“Bila dipilah konsep pembangunan pertanian dalam menjaga ketahanan pangan Indonesia dan kesejahteraan petani, maka ketahanan pangan adalah makronya serta pembangunan pertanian dan kesejahteraan petani adalah mikronya,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000—2004, saat diwawancarai AGRINA. Apa sebenarnya pengertian ketahanan pangan? Ketahanan pangan adalah ketersediaan dan konsumsi pangan yang bertumbuh secara berkelanjutan dan terjangkau harganya oleh masyarakat. Ketahanan pangan itu bisa pada level nasional, regional, lokal, dan keluarga. Hanya dengan ketahanan pangan yang bertumbuh secara berkelanjutan dan berkeadilan yang dapat memberikan kesejahteraan kepada petani dan penduduk Indonesia. Dalam pengertian ketahanan pangan seperti itu, pembangunan pertanian adalah sisi penawarannya. Jika bisa menyediakan pangan melalui pembangunan pertanian, satu sisi dari ketahanan pangan itu sudah terisi. Kendati pun produksi meningkat tetapi jika tidak ada kemampuan dari konsumen untuk membeli pangan itu, maka ketahanan pangan itu masih rapuh. Aspek permintaan erat kaitannya dengan aspek pendapatan masyarakat. Pendapatan masyarakat datang dari segi pertanian dan nonpertanian. Hanya dengan peningkatan pendapatan rakyat secara terus menerus, peningkatan produksi pertanian itu bisa menjadi suatu ketahanan pangan. Agar ketahanan pangan kita kuat, pembangunan pertanian dan kesejahteraan petani meningkat, maka sektor industri dan jasa harus berkembang dengan baik. Dengan demikian, ada pasar untuk produk pertanian, sebagian dari tenaga kerja di pertanian bisa pindah dari pertanian, serta sumberdaya yang tersedia buat petani menjadi lebih banyak sehingga kesejahteraannya bisa meningkat. Bagaimana dengan konsep pembangunan pertaniannya sendiri? Pembangunan pertanian kita sekarang sudah banyak berubah dari sebelumnya, tapi paradigma mengenai pertanian tidak banyak berubah. Inilah sumber hambatan utama untuk kemajuan pertanian kita yang dapat meningkatkan kesejahteraan petani dan ketahanan pangan. Pertanian masih banyak dipandang sebagai way of life. Jadi, karena neneknya dulu mengupayakan padi, dia hanya tahu tanam padi, dan karena nenek saya seperti itu maka saya juga harus seperti itu. Agar pertanian bisa maju, paradigma kita terhadap pertanian harus berubah menjadi pertanian sebagai bisnis. Contohnya, bila ada seseorang memelihara kambing yang tujuannya untuk dijual ke pasar dan memperoleh keuntungan berarti dia sudah berbisnis. Sebagai pebisnis dia memilih memelihara kambing karena laku dijual tapi bila kambing tidak laku, dia akan memelihara ternak yang lain, seperti domba atau ayam. Jika dulu pertanian bisa dilihat sebagai salah satu sektor karena industri hulu dan hilirnya belum menjadi penting bagi pertanian. Tidak demikian lagi halnya saat ini, pendekatan sektoral tidak cocok lagi untuk pembangunan pertanian. Pertanian harus dilihat secara bersama-sama dengan sektor hilir, hulu, dan jasa penunjangnya. Jadi pendekatan sektoral harus dirubah menjadi pendekatan intersektoral. Itulah paragdigma baru yang dibutuhkan. Jika dulu semuanya sentralistis, sehingga membanguan pertanian itu direncanakan dan dilaksanakan dari Pasarminggu, Jakarta (Deptan). Mana bisa membangun pertanian dari Pasarminggu? Pembangunan pertanian harus dari Wamena, Tarutung, Sidempuan, Garut, dan tempat lain, artinya membangun dari bawah. Desentralisasi sangat sesuai dengan pembangunan pertanian. Jadi, desentralisasi juga merupakan paradigma baru untuk pembangunan pertanian. Peranan pemerintah daerah menjadi lebih penting. Kini kita tidak hanya membangun pertanian saja tapi juga membangun mulai dari hulu, usaha tani, hilir, dan jasa penunjangnya. Kita membangun keseluruhan sistem dan usaha agribisnis. Jadi, bila pemerintah mengatakan ingin merevitalisasi pertanian, hal itu sudah tidak cukup lagi. Kita harus merevitalisasi sistem dan usaha agribisnis. Jadi revitalisasi sistem dan usaha agribisnis tidak semata-mata tanggung jawab menteri pertanian tetapi juga tanggung jawab menteri-Menteri terkait dan terutama semua pelaku agribisnis. Jika itu paradigmanya, apa kebijakannya? Kebijakan yang dibutuhkan sistem dan usaha agribisnis kita adalah kebijakan proteksi sekaligus promosi. Proteksi artinya melindungi petani kita dari praktik perdagangan internasional yang tidak adil. Dan promosi adalah meningkatkan produktivitas dan daya saing dari usaha tani kita. Proteksi dan promosi ini digabungkan bersama-sama sebab tidak mungkin kita melakukan promosi dengan meningkatkan produktivitas dan daya saing apabila tidak ada proteksi. Misalnya, kita tingkatkan produktivitas supaya produksi dalam negeri meningkat. Kemudian karena perdagangan internasional yang tidak adil, maka impor masuk. Produksi dalam negeri meningkat, dan impor masuk sehingga harga turun, sehingga merugikan petani dan membuatnya tidak mau lagi berproduksi. Dalam keadaan yang seperti itu, volume impor makin lama makin besar, dan petani makin lama makin miskin. Oleh karena itu peningkatan produktivitas dan daya saing harus dibarengi proteksi bagi para petani itu dari komoditas impor. Untung Jaya