Foto: Dok.Istimewa
Focus Group Discussion (FGD) dengan tema "Penyuluh Pertanian Mau Kemana?"
Jakarta (AGRINA-ONLINE.COM) Saat ini Pemerintah tengah fokus mengenjot produksi pangan. Namun target swasembada pangan tak akan terpenuhi jika keberadaan penyuluh baik kuantitas maupun kualitas diabaikan. Sudah saatnya penyuluh pertanian beradaptasi dan diperlukan perubahan strategis untuk menghadapi tantangan baru di sektor pertanian, khususnya perubahan kebijakan pemerintahan baru pada Oktober nanti.
Ir. M.Yadi Sofyan Noor, SH, Ketua Kelompok Tani Nelayan Andalan (KTNA) mengungkapkan keprihatinannya terhadap struktur penyuluhan pertanian di Indonesia yang dinilai belum optimal dan berpotensi pada dampak yang tidak baik pada sektor pertanian nasional. Penyuluh seharusnya hadir kala petani mengalami masalah, dan menjadi sahabat sejati petani yang selalu ada di saat mengalami kesulitan. "Saat ini, posisi penyuluh tersebar di berbagai bagian instansi, tanpa konsistensi yang jelas dalam pengelolaan dan koordinasi. wadahnya saat ini tidak nyaman buat mereka bekerja," ujar Yadi.
Melihat kondisi yang terjadi, KTNA menyerukan agar pemerintah mengambil langkah tegas untuk merancang struktur penyuluhan yang lebih terpadu. Apalagi penyuluh merupakan bagian penting dalam mendampingi petani untuk mewujudkan swasembada pangan.
Ketua Komisi Penyuluhan Pertanian Nasional (KPPN) Prod. Dr. Bustanul Arifin, M.Sc menegaskan urgensi transformasi peran penyuluh pertanian di Indonesia. Perubahan ini sangat penting mengingat peran krusial penyuluh dalam mendukung keberlanjutan dan peningkatan produktivitas sektor pertanian, terutama dalam menghadapi perubahan iklim. Maka dirinya menyayangkan bahwa peran penyuluh sering kali terhambat oleh peraturan yang belum sepenuhnya mendukung kerja mereka. "Kita perlu memastikan bahwa penyuluh memiliki dukungan yang memadai dari segi peraturan dan sumber daya agar mereka dapat berfungsi secara optimal dalam mendampingi petani," jelas Bustanul.
Bustanul menegaskan KPPN berkomitmen untuk memperjuangkan reformasi dalam penyelenggaraan penyuluhan pertanian, dengan memastikan bahwa peran penyuluh dapat diperkuat sesuai dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 2006. Sehingga kelembagaan penyuluhan kembali berada di bawah pemerintah pusat untuk meningkatkan koordinasi dan efisiensi.
Sementara itu, Pakar Penyuluhan Universitas Andalas Dr. Ir. Hery Bachrizal Tanjung, M.Si, menyoroti peran krusial penyuluh pertanian dalam mengoordinasikan kebijakan nasional dengan kondisi riil di lapangan. Penyuluh pertanian harus mampu beradaptasi dengan baik dan memiliki kompetensi yang tinggi dalam membina dan mengembangkan kapasitas petani. Diperlukan integrasi yang lebih baik antara kebijakan pusat dan daerah dalam mengelola penyuluhan pertanian. "Pengelolaan penyuluhan harus tetap berpusat pada kebijakan nasional dengan pengembangan dan implementasi yang sesuai dengan kebutuhan daerah," ujar Hery.
Hal senada diungkapkan oleh pakar penyuluhan Universitas Sebelas Maret (UNS) Dr. Ir. Dwiningtyas Padmaningrum. Ia menekankan pentingnya integrasi antara lembaga pendidikan, pemerintah daerah, dan komunitas petani dalam mendukung program penyuluhan pertanian. Peran penyuluh pertanian tidak hanya sebagai penyedia informasi, tetapi juga sebagai fasilitator dalam membangun kapasitas petani untuk mengadopsi teknologi baru dan meningkatkan efisiensi usaha mereka.
Dwiningtyas juga mengulas tentang peran penting Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) dalam mendukung implementasi kebijakan pertanian di tingkat kecamatan. Ia berharap BPP dapat diperkuat sebagai pusat pengembangan pertanian yang berkelanjutan dan terpadu di setiap wilayah."Saat ini, tantangan terbesar adalah pengelolaan sumber daya manusia dan sarana prasarana yang memadai di BPP. Perlu ada perhatian serius dari pemerintah untuk meningkatkan kualitas dan kapasitas BPP sebagai motor penggerak pembangunan pertanian di daerah," tegas Dwiningtyas.
Brenda A.