Selasa, 17 April 2007

Perunggasan : Jangan Keliru Merumuskan Musuh

“Dari observasi di lapangan, flu burung tidak terlalu berpengaruh terhadap pasar ayam. Memang flu burung merupakan salah satu musuh, tapi musuh utama justru konsumsi ayam per kapita yang tetap rendah,’’ tegas Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000—2004, saat diwawancarai AGRINA.

 

Bagaimana hasil observasi Bapak di lapangan?

Begini, belakangan ini kita disibukkan mengurus flu burung. Tapi, dari observasi di lapangan, flu burung itu tidak terlalu berpengaruh terhadap pasar ayam, walau cara penyampaian pemerintah mengenai flu burung itu kadang menakutkan. Kalau ada ribut-ribut mengenai flu burung, memang permintaan ayam agak berkurang sedikit. Tapi, setelah seminggu, normal kembali. Jadi, secara bisnis, flu burung tidak terlalu berpengaruh.

 

Lalu, apa sebenarnya musuh utama agribisnis perunggasan di Indonesia?

Musuh utama bisnis perunggasan adalah konsumsi per kapita yang tidak bertumbuh. Ini sudah sejak tahun 2000. Sekarang, konsumsi ayam per kapita kita lebih rendah daripada Vietnam. Padahal, ayam merupakan sumber protein yang sangat murah.

 

Dengan permintaan yang mandek, apa yang terjadi dengan agribisnis perunggasan?

Produsen rebutan pasar yang tidak berkembang itu. Mereka saling bersaing. Keadaan ini merupakan zero sum game. Jika ada semakin membesar pasarnya, maka ada orang lain makin kecil. Jadi, kalau permintaan di dalam negeri tidak bertumbuh, maka dapat membahayakan agribisnis ayam di Indonesia. Mengapa? Karena produsen menghabiskan waktu untuk rebutan pasar yang mandek tadi.

Padahal, ayam adalah salah satu agribisnis paling modern di Indonesia. Jadi sudah ada kekuatan budaya luar biasa, sehingga jika kita mau, bisa menjadi lebih besar. Kita punya entrepreneur, manajer, peternak, organisasi, kemitraan, dan teknologinya. Memang untuk Grand Parent Stock (GPS), kita belum mampu menghasilkan sendiri. Sedangkan jagung untuk pakan ayam, dalam waktu dekat seharusnya kita mampu menghasilkannya sendiri.

 

Dalam kondisi rebutan tadi, apa jadinya kalau pasokan ayam juga tidak terkendali?

Sebagai contoh, menjelang Lebaran (2006) harga ayam naik dan sesudah itu turun, itu hal biasa. Yang tidak biasa harga ayam rendah ini berlangsung lama, dari Desember 2006 sampai Maret 2007. Mengapa? Karena para pemain perunggasan berpikiran, keadaan sebelum Lebaran itu adalah gambaran pasar yang normal.

Yang pertama kali digenjot produksi DOC (day old chick)-nya. Apalagi waktu itu harga DOC tinggi, sekitar Rp4.000 per ekor. Akhirnya, terjadi oversuplai. Harga DOC turun, sehingga ada keinginan memelihara ayam lebih banyak. Kemudian harga ayam juga turun. Jadi, intinya kelebihan pasokan. Di sinilah pentingnya peran Gabungan Perusahaan Perunggasan Indonesia (GAPPI), untuk mengorkestra suplai  dan meningkatkan permintaan.

 

Lalu, bagaimana caranya menumbuhkan permintaan itu?

Pertama, kembangkan downstream agribusiness (agribisnis hilir). Jika semua dalam bentuk ayam segar, pasarnya terbatas. Jadi harus mengembangkan industri ayam olahan. Kedua, jika dalam bentuk olahan, maka masa simpannya cukup lama sehingga kita dapat memikirkan untuk ekspor. Jangan ekspor ke Jepang karena persyaratannya ketat. Kita bisa mengekspor ke negara-negara berkembang, seperti Vietnam, Laos, Kamboja, Brunei Darussalam, Myanmar, Arab Saudi, Bangladesh, Pakistan, India, dan negara-negara di Afrika.

Kalau ingin menjadi pemain dunia, kita harus perhatikan derajat higienis produk. Mulai dari kandang ke pemotongan, sampai produk akhir terjaga kualitas higienisnya. Itu akan memperbaiki citra bisnis ini. Jika kita lihat cara pemotongan sekarang ini, kita belum bisa menjadi pemain dunia.

 

Jika permintaan semakin besar, berarti  para pemain tidak perlu saling injak kaki?

Ya. Jadi, tindakan yang tepat itu, kita bersama-sama mendorong tumbuhnya permintaan, kemudian para pemain berebut mendapatkan tambahan permintaan itu. Bukan berebut mengambil pasar yang ada. Jika rebutan untuk mengambil tambahan permintaan, maka tidak ada yang menginjak kaki orang lain. Hanya kerja keras, kerjasama, dan kerja kreatif yang merupakan arah industri perunggasan kita di masa mendatang.

 

Tapi banyak pemain yang kurang tertarik mendorong peningkatan permintaan?

Memang, untuk meningkatkan konsumsi per kapita ini tidak menarik buat perusahaan. Bila dia berusaha meningkatkan permintaan itu melalui advertensi misalnya, tentu hasilnya dinikmati juga perusahaan lain. Jadi ini harus menjadi pekerjaan bersama-sama. Saya harapkan Charoen Pokphand dan Japfa menjadi leader di bidang ini.

 

Jadi semua itu akan berjalan lancar kalau ada kerjasama di antara para pemain?

Di situ masalahnya. Kerjasamanya masih kurang. Mereka bekerja bersama-sama, tapi tidak bekerjasama. Kalau kerjasama itu tidak semakin baik untuk mendorong permintaan di dalam negeri dan mengendalikan pasokan, setiap saat kita akan diterkam chicken leg quarter (CLQ) dari luar. Yang harus dijaga, karena ingin mengendalikan pasokan, jangan sampai produksi di dalam negeri berkurang sehingga harga melangit.

Dan yang tidak kalah pentingnya kampanye untuk mengonsumsi ayam harus lebih gencar dan lebih baik. Selama ini, kampanye yang dilakukan masyarakat perunggasan masih lemah dan tidak terarah.

 

Syatrya Utama

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain