembudidaya yang memulai usahanya sejak 1997 tersebut.

 

Sedia Aneka Ukuran

Hal itu membuat Heru tetap bersemangat untuk memperbesar usaha pendederan, meskipun rumahnya yang hancur akibat gempa 27 Mei setahun silam baru terbangun separuh. Akibat gempa, bibit guraminya habis dan ia harus memulai usaha dari nol. Saat ini kapasitas produksinya baru mencapai 200 ribu ekor/bulan.

Alumnus Fakultas Geografi UGM itu mengambil telur atau benih berumur tiga hari dari Purwokerto, Jateng, kemudian membesarkannya di dalam bak plastik dan kolam semen. Ia sengaja memilih lama pendederan satu bulan dari telur karena pertumbuhan benih relatif cepat, kelulusan hidupnya tinggi, dan bebas dari predator. “Kalau di kolam tanah banyak predator, padahal benih masih lemah,” terangnya.

 

Namun, selain benih umur satu bulan, Heru juga menyediakan benih umur dua bulan (seukuran jempol), benih umur tiga bulan (seukuran korek gas), dan benih ukuran empat bulan (ukuran silet). Masing-masing ukuran benih dijual dengan harga Rp200—Rp225, Rp300, dan Rp500 per ekor.

Soal pemasaran, Heru tidak mengalami kesulitan. Bahkan ia mengaku sering kekurangan stok sehingga konsumen mau membeli benih gurami yang masih berumur tiga minggu. Konsumennya tidak hanya datang dari Yogyakarta, tetapi juga dari Klaten, Magelang, Solo, Ngawi, Banjarnegara (Jateng), dan Madiun (Jatim).

 

Pilih Cacing Segar

Agar benih dapat mencapai umur panen, Heru rajin mengontrol kualitas air dan pakan di bak pendederan, yaitu pada pukul 12.00, 18.00, 23.00, dan 05.00. “Benih sangat rentan terhadap perubahan kualitas air,” jelasnya. Dengan pengamatan yang sering,  perubahan tingkah laku ikan akibat kekurangan oksigen, serangan jamur, atau stres dapat segera terdeteksi.

Jika hal itu terjadi, benih segera dipindahkan ke bak lain. Untuk mempertahankan kualitas, ia memindahkan benih ke bak lain seminggu sekali. Air yang akan digunakan pada bak baru harus didiamkan minimal sehari semalam agar suhunya sama dengan suhu air di bak sebelumnya. “Kalau dengan air baru, ikannya bisa klenger dan mati,” ujar Heru lagi.

Kontrol pakan dilakukan dengan mengamati ada tidaknya sisa pakan. Sisa cacing segera dibersihkan agar tidak menjadi racun di bak. Untuk menghindari polusi, Heru lebih suka memberikan cacing hidup ketimbang pakan pabrikan. Apalagi pendederan dilakukan di kolam bak semen yang berpori-pori untuk menyerap sisa pakan sebagaimana kolam tanah.

Pertumbuhan ikan dengan pakan cacing segar lebih baik daripada yang menggunakan pakan komersial. Menurut Heru, bila benih umur sebulan terus menerus dijatah pakan cacing segar, dalam waktu dua bulan sudah mencapai ukuran jempol. Sebaliknya, kalau menggunakan pakan pellet komersial, ukuran jempol baru dicapai dalam waktu 2,5—3 bulan. “Memang harganya lebih mahal, tetapi panennya lebih cepat dan lebih besar sehingga tetap lebih menguntungkan,” tandasnya.

Faiz Faza (Yogyakarta)

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain