Jakarta, Agrina-online.com. Pemerintah baru-baru ini mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 16 Tahun 2025 Tentang Sistem Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia pada 19 Maret 2025. Aturan baru yang mencakup hulu-hilir industri sawit nasional ini bertujuan memperkuat sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia atau Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).
Menurut Ketua Kelompok Substansi Penerapan dan Pengawasan Mutu Hasil Perkebunan, Direktorat Hilirisasi Hasil Perkebunan, Ditjen Perkebunan, Kementerian Pertanian, Ratna Sariati, ISPO bukan sekadar label. Melainkan, sebagai sistem menyeluruh yang memastikan bahwa usaha kelapa sawit dilakukan secara layak dari sisi ekonomi, sosial budaya, serta ramah lingkungan dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sertifikasi ISPO menjadi bukti tertulis bahwa pengelolaan kebun sawit telah memenuhi prinsip-prinsip keberlanjutan tersebut. “Sertifikasi ISPO adalah rangkaian kegiatan penilaian kesesuaian terhadap usaha perkebunan kelapa sawit yang berkaitan dengan pemberian jaminan tertulis bahwa produk dan/atau tata kelola perkebunan kelapa sawit telah memenuhi prinsip dan kriteria ISPO,” ujarnya dalam diskusi Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) “Perpres 16/2025 ISPO untuk Industri Sawit Berkelanjutan”.
Poin Perubahan
Dasar hukum ISPO mengacu pada Undang-undang Nomor 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan, khususnya Pasal 2, 3, dan 62. Implementasinya dituangkan dalam Perpres Nomor 44 Tahun 2020 yang kini diperbarui menjadi Perpres Nomor 16 Tahun 2025. Perubahan ini mencakup perluasan ruang lingkup dari hulu ke hilir, termasuk sektor industri olahan dan bioenergi. Dengan demikian, ISPO tidak hanya menjadi tanggung jawab Kementerian Pertanian, tetapi juga melibatkan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) untuk sektor hilir dan Kementerian ESDM untuk bioenergi.
“Untuk usaha perkebunan kelapa sawit yang wajib sertifikasi ISPO ada 3, yaitu usaha budidaya tanaman perkebunan kelapa sawit, usaha pengolahan hasil perkebunan kelapa sawit atau PKS, kemudian integrasi usaha budidaya tanaman perkebunan kelapa sawit dan usaha pengolahan hasil perkebunan kelapa sawit,” terang Ratna di Jakarta, Rabu (4/6/2025).
Selanjutnya, poin perubahan dalam perpres tentang restrukturisasi kelembagaan komite ISPO dan skema pembiayaan. Dalam kelembagaan komite ISPO, ada Ketua Komisi ISPO oleh Menko Perekonomian, Wakil Ketua Komisi ISPO oleh Menko Pangan, Ketua Bidang Usaha Perkebunan Kelapa Sawit oleh Menteri Pertanian, Ketua Bidang Usaha Industri Hilir Kelapa Sawit oleh Menteri Perindustrian, dan Ketua Bidang Usaha Bioenergi oleh Menteri ESDM.
“Penambahan ruang lingkup itu dibarengi dengan restrukturisasi kelembagaan dan skema pembiayaan baru. Kini, pembiayaan ISPO untuk pekebun bisa difasilitasi oleh APBN, APBD, maupun Badan Pengelola Dana Perkebunan,” urai Ratna lebih lanjut.
Di samping itu, terdapat sanksi administratif berupa teguran, denda, hingga pemberhentian sementara usaha yang akan dikenakan bagi para pelaku usaha yang tidak mematuhi ketentuan ISPO, serta pengembangan Sistem Informasi ISPO. “Pemerintah akan membangun Sistem Informasi untuk melakukan traceability (ketelusuran) ISPO dari hulu sampai hilir,” imbuhnya.
Ratna menerangkan, per Februari 2025 ada 1.157 pelaku usaha telah memperoleh sertifikat ISPO dengan lahan mencapai 6,2 juta hektar. Dari jumlah tersebut sekitar 84 persen merupakan perusahaan swasta, 9 persen BUMN, dan 7 persen pekebun rakyat. Dari sisi luasan, Indonesia berhasil melampaui Malaysia dalam hal areal perkebunan sawit yang telah tersertifikasi berkelanjutan.
“Saat ini, kami sedang menyusun pembaruan dari Peraturan Menteri Pertanian No 38 Tahun 2020 Tentang Penyelenggaraan Sertifikasi Perkebunan Sawit Berkelanjutan Indonesia,” katanya.
Permentan ini dibutuhkan sebagai turunan Perpres No. 16/2025. Sebelumnya sudah ada Permentan 38/2020 menjadi turunan dari Perpres lama, yakni Perpres 44/2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia.
Industri Hilir
Sementara itu, Kementerian Perindustrian juga tengah menyiapkan skema sertifikasi ISPO untuk sektor hilir. Lila Harsyah Bakhtiar, Direktur Kemurgi, Oleokimia, dan Pakan Kemenperin menyatakan, terminologi ISPO hilir masih fleksibel, namun prinsip dasarnya tetap sama: memastikan produk sawit olahan yang sampai ke tangan konsumen berasal dari sumber yang berkelanjutan.
”ISPO hilir kita menyebutnya untuk membedakan dengab ISPO di hulu. Produk yang dihasilkan betul-betul dari sumber yang berkelanjutan dan proses produksinya sustainable dan memenuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sertifikasi ISPO hilir seperti sertifikasi halal. Jadi, kita mengolah bahan baku dengan cara yang halal sehingga produk yang dihasilkan halal. ini pengertian simplenya,” ulasnya.
Menurut Lila, saat ini Indonesia hanya mengekspor sekitar 10 persen dari CPO mentahnya, sementara sisanya dalam bentuk olahan. Oleh karena itu, menjaga ketelusuran produk hilir menjadi sangat penting, mengingat pasar global kini semakin menuntut produk yang berkelanjutan. “Sertifikasi ISPO hilir ini ibarat sertifikasi halal, memberikan jaminan tertulis kepada konsumen bahwa produk tersebut sudah berkelanjutan,” jelasnya.
Saat ini terdapat 190 jenis produk hilir sawit, namun tidak semuanya akan disertifikasi. Fokus akan diberikan pada produk yang memiliki volume besar dan potensi pasar tinggi. Sertifikasi hilir akan memungkinkan pencantuman logo ISPO pada kemasan produk, sebagai penanda bahwa produk tersebut telah memenuhi prinsip keberlanjutan.
Model sertifikasi ISPO hilir, jelas Lila, akan mengacu pada sistem mass balance atau keseimbangan massa. Yaitu, mencampur bahan baku bersertifikasi dengan yang belum namun tetap dalam batas pengawasan yang ketat.
“Keseimbangan massa membutuhkan sistem pencatatan yang ketat, dan kami akan mengadopsi beberapa norma dari standar internasional seperti RSPO, ISCC, dan MSPO,” ucapnya.
Berbeda dengan sertifikasi lain seperti SNI, ISPO hilir akan mensertifikasi proses produksinya, namun label atau logo akan ditempatkan pada produk akhir. Sertifikasi ini akan berlandaskan pada tiga prinsip utama: kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, sistem dokumentasi yang baik, dan praktik usaha yang berkelanjutan selaras dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (UN SDGs).
Per Juni 2025 draf peraturan ISPO hilir akan dipublikasikan untuk konsultasi publik. Proses sertifikasinya akan merujuk pada Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 45 Tahun 2020. Dengan skema yang disiapkan secara inklusif dan kolaboratif, pemerintah berharap sertifikasi ISPO hilir dapat diterapkan dengan efektif tanpa menjadi beban bagi pelaku usaha.
Pelaksana Harian Komite ISPO
Pada kesempatan yang sama, Ketua Bidang Perkebunan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), R. Azis Hidayat mengusulkan pembentukan Pelaksana Harian Komite ISPO. Mengingat, struktur organisasi saat ini mungkin belum cukup efektif untuk menangani aspek teknis sertifikasi ISPO.
Sebelumnya, Komite ISPO memiliki Dewan Pengarah yang diketuai oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. Namun, dalam struktur yang baru, Dewan Pengarah ditiadakan, dan Ketua Komite ISPO dijabat langsung oleh Menko Perekonomian.
Karena itu, dia mengusulkan penunjukkan Pelaksana Harian Komite ISPO. Penunjukan ini diharapkan dapat memperkuat pelaksanaan fungsi teknis dan administratif sehari-hari sehingga tujuan sertifikasi ISPO dapat tercapai lebih efektif.
Hingga saat ini, berdasarkan data Ditjenbun, Kementan, baru sekitar 100 ribu hektar kebun rakyat yang berhasil memperoleh sertifikasi ISPO, dari total luas kebun rakyat yang mencapai 6,94 juta hektar.
Hambatan utama yang dihadapi petani adalah persyaratan legalitas, yaitu belum memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM) atau Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB). “Dari 6,9 juta kalau kita perkirakan 980 ribu punya SDGB dan punya SHM, bisa lulus. Yang 6 juta bagaimana?” tanya Azis.
Masalah serupa juga dihadapi oleh perusahaan besar. Banyak perusahaan sawit saat ini masih mengalami kendala legalitas lahan, yang menjadi hambatan untuk mendapatkan sertifikasi ISPO.
“Belum lagi perusahaan besar, banyak yang belum punya HGU dan masih dalam proses. Ini jadi potensi besar untuk tidak bisa lulus ISPO,” tambah dia.
Lebih lanjut, Azis menyampaikan bawah GAPKI komitmen mencapai 100 persen ISPO. Sebagai bentuk komitmen, perusahaan melakukan penyesuaian dengan membentuk bidang perkebunan yang khusus menangani ISPO dan kemitraan dengan pekebun.
“Komitmen termasuk organisasi GAPKI menyesuaikan karena khusus memang ingin mencapai 100 persen ISPO membentuk bidang perkebunan, kebetulan saya yang diberi tugas itu khusus menangani ISPO dan kemitraan dengan pekebun,” tukasnya.
Adapun per Juni 2024, sebanyak 687 perusahaan dari 1.177 anggota GAPKI atau sekitar 58 persen sudah bersertifikat ISPO. Total luas lahan bersertifikat mencapai 3,6 juta hektar. “Kami terus dorong agar GAPKI bisa mencapai target 100 persen,” tegas Azis.
Selain itu, Gapki juga punya program klinik ISPO di 15 provinsi. Kemudian juga pelatihan auditoris ISPO kita fasilitasi bagi anggota gapki ada harga khusus Kemudian juga di acara IPOC Internasional di Bali kemarin juga kita bikin cafe, konsultasi advokasi, fasilitasi, edukasi tentang ISPO, tentang PSR dan permasalahan kelapa sawit.
GAPKI memandang dirinya sebagai mitra strategis pemerintah dalam mendorong keberlanjutan industri kelapa sawit nasional. Oleh karena itu, organisasi ini selalu berkomitmen untuk mematuhi regulasi pemerintah serta aktif memberikan masukan konstruktif terhadap kebijakan yang belum efektif di lapangan.
“Strategi percepatan ISPO pada prinsipnya didasarkan pada posisi GAPKI sebagai mitra strategis pemerintah. Kami selalu taat dan patuh terhadap regulasi, dan jika ada kebijakan yang tidak berjalan atau kurang sesuai di lapangan, kami segera sampaikan masukan,” jelas Azis.
Sementara itu, Solidaridad Indonesia sebagai organisasi masyarakat sipil yang berperan aktif di sektor hulu kelapa sawit, berkomitmen mendampingi petani sawit rakyat untuk memperoleh sertifikasi ISPO. Kepala Pengembangan Program Solidaridad Indonesia, Edy Dwi Hartono, menyampaikan, tingkat sertifikasi ISPO di kalangan petani rakyat masih sangat rendah.
“Saat ini baru sekitar 1 persen dari total 2,5 juta pekebun rakyat atau mencakup 6,9 juta hektare lahan yang tersertifikasi ISPO. Ini menjadi tugas bersama yang harus kita tingkatkan. Ini memang tugas berat yang harus kami tempuh agar mereka tidak terpinggirkan dalam industri sawit di masa mendatang,” ungkap Edy.
Saat ini, Solidaridad banyak bergerak di Kalimantan, termasuk Kalimantan Barat, Tengah, dan Timur, serta beberapa wilayah di Lampung. Meski juga menangani komoditas lain, skalanya masih terbatas. “Kelapa sawit tetap menjadi fokus utama kegiatan kami,” lanjutnya.
Melalui proyek bertajuk Reclaim Sustainability, Solidaridad mendorong kesiapan petani menuju praktik keberlanjutan, baik dari aspek tata kelola kebun maupun pemenuhan regulasi untuk menuju standar sertifikasi ISPO dan RSPO.
Dalam kurun waktu 2019 hingga 2024, Solidaridad Indonesia melatih sebanyak 24.687 petani sawit. Dari jumlah tersebut, sebanyak 6.929 persil lahan telah dipetakan secara poligon dengan total luas mencapai 8.955 hektar. Dari luasan tersebut, sebanyak 4.862 dokumen STDB telah berhasil diterbitkan.
Adapun dari sisi sertifikasi, lanjut dia, Solidaridad mencatat baru 220 petani dari kelompok dampingan yang berhasil memperoleh sertifikasi ISPO, sementara 1.023 petani telah tersertifikasi RSPO, dan 2.463 petani lainnya telah memperoleh sertifikasi Regen Agri.
Lebih lanjut Edy menyampaikan bahwa Solidaridad Indonesia mendukung implementasi Perpres Nomor 16 Tahun 2025 melalui penguatan kolaborasi multipihak dan peningkatan kesiapan petani, khususnya dalam praktik budidaya dan pemenuhan persyaratan sertifikasi.
Dukungan itu tercermin dalam sejumlah aspek kebijakan. Misalnya, pada Pasal 4, Solidaridad berperan dalam memfasilitasi kelompok petani menuju sertifikasi melalui penguatan kelembagaan koperasi dan asosiasi lokal. Di Kalimantan Barat, Solidaridad menjalin kerja sama dengan Koperasi Credit Union Keling Kumang, asosiasi petani sawit, serta sejumlah mitra seperti SPKS.
Sementara dalam hal pendanaan sebagaimana diatur dalam Pasal 16, Solidaridad menyediakan dukungan dalam bentuk pelatihan dan pemetaan lahan. Namun untuk proses audit sertifikasi, pihaknya belum menyediakan pembiayaan.
“Kami berharap dukungan dari Badan Pengelola Dan Perkebunan (BPDP) dapat mempercepat proses sertifikasi ini,” pintanya.
Untuk peningkatan kapasitas petani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Solidaridad rutin menyelenggarakan forum diskusi kelompok (FGD) dan sekolah lapang di berbagai wilayah kerja. Kegiatan ini menitikberatkan pada peningkatan pemahaman petani terhadap aspek budidaya yang berkelanjutan, serta aspek sosial dan lingkungan.
Adapun dalam konteks peran serta multipihak sebagaimana tercantum dalam Pasal 23, Solidaridad aktif menjalin kolaborasi dengan berbagai organisasi seperti Apkasindo, SPKS, serta konsorsium Keling Kumang.
Serta juga terlibat dalam forum-forum advokasi kebijakan, salah satunya melalui kegiatan “Recruitability” yang mempertemukan berbagai pemangku kepentingan, termasuk perwakilan dari PPHBUN dan BPDPKS, untuk mendorong percepatan implementasi sertifikasi ISPO.
“Kami melihat bahwa pemahaman di tingkat nasional terhadap ISPO sudah cukup baik. Namun di tingkat daerah, kesenjangan pemahaman masih cukup besar,” pungkas Edy.
Windi Listianingsih