Foto: - WINDI LISTIANINGSIH
JAPFA dan PKGK UI lakukan studi angka Kecukupan gizi anak di 5 wilayah di Indonesia
Jakarta (AGRINA-ONLINE.COM). Data Program Pangan Dunia (WFP) mencatat, 22,9 juta penduduk Indonesia menghadapi kendala dalam memenuhi kebutuhan gizi. Di lain pihak, pembangunan sumber daya manusia (SDM) yang unggul, berkualitas, dan berdaya saing menjadi salah satu agenda prioritas pemerintah menuju Indonesia Emas 2045.
Untuk mewujudkan SDM unggul, salah satu aspek yang harus dibangun adalah pengandan gizi. Karena itu, PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk (JAPFA), Yayasan Edufarmers bersama Pusat Kajian Gizi dan Kesehatan, Universitas Indonesia (PKGK UI) melakukan studi untuk mengukur kecukupan gizi anak-anak Indonesia.
Sebanyak lebih dari 1.000 anak sekolah dasar, taman kanak-kanak, dan balita mendapatkan makanan bergizi pada Mei-Juni 2024 di 5 kota, yaitu Padang, Sumatera Barat; Sragen, Jawa Tengah; Malang Jawa Timur; Mempawah, Kalimantan Barat; dan Makassar, Sulawesi Selatan.
Menurut Direktur Corporate Affairs JAPFA, Rachmat Indrajaya, studi ini menguji 3 model pemberian makan bergizi, yakni Ready to Eat (RTE), Ready to Cook (RTC), dan Swakelola. Tujuannya adalah menganilisis efektivitas setiap model sekaligus memantau proses produksi, pemenuhan kebutuhan gizi, hingga distribusinya.
“Konsumsi protein hewani di Indonesia masih rendah jika dibandingkan dengan negara maju dan beberapa negara ASEAN. Sebagai produsen protein hewani berkualitas, JAPFA berkomitmen menyediakan pangan yang bergizi dan terjangkau, sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) nomor 2: Zero Hunger, serta mendukung visi Indonesia Emas 2045,” ungkap Rachmat pada konferensi pers Makan Bergizi Bersama JAPFA "Studi Kecukupan Gizi Anak Indonesia" di Jakarta, Rabu (25/9).
Studi ini disiapkan selama tiga bulan, mulai dari konsep model pemberian makan hingga pemilihan lokasi, sebelum akhirnya disosialisasikan pada awal Mei lalu. Wilayah cakupan studi meliputi daerah sekitar unit operasional JAPFA, yakni SDN 06 Batang Anai di Padang, SDN 01 Duyungan di Sragen, Posyandu Kecamatan Bululawang di Malang, SDN 03 Sungai Pinyuh di Mempawah, serta SD Bugatun Mubarakah dan TK Asoka di Makassar.
Selama 6 minggu berturut-turut, setiap wilayah diuji coba selama 10 hari untuk setiap model pemberian makanan. Prof. Dr. drg. Sandra Fikawati, MPH, ahli gizi kesehatan masyarakat PKGK UI menjelaskan, menu makanan tersebut sudah memenuhi angka kecukupan gizi berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 28 Tahun 2019 tentang Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan untuk Masyarakat Indonesia. Kemudian, angka kecukupan gizi diukur dan dievaluasi efektivitas pelaksanaannya oleh tim PKGK UI.
Dari hasil observasi lapangan, Prof. Fika mengatakan, pihaknya menemukan bahwa konsumsi protein hewani masih relatif rendah, kecuali telur. “Selain itu, sebanyak 63% siswa tidak terbiasa membawa bekal. Meskipun demikian, status gizi siswa dilihat dari berat dan tinggi badan, tergolong normal berdasarkan standar WHO dan Kemenkes,” ujarnya.
Dari ketiga model pemberian makanan bergizi yang dilakukan, Prof. Fika melanjutkan, model swakelola memiliki tingkat konsumsi tertinggi di antara siswa dengan persentase 84%, diikuti oleh Ready to Cook (RTC) dengan persentase 83%. Secara keseluruhan, jumlah anak dengan status gizi buruk/kurang, berkurang 2,8% pascaprogram.
Program ini berhasil meningkatkan asupan gizi siswa, terutama dalam hal protein dan buah yang penting untuk pertumbuhan dan perkembangan siswa.
”Susu dan buah jadi komponen yang banyak dihabiskan. Gambaran secara umum, tingkat konsumsi paling tinggi adalah susu, ikan, telur, ayam, dan daging tapi daging hanya dilakukan di satu lokasi,” sambungnya.
Prof. Fika menambahkan, model RTC dan swakelola lebih banyak melibatkan banyak orang yang terlibat bekerja, membuka lapangan kerja. Tapi, model ini membutuhkan waktu lebih banyak. meski begitu, kedua model ini menjadi model penerimaan terbaik bagi siswa.
I Dewa Made Agung, Direktur Eksekutif Indonesia Food Security Review (IFSR) mengungkapkan pentingnya kolaborasi multistakeholder dalam mendukung keberhasilan program makan bergizi. Yang tidak kalah penting, edukasi mengenai menu dan konsumsi makanan bergizi, serta pengelolaan food waste perlu diberikan kepada anak dan orang tua.
“Studi percontohan yang dilakukan oleh JAPFA dan PKGK UI dapat menjadi referensi penting untuk implementasi program makan bergizi di sekolah-sekolah. Dari studi ini juga dapat dilihat penyusunan rentang biaya yang perlu disesuaikan dengan daerahnya. Selain itu, perlunya memastikan bahwa produsen menghasilkan bahan makanan yang berkualitas dan terjamin keamanan pangannya, serta higienitas dalam proses produksi untuk hasil yang optimal. Seperti, daging ayam yang berasal dari rumah potong ayam yang memenuhi standar dan memiliki sertifikat NKV,” urai Dewa.
Ia mengungkap, model percontohan Makan Bergizi Bersama JAPFA ini juga menghasilkan banyak manfaat. di antaranya, transfer nilai langsung, return of investment (ROI), peningkatan pendapatan, dan peningkatan nilai kesehatan.
Dari hasil perhitungan Cost Benefit Analysis (CBA), Dewa mengatakan, ROI percontohan ini hampir mencapai US$4 hanya dalam periode waktu yang sebentar. Model swakelola juga menjadi model yang paling sering memberikan keuntungan pengembalian investasi (ROI) tertinggi.
Rachmat berharap, hasil studi ini dapat menjadi rekomendasi bagi pemerintah dan pemangku kepentingan terkait. ”Tentunya kami mendukung dan terbuka untuk berkolaborasi lebih lanjut dalam penyediaan protein hewani guna meningkatkan kualitas generasi muda Indonesia,” tandasnya.
Windi Listianingsih