“Beberapa bulan terakhir ini harga minyak goreng dalam negeri meningkat sampai sekitar 30%. Kenaikan itu masih jauh lebih kecil dari kenaikan harga BBM pada 2005 dan beras dari 2004—2006. Tapi entah kenapa hal itu menjadi isu yang hangat diperdebatkan dan dianggap keadaan yang luar biasa,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian Periode 2000—2004, saat diwawancarai AGRINA.
Sebenarnya kenapa harga minyak goreng naik?
Itu sebagai akibat naiknya harga minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO), baik di dalam negeri maupun pasar internasional. Memang selalu ada siklus harga CPO. Sampai batas-batas waktu tertentu harganya rendah kemudian naik tinggi seperti sekarang ini, menjadi lebih dari US$750/ton. Dan nanti akan turun kembali.
Naiknya harga CPO tentu membuat biaya produksi minyak goreng naik sehingga harga minyak goreng juga naik. Itu adalah bisnis biasa. Yang saya heran, mengapa bisnis biasa diatur dengan cara luar biasa?
Sebab lain, karena di benua Amerika dan Eropa, petani menanam jagung lebih luas untuk biofuel sehingga mengurangi penanaman kedelai. Karena itu suplai kedelai untuk minyak goreng menurun.
Apa stabilisasi harga itu perlu dan menjadi tugas serta tanggung jawab siapa?
Jika pemerintah merasa perlu stabilisasi harga minyak goreng diterapkan, seharusnya bukan menjadi tugas dan tanggung jawab petani kelapa sawit serta pabrikan minyak goreng. Ingat, sepertiga dari areal sawit kita dimiliki petani kecil. Karena itu pemerintahlah yang seharusnya melakukannya melalui kebijakan tataniaga dan pembiayaan oleh pemerintah juga. Pemerintah membeli minyak goreng dari pabrikan dengan harga tinggi dan menyalurkannya kepada konsumen yang membutuhkan dengan harga lebih rendah, seperti model raskin. Selisih harga itu dibiayai dari APBN sehingga mudah untuk mengevaluasinya.
Yang mengherankan, dunia usaha setuju untuk melakukan stabilisasi harga itu. Yang berarti mengambil alih tugas dan peranan pemerintah. Mungkin mereka mau punya image yang baik. Sekalipun demikian, sudah terjadi kekacauan mengenai pemilahan tugas dan tanggung jawab antara pemerintah dan dunia usaha.
Bila itu realitanya, lantas bagaimana akibat dari pengaturan itu?
Sebelum melihat akibatnya, kita analisis dulu apakah benar kenaikan harga minyak goreng akan merugikan perekonomian kita? Bahkan penurunan harga itu tidak banyak membantu konsumen dan efek kenaikannya pun terhadap inflasi kecil sekali. Sebab minyak goreng dalam komposisi konsumsi masyarakat kecil sekali, tidak seperti beras. Dan jika harga minyak goreng kelapa sawit naik, maka konsumen akan mencari minyak goreng yang lain.
Lebih jauh kenaikan harga CPO dan minyak goreng berdampak positif pada harga minyak kelapa. Bila harga minyak kelapa naik akan menguntungkan petani kelapa, sehingga mereka bisa meremajakan tanaman kelapanya. Jadi bila harga minyak sawit tidak diturunkan, ada potensi untuk mengembangkan kelapa di dalam negeri.
Kalau harga minyak sawit diturunkan, maka akan merugikan petani kelapa sawit, pabrikan CPO, dan pengusaha minyak goreng. Dan petani kelapa kita juga dirugikan. Jadi, kebijakan untuk menstabilkan harga minyak goreng yang artinya menurunkan harga, sebenarnya merugikan produsen dan menguntungkan tidak seberapa konsumen.
Pengaturan yang reaktif seperti ini akan menimbulkan kekacaubalauan, dan munculnya para pencari rente. Hal itu sudah kita alami pada 1997—1998 sewaktu pajak ekspor tambahan CPO diterapkan. Yang diuntungkan bukanlah konsumen, bukan petani dan pengusaha, bukan juga kocek pemerintah, melainkan pencari-pencari rente. Jangan-jangan hal yang sama terjadi lagi saat ini, dan tampaknya kita tidak belajar dari pengalaman pahit itu.
Dan bila kondisi ini berlangsung cukup lama, harga minyak goreng di dalam negeri lebih rendah daripada pasar internasional, maka akan muncul penyelundupan. Jika itu terjadi, konsumen dan produsen dalam negeri tidak untung, tetapi yang untung adalah penyelundup.
Apa saran profesor?
Biarkan harga CPO dan minyak goreng sesuai mekanisme pasar. Sekalipun ada yang mengatakan itu seperti durian runtuh buat petani dan para pengusaha. Memang durian runtuh pada saat sekarang, dan pada akhir tahun dihitung keuntungannya meningkat. Berikutnya tentu penerimaan pajaknya juga akan meningkat. Jadi pendapatan pemerintah dari sawit akan meningkat sehingga pemerintah cukup punya dana untuk melakukan stabilisasi harga.
Pemerintah harus mendidik masyarakat menghargai adanya kelangkaan serta memfasilitasi para produsen dan konsumen secara kreatif menyesuaikan dengan keadaan itu tanpa campur tangan yang reaktif dengan usaha stabilisasi harga. Dan dengan demikian pertumbuhan pertanian kita, khususnya sawit, akan menjadi lebih besar. Lebih jauh lagi, penyerapan tenaga kerja, pembangunan wilayah, dan sumbangannya pada pertumbuhan perekonomian nasional bertambah besar.
Hati-hati jika pemerintah ingin menerapkan pajak ekspor tambahan CPO. Hal itu akan menunjukkan inkonsistensi pemerintah dalam menciptakan iklim investasi yang baik di dalam negeri. Dan perlu diketahui, investasi untuk sawit bukan hanya dari dalam negeri tapi juga dari luar negeri. Jika pemerintah bisa membuat kebijakan seperti itu pada kelapa sawit, tentunya juga bisa membuat hal yang sama untuk komoditas lain. Ingat, investasi yang paling cepat dan menarik saat ini adalah investasi yang berbasis agribisnis.
Untung Jaya