1. Home
  2. »
  3. Headline Agrina
  4. »
  5. NFA dan Komisi IV DPR RI Tinjau Gudang BULOG Medan

Membangun Optimisme Budidaya Udang Pansela Jawa

Pembudidaya udang harus memastikan setiap tahapan direncanakan dengan baik di fase persiapan.

 

Pantai Selatan (Pansela) Jawa memiliki potensi pengembangan budidaya udang yang besar. Kegiatan budidaya ini awalnya tumbuh di tahun 2010, menyebar luas pada 2015 hingga 2020, dan mulai meredup di 2019 karena serangan penyakit. Namun, para pembudidaya udang Pansela tidak berdiam diri. Sejak pertengahan 2024, menurut Andi Prasetya, Ketua Umum South Coast Shrimp Association (SCSA), budidaya udang Pansela kembali bergejolak. “Saya yakin sekali 2025 ini kita reborn, kita lahir kembali, kita pasti akan mengulang putaran roda pada saat tahun 2015 ke 2020,” tegasnya. Apa Langkah yang harus dilakukan?

 

Budidaya Udang Pansela

Cikal bakal tambak udang vaname di Pansela Jawa, ungkap Andi, bermula pada 2010 dengan sarana dan prasarana sederhana, seperti lining plastik mulsa dan kincir long-arm atau kincir renteng. “Pada saat itu baru beberapa titik saja, di antaranya di daerah Congot, Gelagah, kemudian menjalar sampai dengan ke Barat Purworejo, Kebumen, Cilacap, dan seterusnya sampai Pansela,” ujarnya pada Seminar Budidaya Udang SCSA: Optimisme Budidaya Udang di Wilayah Pantai Selatan.

Tahun demi tahun, budidaya udang di Pansela Jawa terus berjalan. Sepanjang 2015-2020, Andi mengibaratkan, budidaya udang di Pansela seperti jamur. “Artinya, setiap titik di pesisir Pantai Selatan sudah terbentuk kolam-kolam budidaya udang vaname. Namun, pada saat itu karena memang  tidak ada pengelolaan atau pengaturan dalam posisi membuat petangan-petangan tersebut, artinya semua bebas membuat, semua bebas melaksanakan bisnis ini. Banyak sekali kondisi yang tumpang tindih secara tata letak maupun posisi dalam pembentukan kolam,” urainya.

Saat dunia menghadapi pandemi COVID-19, petambak udang Pansela juga merasakan dampak yang luar biasa akibat penyakit Acute Hepatopancreatic Necrosis Disease (AHPND). ”Di 2019 banyak sekali kasus yang dihadapi oleh petambak yang kalau bahasa Pansela ini kita sebut ngelelesi,” tukasnya. Waktu berlalu dan semua terus mencari solusi hingga akhirnya di tahun 2023, petambak Pansela mengalami kondisi yang sangat memprihatinkan.

”Dalam arti dari sepanjang 2020 sampai dengan 2023 ini banyak petani atau petambak yang terus mencoba, mengadu nasib di budidaya tersebut sehingga mengalami kegagalan, kegagalan, dan kegagalan yang berdampak pada finansial masing-masing,” imbuh Andi di Yogyakarta, Selasa (21/1).

Mulai Semester II 2024, aktivitas budidaya di Pansela kembali bergeliat. Sudah banyak petambak yang berproduksi dan ada beberapa titik yang bisa panen parsial sampai empat kali. Pansela memecah paradigma bahwa tambak nilainya harus miliaran. ”Kalau di Pansela ini saya gambarkan, kita punya Rp100 juta – Rp200 juta saja, kita bisa produksi. Jadi, bisa dibilang kita nih owner-owner cabai rawit,” katanya. Andi mendorong petambak untuk menyewa atau membeli tambak Pansela yang mandek dalam 3-4 tahun terakhir untuk dihidupkan lagi.

 

Berlandaskan Ilmu

Menurut Andi, penyelenggaraan seminar budidaya udang bertujuan menceritakan keberhasilan para pembudidaya sekaligus berbagi pengalaman dan berdikusi serta menggali ilmu dari para ahli. “Untuk tercapainya keberhasilan tadi, kita butuh dukungan bersama, saling diskusi, saling memberikan informasi yang baik, saling bersama-sama memberikan kabar baik. Maka dari itu, SCSA ini harapannya bisa menjadi satu wadah forum komunikasi yang isi dan kontennya itu bermanfaat semua,” cetusnya.

Ilham Priyanto, semua harus berdasarkan ilmu – WINDI L

Ilham Priyanto dari Shrimp Club Indonesia (SCI) pun berharap budidaya udang Pansela hidup lagi seperti periode 2013-2020. Ia mengingat ucapan Menteri Kelautan dan Perikanan kala itu bahwa Pansela diperkirakan mengalami penurunan dalam 3 tahun jika tidak ada pendampingan petambak. ”Karena semuanya memang harus didampingi dengan keilmuan-keilmuan, terus RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) di dalam Pansela juga belum diatur,” ucapnya.

Di antara budidaya se-indonesia, bebernya, yang sekarang masih senang dan belum berpikir panjang itu hanya Pansela. Sebab, para pembudidaya yang sudah bertambak lebih dari 50 atau 60 kolam, saat ini dipusingkan dengan perizinan. ”Bukan main di mana-mana ini perizinan. Makanya berharap kemarin dari SCI pusat mencoba meminta menyederhanakan perizinan. Sudah mencoba lobi-lobi lewat KKP, lewat Kemenkomarves, tapi sekarang sudah diubah lagi sama Pak Prabowo,” bukanya.

Menurut Ilham, budidaya udang tahun ini dan berikutnya akan lebih baik dari tahun sebelumnya. Ia juga berpesan pada petambak agar tidak khawatir dengan adanya virus dan bakteri penyebab penyakit karena pasti ada obat atau cara menanggulanginya. Tetapi, ia menyarankan, ”Semuanya harus berlandaskan ilmu. Tanpa ilmu tinggal menunggu saja. Jadi, ilmu ini harus ditancapkan lagi.”

Tak lupa, Ilham meminta industri pakan udang agar turut menurunkan teknisi-teknisi yang berkualitas untuk mendampingi para petambak Pansela. ”Kalau petambak ini berhasil didampingi, insyaallah omzetnya akan naik juga. Makanya, mohon diturunkan teknisi-teknisi yang qualified, yang benar-benar memahami udang,” tandasnya.

 

Manajemen Terpadu

Dalam sesi diskusi, Iwan Hermawan, Manajer Hatchery PT Windu Alam Sentosa (WAS) menyampaikan tentang manajemen terpadu hatchery (pembenihan) udang vaname. Ada beberapa aspek penting yang harus diperhatikan untuk pengelolaan benur yang menghasilkan kualitas baik. Pertama, tingkat kepadatan benur atau penebaran nauplii di bak pemeliharaan larva. ”Jadi, kita harus betul-betul melihat caring capacity (daya dukung) bak yang kita gunakan, jangan sampai terlalu melebihi caring capacity. Hal ini akan mengganggu proses perkembangan dari stadia larvanya,” urai Iwan.

Iwan Hermawan, manajemen terpadu di hatchery berpengaruh terhadap kualitas benur – WINDI L

Aspek kedua adalah pakan sesuai jenis, ukuran, dan jumlahnya. Pemberian pakan mengikuti perkembangan stadia yang berlangsung di bak pemeliharaan larva. ”Untuk stadia Zoea, kita gunakan pakan alami berbentuk fitoplankton, biasanya digunakan jenis Thalassiosira dan artificial feed yang memiliki protein sangat tinggi. Kita gunakan pakan artifisial untuk Zoea di ukuran 50-100 mikron,” jelasnya.

Iwan juga memberikan pakan alami fitoplankton dan pakan artifisial pada stadia mysis dengan ukuran berbeda, yaitu antara 100-150 mikron. ”Untuk studia PL (postlarvae), barulah kita berikan pakan alami jenis artemia. Kita gunakan standar di 4 kg per juta benur minimal. Kemudian, artificial feed di ukuran 150-250 mikron,” terangnya.

Setelah dipelihara dengan baik, proses panen dan distribusi juga harus ditangani dengan baik agar tidak mengakibatkan penurunan kualitas benur. “Yang perlu ditekankan dalam panen adalah waktu panen, tentunya dilakukan setelah stadia dari larva mencukupi umurnya. Jadi, tidak kita lakukan pengiriman Zoea ke tambak. Tidak kita lakukan pengiriman mysis ke tambak. Tapi, kita sudah lakukan panen ini pada stadia PL10 yang sudah layak untuk dikirim ke tambak,” katanya.

Panen dilakukan secara hati-hati dan perlahan agar benur tidak stres dan mengalami kondisi lemah. Saat pengepakan, tambah pria yang berpengalaman lebih dari 30 tahun di bidang hatchery itu, perhatikan jumlah benur dan volume air yang dimasukkan ke dalam kantong plastik. Parameter dan material yang digunakan juga harus bermutu bagus supaya selama perjalanan tidak terjadi kerusakan sehingga benur aman sampai lokasi tujuan.

”Manajemen terpadu pada setiap tahapan proses di hatchery berpengaruh terhadap kualitas benur yang dihasilkan. Kemudian, implementasi teknologi memberikan efisiensi yang cukup berarti dalam proses produksi, yang akan membuat kesinambungan usaha budaya baik di hatchery maupun di tambak,” ringkasnya.

 

Pencegahan

Sementara itu, Yudi Darmawan, praktisi tambak udang vaname di Cipatujah, Tasikmalaya, Jabar menerangkan, penyakit merupakan dampak dari host sebagai inang atau objek penderita penyakit, patogen, dan stres. Yudi mengidentifikasi penyakit dalam dua kategori, yaitu penyakit infeksi dan noninfeksi. Penyakit infeksi disebabkan oleh mikroba, bakteri, virus, spora atau fungus, parasit, dan lainnya. Sedangkan, penyakit noninfeksi bisa bersumber dari defisiensi mineral, stres lingkungan, dan genetik udang. ”Genetik itu dalam artian si bakalan atau benur yang membawa penyakit sebelum masuk ke tambak,” tuturnya.

Yudi Darmawan, solusi terbaiknya adalah pencegahan – WINDI L

Terkait stres lingkungan, udang mudah mendapatkan stres, salah satunya karena kekurangan oksigen pada sistem, gas nitrogen; amonia terionisasi; nitrit dan nitrat, hidrogen sulfida dan metan, perubahan lingkungan seperti fluktuasi pH; suhu; salinitas, beban bahan organik yang tinggi, serta polutan seperti logam berat dan pestisida. ”Hal yang paling krusial dari semua itu, solusi terbaiknya adalah pencegahan. Semua sisi yang menjadi masalah itu, kita hadapi dengan persiapan yang matang,” katanya.

Langkah pertama pencegahan dimulai sejak prabudidaya dengan pemilihan benur specific phatogen resistant (SPR) dan specific phatogen free (SPF) diikuti penciptaan air kolam yang matang dan bebas patogen. Lalu, kesiapan fasilitas dan penunjang serta menyusun rencana budidaya. Yudi menambahkan, petambak kadang lupa menyusun rencana budaya. Saat sudah menentukan target budidaya, itulah yang dikejar. ”Kita melangkah dari titik akhir dulu. Jadi, jangan asal tebar kemudian gimana nanti, enggak boleh. Kita harus menentukan target apa yang kita bisa raih,” sarannya.

Kemudian, penguatan imunitas udang terhadap serangan penyakit dan stres lingkungan. ”Penggunaan penguatan imunitas, kecukupan nutrisi, menciptakan mikroflora. Mikroflora itu semacam bakteri yang kuat di dalam tubuh,” terang Yudi.

Terakhir, targetnya menciptakan keseimbang ekosistem perairan. ”Salah satunya, saya menyebutnya tiga hal yang krusial: plankton terkendali, bakteri yang tepat dan mencukupi dosisnya, kemudian mineral yang kokoh. Ini satu kesatuan yang menjadi fokus dalam budidaya selain dari host-nya atau udangnya sendiri, yaitu imunitas udang,” sahutnya.

 

Tren Penyakit

Narenda Sartika Hartana, Shrimp and Fish Health Manager PT Suri Tani Pemuka (STP) menguraikan tren penyakit udang pada 2023 dan 2024. Mengutip survei Global Seafood Alliance 2023, lima hal utama yang menjadi perhatian petambak ialah harga udang, diikuti biaya pakan, akses pasar, dan pencegahan penyakit. “Jadi saat ngomong penyakit, kita harus tahu dulu trennya seperti apa. Agar saat masuk suatu lokasi, tambak, atau expand bisnis, kita tahu apa yang akan dihadapi di tempat itu,” pesannya.

Narenda Sartika Hartana, munostimulan bekerja sebagai penguat sistem imun – WINDI L

Menurut pengamatan Narendra dan tim STP, ada empat penyakit utama yang menjadi tren dari tahun 2023 ke 2024, yaitu White Spot Syndrome Virus (WSSV), myo atau Infectious Myonecrosis Virus (IMNV), AHPND, dan Enterocytozoon Hepatopenaei (EHP). Keberadaan White Spot pada 2023-2024 fluktuatif sedangkan myo ada terus dan sedikit naik pada 2024. Ia juga menyoroti kejadian AHPND dan EHP.

”AHPND itu ada kenaikan cukup drastis dari bulan Mei, Juni, sampai November. Kemudian, Desember kemarin tetap stabil lagi. EHP ini mungkin berkaitan dengan salah satu penyebabnya adalah musim yang kering. Karena dengan musim yang panas kemarin, salinitas juga semakin tinggi dan itu sedikit banyak mempengaruhi infektivitas EHP. Itu (EHP) sempat naik juga. Jadi, dua penyakit ini yang menjadi konsen kita untuk tahun 2023 dan 2024,” bukanya.

Menelaah lebih jauh di Pansela Jateng, ada tiga penyakit yang melanda, yaitu WSSV, AHPND, dan EHP. Prevalensi yang utama yaitu AHPND dan EHP. Narendra meneruskan, wabah penyakit tidak terjadi dalam semalam. Kejadian penyakit ada proses dan faktor yang mempengaruhi, baik internal maupun eksternal. Pertama, intensifikasi jumlah farm dan tebarnya. Lalu, deteriorisasi atau kondisi lingkungan yang semakin turun. Terakhir, praktik manajemen yang kurang baik. ”Ditambah, ada dua faktor: patogen load tinggi dan kekebalan udang yang turun. Itu baru akan muncul disease outbreak,” lanjutnya.

Penyebab AHPND, urainya, toksin pirA-pirB yang dihasilkan bakteri Vibrio parahaemolyticus. Untuk menghasilkan toksin, bakteri ini memerlukan protein spesifik bernama plasmid. Hal menarik terkait AHPND ialah sifatnya eksotoksin. Artinya, bakteri tak perlu ke tubuh udang untuk menularkan AHPND. ”Menurut saya pribadi, deteksi toksin akan lebih bagus dibanding deteksi bakterinya. Kenapa? Satu, bakteri tidak harus ada untuk muncul AHPND. Kedua, sifatnya adalah eksotoksin. Jadi, dia (bakteri) nggak harus ada di situ,” ucap Narendra.

Hasil observasi menunjukkan, toksin ini bisa menempel di mana saja, terutama di lumpur atau sedimen di petakan maupun inlet. Selain itu, pakan alami seperti cacing darah, kerang, cumi-cumi, feses induk, dan udang grow out juga menjadi sumber AHPND. Ia menjabarkan, “Key poin dari sini, sumber infeksi AHPND bisa berasal dari semua rantai produksi udang dari hatchery sampai grow out. Sehingga perlu dipastikan sebelum melakukan penebaran, benur yang digunakan adalah benur SPF dan kolam yang akan digunakan untuk budidaya bebas dari toksin AHPND.”

Caranya, perbesar rasio tandon pengendapan kolam budidaya agar proses sedimentasi berjalan maksimal dan risiko lumpur bisa diminimalisir. Selanjutnya, monitor efikasi disinfektan yang digunakan dan air yang sudah diolah jangan disisakan di tandon. Ini penting karena sifatnya disinfektan dapat menghilangkan mikroorganisme sehingga pembudidaya harus tahu dosis yang sesuai dan aplikasinya. “Karena, masing-masing disinfektan ini punya karakteristik yang unik, spesifik, dan berbeda yang satu dengan lainnya,” tukasnya.

Berikutnya, kontrol lumpur dasar kolam dan usahakan tidak teraduk. Caranya, atur kincir sejak awal berdasarkan luas kolam dengan jarak 15-17 m dari saluran pembuangan pusat (central drain). Tambahkan pribiotik Rhodobacter atau koagulator lalu aplikasi imunostimulan. ”Imunostimulan ini tidak pernah bekerja sebagai obat. Dia bekerja sebagai penguat sistem imun. Sehingga, udang ini lebih memiliki buffer saat kondisi kolam tidak ideal,” terangnya.

Terakhir, pastikan tahapan yang dilakukan direncanakan dengan baik di fase persiapan. ”Hampir 70% lah saya rasa itu enggak optimal penanganan kita karena planning kurang. Contoh, kita planning-kan mau ngatur kincir di 15 m, eh ternyata lupa, tapi benur sudah ditebar. Ada juga kita mau pakai disinfektan A, ternyata yang kebeli B, nggak ngomong sama teknisinya, kacau akhirnya. Jadi, semua yang kita lakukan, rencanakan, tanpa planning yang jelas, tanpa eksekusi yang bagus, juga tidak akan menghasilkan hasil yang maksimal,” pungkasnya.

 

Windi Listianingsih

Tag:

Bagikan:

Trending

WhatsApp Image 2025-05-14 at 5.47
Dari Benih Unggul Hingga Riset Mutakhir : EWINDO Buktikan Konsistensi 35 Tahun Dukung Petani Indonesia
WhatsApp Image 2025-05-14 at 5.47
Ketahanan Pangan Dimulai dari Benih Unggul
Foto Pendukung III
Pupuk Indonesia Gelar Program Tebus Pupuk Subsidi
Foto Pendukung I
BAKN DPR RI Apresiasi Sistem Pengawasan Command Center Pupuk Indonesia
BULOG
BULOG Menyerap Hasil Petani 2.000.524 Ton Setara Beras
Scroll to Top