“Revitalisasi Pertanian merupakan program Pemerintah SBY – JK, maka program ini paling sedikit berjalan untuk periode 2005—2010. Hasil akhirnya baru dapat dilihat pada akhir tahun kelima, namun pada akhir tahun kedua ini kita sudah bisa mulai mengevaluasinya,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000 – 2004, saat diwawancarai AGRINA.
Sebelumnya pada AGRINA Vol. 2 No. 29, 31 Mei 2006, kita pernah membahas tentang “Revitalisasi Pertanian, Mana Gaungmu? Kini Revitalisasi Pertanian (RP) sudah berjalan dua tahun, bagaimana Profesor mengevaluasinya?
Yang perlu kita evaluasi adalah input, proses, dan output RP. Input, salah satu yang menonjol dengan adanya RP ini adalah bujet untuk pembangunan pertanian yang meningkat sangat signifikan. Jika pada 2004 bujet untuk pembangunan pertanian khususnya di Deptan sedikit kurang dari Rp3 triliun/tahun, pada 2007 ini sebanyak Rp8,2 triliun. Itu berarti meningkat hampir tiga kali lipat, suatu peningkatan luar biasa besarnya pada waktu yang relatif singkat.
Lalu proses, tampaknya RP itu lebih dominan obsesi pemerintah. Sementara para stakeholder yang lain lebih banyak sebagai pengekor. Dalam perjalanan ke daerah-daerah, saya mendapat informasi dari pemerintah daerah, organisasi petani, dan pengusaha-pengusaha lokal, bahwa mereka masih belum mengerti tentang RP dan belum tahu apa yang harus mereka lakukan. Tampaknya pemerintah pusat sibuk sendiri dengan bujet yang menggelembung demikian besar.
Bagaimana evaluasi outputnya?
Terkait input dan proses, kita sudah mulai dapat melihat output-nya. Jika dilihat produksi komoditas pangan strategis seperti padi/beras, jagung, gula, dan kedelai pada dua tahun terakhir ini prestasinya tidaklah sespektakuler peningkatan input-nya. Produksi padi pada 2007 menurut ramalan BPS akan lebih rendah daripada 2004. Sementara akhir 2006 lalu ada tekad pemerintah untuk meningkatkan produksi beras sebanyak 2 juta ton sehingga diharapkan Indonesia swasembada beras pada 2007. Tapi belakangan Wapres di Balitpa Sukamandi mengatakan swasembada baru akan dicapai pada 2008. Berarti target peningkatan produksi beras 2 juta ton 2007 sudah ditinggalkan.
Produksi jagung dalam negeri khususnya untuk pakan ternak tidak meningkat secara signifikan. Akibatnya, impor jagung 2006—2007 meningkat secara nyata. Demikian juga produksi tebu yang sejak 2000—2004 telah menunjukkan peningkatan yang signifikan, tapi dua tahun terakhir ini peningkatannya tidak sepadan dengan bujet yang lebih besar dari pemerintah. Cita-cita swasembada gula 2007 kelihatannya sudah sirna. Hal yang sama juga dialami kedelai, hampir tidak ada peningkatan yang signifikan selama dua tahun terakhir, malahan impornya semakin membengkak.
Memang ada produksi pertanian yang meningkat seperti kelapa sawit, karet, dan kakao, tapi hasil itu tidak kuat hubungannya dengan program RP. Peningkatan itu merupakan momentum dari usaha yang telah dilakukan pada waktu sebelumnya.
Dari informasi ini kita lihat output dari program RP belum cukup menggembirakan malah mencemaskan. Bahkan adanya prestasi di pertanian bukan karena RP tapi stagnasi yang banyak terjadi di pertanian lantaran RP belum jalan. Jadi secara keseluruhan, RP sampai akhir tahun kedua ini belum menjadi faktor penggerak untuk kemajuan sektor pertanian, bahkan pada sektor perikanan dan kelautan gaung revitalisasi belum terasa.
Kenapa begitu hasilnya?
Harusnya pekerjaan pemerintah untuk mempelajari, kenapa dengan input yang begitu besar output-nya belum seperti yang diharapkan? Barangkali masih butuh waktu agar input yang begitu besar itu berubah menjadi output yang lebih besar. Memang pekerjaan besar butuh waktu untuk mengubah input melalui proses menjadi output.
Apa yang perlu dilakukan?
Agar RP memberikan output dalam bentuk produksi yang lebih tinggi dan berdampak pada pendapatan petani yang lebih tinggi pula, maka inisiatif RP harus datang dari stakeholder, bukan dari pemerintah. Mereka itu adalah para petani dan organisasinya, dunia usaha skala kecil, menengah, dan besar, serta lembaga swadaya masyarakat. Mereka harus menjadi inisiator dan pemilik RP serta ikut membiayainya.
Sementara pemerintah dengan bujet yang lebih besar bertindak sebagai fasilitator dan promotor bagi stakeholder yang kurang mampu. Bujet pemerintah yang semakin besar hendaknya digunakan untuk menyiapkan dan memperlancar tersedianya infrastruktur dan kelembagaan yang melayani petani dan organisasinya.
Banyak hal-hal kecil yang dapat dilakukan tanpa proyek besar tapi mampu meningkatkan produktivitas. Misalnya untuk padi, hal-hal kecil yang dapat dilakukan adalah menyediakan dan memperlancar distribusi kredit, perbaikan sistem diistribusi pupuk, penggunaan pupuk berimbang, penggunaan benih berlabel, perbaikan irigasi, dan mobilisasi pengendalian hama penyakit, serta perbaikan pascapanen. Kelihatannya malah pemerintah memberikan penekanan berlebihan pada benih bersubsidi, apalagi pada benih padi hibrida.
Di samping itu, pertanian kita perlu diproteksi dari perdagangan internasional hasil-hasil pertanian yang tidak adil. Proteksi dapat dilakukan melalui tarif dan larangan impor, khususnya saat panen raya.
Bahkan, revitalisasi tidak hanya di tingkat usaha tani (on farm) tetapi tidak kalah pentingnya di luar usaha tani (off farm). Jadi tidak hanya RP tetapi dibutuhkan revitalisasi sistem dan usaha agribisnis.
Untung Jaya