Perkebunan rakyat lebih menarik dikembangkan dengan pola kemitraan.
Masyarakat petani yang bermodal cekak, tetap mempunyai akses untuk menggeluti bisnis kelapa sawit. Sejak dicanangkannya perkebunan rakyat melalui pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR) awal 1980-an, industri kelapa sawit di
Kalau pada 1980 luas lahannya baru sekitar 290 ribu hektar, kini sudah mencapai sekitar enam juta hektar: perkebunan rakyat 43%, pemerintah 12%, dan perusahaan besar swasta 45%. Tidak kurang sekitar tiga juta kepala keluarga petani terlibat di dalamnya.
Begitu juga dengan produksi CPO (crude palm oil)-nya alias minyak sawit mentah, meningkat dari 721 ribu ton menjadi sekitar 16 juta ton/tahun. Devisa yang berhasil diraup dari ekspor CPO saja melambung dari US$255 juta menjadi US$4,8 miliar/tahun.
Kebijakan untuk Kebun Rakyat
Keberhasilan tersebut menjadi pijakan bagi pemerintah dalam mengembangkan industri kelapa sawit dengan memberikan akses bagi pengembangan perkebunan rakyat. Dalam pelepasan lahan misalnya, untuk perkebunan rakyat mendapat Sertifikat Hak Milik (SHM), sedangkan bagi perusahaan swasta besar dengan status Hak Guna Usaha (HGU).
“Kebijakan pengembangan perkebunan rakyat kelapa sawit melalui pola kemitraan semacam pola PIR akan terus dilanjutkan,’’ tulis Mukti Sardjono, Direktur Budidaya Tanaman Tahunan, Ditjen Perkebunan Deptan, dalam makalahnya pada seminar teknologi kelapa sawit yang dilaksanakan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) di Jakarta, 18 Juli lalu.
Untuk pengembangan perkebunan rakyat, pemerintah memberikan fasilitas Kredit Pengembangan Energi Nabati – Revitalisasi Perkebunan (KPEN-RP). Dengan fasilitas ini, perbankan hanya membebani petani dengan bunga 10% per tahun selama kebun dalam pembangunan dan tanaman belum menghasilkan. Selisih bunga komersialnya akan menjadi beban pemerintah.
Menurut Budi Gunadi Sadikin, Direktur Micro & Retail Banking Bank Mandiri, dalam makalahnya, dengan luas lahan kebun per petani minimal dua hektar, pendapatan petani pada saat kredit lunas mencapai sekitar Rp4 juta/bulan. Di sini, diasumsikan, suami-istri bekerja di kebun dengan upah minimum provinsi Rp840 ribu/tenaga kerja/bulan, rata-rata produksi tandan buah segar (TBS) 20 ton/ha/tahun, dan harga jual TBS Rp950/kg.
Dari tabel (Pendapatan Petani/Bulan/Luas Lahan) terlihat, tanaman kelapa sawit mulai menghasilkan pada tahun ke-4. Dan kredit lunas tahun ke-12. Jika umur ekonomis kelapa sawit 25 tahun, mulai tahun ke-13 sampai penanaman kembali, petani tinggal menikmati hasilnya.
Semestinya, pada saat harga CPO dunia meningkat belakangan ini, petani kelapa sawit kian menikmati harga TBS yang tinggi. Bayangkan, kalau pada 2006 rata-rata harga CPO di pasar dunia sekitar US$486/ton, maka pada awal Juni 2007, harganya sudah mencapai sekitar US$800/ton. Ini tentunya akan mempengaruhi harga jual TBS.
Petani sawit, menurut sumber AGRINA, sempat menikmati harga jual TBS-nya Rp1.100/kg. Tapi rupanya, ini tidak bisa berlangsung lama. Harga TBS menjadi melorot sampai Rp 900/kg. Mengapa? Sebab, Menteri Keuangan menelurkan kebijakan dengan menaikkan Pajak Ekspor (PE). Untuk CPO, misalnya, PE-nya dinaikkan menjadi 6,5%.
Kebijakan itu dimaksudkan untuk melindungi konsumen minyak goreng berbahan
Namun kebijakan pemerintah “melindungi” industri hilir CPO (antara lain minyak goreng) tersebut justru membebani ketangguhan industri hulu (produsen TBS). “Dampaknya sangat luas, yang salah satu di antaranya menekan harga TBS tingkat petani,’’ tulis Mukti Sardjono.
Syatrya Utama
PENDAPATAN PETANI/BULAN/LUAS LAHAN (Juta Rupiah)
Umur |
LUAS LAHAN |
Tanaman |
2 ha |
3ha |
4 |
1,57 |
2,35 |
5 |
1,59 |
2,39 |
6 |
1,99 |
2,99 |
7 |
2,27 |
3,40 |
8 |
2,72 |
4,08 |
9 |
2,85 |
4,28 |
10 |
3,02 |
4,53 |
11 |
3,03 |
4,56 |
12 |
3,06 |
4,59 |
13 |
4,62 |
6,93 |
14 |
4,70 |
7,06 |
15 dst |
4,54 |
6,82 |
Sumber : Makalah Budi Gunadi Sadikin, Direktur Micro & Retail Banking Bank Mandiri, 18 Juli 2007.