Foto: Tangkapan Layar
Di Indonesia, bahan baku biodiesel berasal dari minyak sawit (CPO)
Jakarta (AGRINA-ONLINE.COM) - Indonesia masih harus bekerja keras memenuhi komitmen Net Zero Emission sektor energi pada 2060. Diperlukan terobosan-terobosan baru yang didukung komitmen semua pihak, guna mengoptimalkan potensi pengembangan bioenergi sebagai strategi transisi energi dari energi fosil menjadi energi baru terbarukan yang ramah lingkungan.
Demikian kesimpulan webinar bertema “Potensi dan Tantangan Pengembangan Bioenergi dalam Kontribusi pada Capaian Target Net Zero Emission 2060” pada Kamis, 9 November 2023. Diskusi daring interaktif itu diselenggarakan oleh Pimpinan Pusat Kesatria Muda Respublika ( PP KMR ) bersama Yayasan Bangkit Energi Indonesia Hijau (BENIH).
“Pengembangan bioenergi merupakan salah satu strategi penting Pemerintah dalam transisi energi guna memenuhi komitmen Perjanjian Paris untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) secara global. Melalui webinar ini, kami berharap dapat terus menggaungkan isu penting ini ke banyak pihak, terutama kepada generasi muda,” ujar Iwan Bento Wijaya, Ketua Dewan PP KMR.
Apalagi, waktu selama 37 tahun yang dimiliki Indonesia menuju Net Zero Emission 2060 bukanlah waktu yang lama dalam konteks transisi energi. Meski potensi bioenergi sangat besar di Indonesia, namun pemanfaatannya masih belum optimal. Data Kementerian ESDM menyebutkan potensi EBT yang berlimpah mencapai 3.687 GW, terdiri dari potensi surya, hidro (air), bioenergi, bayu (angin), panas bumi, laut, hingga potensi uranium dan thorium.
Potensi EBT tersebut sangat besar, tersebar, dan beragam. “Bioenergi kita menghasilkan Bahan Bakar Nabati (BBN)/biofuel seperti biodiesel dan bioetanol, biogas, serta biomassa padat. Namun dari semua itu, kita baru memanfaatkan 0,3% potensi yang ada,” ujar Akhmad Hanan, peneliti dari Purnomo Yusgiantoro Center (PYC).
Dari sisi regulasi, ujar Akhmad, Pemerintah telah mengeluarkan sejumlah peraturan sebagai dasar hukum kebijakan energi nasional. Program kebijakan mandatori biodiesel, misalnya, disoroti Akhmad sebagai keberhasilan implementasi regulasi Pemerintah. “Kita bisa melihat capaian dari bioenergi untuk EBT sangat signifikan karena Program Kebijakan Mandatori Biodisel dijalankan sejak 2016 hingga sekarang,” kata Akhmad.
Di Indonesia, bahan baku biodiesel berasal dari minyak sawit (CPO). Dari sekitar 50 juta ton produksi CPO per tahun, kebutuhan untuk biodiesel mencapai sekitar 7,5 ton. Pemanfaatan CPO sebagai bahan baku biodiesel turut meningkatkan pendapatan petani secara langsung, terutama karena sekitar 40% perkebunan sawit di Indonesia merupakan perkebunan rakyat.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), kebijakan mandatori biodiesel berhasil mereduksi emisi GRK secara signifikan sekaligus memberi manfaat ekonomi yang terus meningkat. “Dalam upaya pengurangan emisi GRK, kebijakan mandatori biodiesel, mulai dari B20, B30, hingga B35 tahun ini, menjadikan kontribusi bioenergi sangat besar jika dibandingkan dengan EBT lainnya,” kata Akhmad.
Ia pun berharap, regulasi Pemerintah terbaru yaitu Peraturan Presiden nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik dapat mendorong percepatan transisi energi secara signifikan. “Bioenergi dalam pembangkit listrik di tahun 2060 ditargetkan mencapai 60 GW (Target NZE), realitanya hingga tahun 2023 baru sekitar 3 GW. Jadi butuh effort luar biasa,” ujar Akhmad.
Ia juga berharap pemerintah menyusun regulasi yang komprehensif dan terintegrasi mengingat belum adanya peraturan khusus mengenai bioenergi. “Salah satu PR-nya bagi kita semua adalah bagaimana agar kebijakan fiskal dan non-fiskal bisa saling mendukung dari sisi produsen maupun konsumen dalam pengembangan bioenergi,” tegas Akhmad.
Selain itu, dibutuhkan insentif pajak, subsidi, dukungan teknis, hingga pemasaran bioenergi. Akhmad kemudian mencontohkan Amerika Serikat dan Brazil yang sudah menerapkan skema tersebut. Pengembangan bioenergi secara efisien juga dapat didorong dari penelitian dan pengembangan kerjasama antara universitas, pemerintah, swasta, dan juga akademisi.
“Saya harap pemerintah juga bisa memberikan insentif bagi pilot project yang berjalan. Selain penghargaan yang lebih manusiawi, insentif itu dapat mendorong keberlanjutan pengembangan bioenergi ke depan.”
Biodiesel masih primadona
Secara umum, proporsi EBT dalam bauran energi nasional pada tahun 2022 baru mencapai 14,11% sedangkan Pemerintah menargetkan porsi EBT mencapai 23% pada 2025 (atau sekitar 45 GW) dan 31% pada 2050.
“Sedangkan kapasitas bioenergi saat ini baru 11,5 GW sedangkan targetnya ialah 45GW. Masih butuh kerja keras untuk mengejar 33,5 GW lagi,” kata Dr. Dwi Setyaningsih, Koordinator Riset dan Pengembangan di Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi (SBRC) LPPM IPB. Menurutnya, pencapaian signifikan baru dicapai dari pengembangan biodiesel. Sementara pengembangan bioenergi lainnya seperti bioetanol, biomassa co-firing, dan biogas masih jauh dari harapan.
Dwi menilai, skema pengembangan biodiesel dengan dukungan kapasitas produksi CPO dan kebijakan Pemerintah, berhasil mendorong kontribusi biodiesel dibandingkan bioenergi lainnya di Indonesia.
Meski begitu, keberlanjutan biodiesel juga masih dibayangi oleh tingginya biaya produksi sehingga cukup menantang untuk dikembangkan dalam skala lebih luas. Dari sisi ketersediaan bahan baku, Dwi juga menyoroti adanya kebutuhan untuk fokus memanfaatkan sawit sebagai produk pangan.
“Sebagai alternatif, saat ini sudah mulai banyak pemanfaatan jelantah sebagai bahan baku biodiesel, meski belum terlalu populer,” kata dosen dan peneliti di Institut Pertanian Bogor itu.
Adapun pengembangan bioetanol di Indonesia belum bisa berjalan meski sudah diinisiasi sejak tahun 2006, di Malang dan sekitarnya. Produksi bioetanol yang masih sangat terbatas menyebabkan pengembangan bioetanol terhambat meski sudah ada kebijakan mandatori E5 (campuran etanol 5% pada bahan bakar fosil) pada Januari 2020.
“Sebetulnya penggunaan 5%-10% bioetnal sangat potensial untuk mereduksi emisi, namun kita belum melangkah ke sana,” kata Dwi.
Berbeda dengan biodiesel dengan bahan baku melimpah, bahan baku bioetanol menggunakan komoditas yang juga dibutuhkan manusia. Antara lain jagung, umbi-umbian, tebu, aren, sorgum, hingga komoditas lain yang mengandung karbohidrat atau gula. Sementara, Indonesia masih belum mampu swasembada pada sejumlah komoditas itu.
“Masih banyak upaya untuk meneliti, mencari-cari bahan apa yang sekiranya bisa digunakan menjadi bioetanol. Ada permintaan survei niftah, aren, terutama karena potensi nira di Jawa,” kata Dwi.
Ia juga mengungkapkan sudah banyak riset mengenai pemanfaatan tandan kosong sawit, namun implementasinya dinilai masih kurang ekonomis. “Jika dilakukan secara terintegrasi mungkin bisa lebih ekonomis. Sebab, proses pengolahannya bisa menghasilkan produk-produk turunan lain yang bernilai ekonomi. Dwi juga menyoroti pengembangan biomasa untuk co-firing dan biogas yang menghadapi tantangan serupa. Sejauh ini, pengembangan power plant berbasis biomassa sudah ada di pulau-pulau yang jauh dari pulau lainnya, seperti misalnya di Mentawai. “Di sana menggunakan bambu, tentu saja tantangannya ada pada harga dan kebijakan. Selain itu, pembangkit listrik hanya bisa menggunakan 5%-10% biomassa saja,” ujarnya.
Begitu juga dengan pengembangan biogas yang masih terbatas, yang pencapaiannya masih selalu di bawah target, bahkan tak mencapai 50% target. Menurut Dwi, potensi terbesar pengembangan biogas ialah dengan memanfaatkan Palm Oil Mill Effluent (POME) atau limbah cair kelapa sawit. “Limbah cair itu jika dibiarkan terbuka akan menghasilkan gas metana (yang termasuk GRK) dalam jumlah besar. Yang kita lakukan ialah menangkap gas metana lalu mengubahnya menjadi biogas untuk energi listrik,” jelas Dwi.
Agar prosesnya lebih murah, sudah dikembangkan model covered lagoon di PTPN V, Riau. Begitu juga perusahaan di Kalimantan yang sudah memanfaatkan biogas untuk kendaraan operasional mereka. Dwi menambahkan, dalam skala kecil, biogas sudah mulai dikembangkan di peternakan-peternakan sapi perah, misalnya dengan memanfaatkan kotoran sapi sebagai biogas untuk memasak. “Saya rasa, tantangan ini menjadi tantangan kita semua, baik dari kami peneliti, dukungan industri, regulasi serta insentif pemerintah, hingga partisipasi publik,” katanya.
Putri Khoirunnisa, Ketua Umum DPP Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) mengamini pendapat Dwi. Mewakili generasi muda, ia berjanji akan terus menggaungkan pentingnya pengembangan EBT demi ketahanan energi Indonesia, yang bahkan bisa jadi solusi bagi dunia. “Menggunakan energi bersih dapat membawa kita mencapai tingkat keadaban (civility) yang patut dibanggakan,” katanya.
Menutup acara, Faisal Yusuf, Ketua Yayasan Bangkit Energi Indonesia Hijau (BENIH) berharap diskusi ini akan mendorong kolaborasi, inovasi, dan tindakan yang berkelanjutan dalam pengembangan bioenergi sebagai solusi yang berdampak positif pada perubahan iklim global. “Sesi webinar kali ini adalah langkah penting dalam upaya kita bersama untuk memahami dan mengatasi tantangan dalam mencapai tujuan net zero emission 2060,” tegasnya.
Windi Listianingsih